SKOR.id – Perasaan penonton usai menyaksikan film Ferrari arahan sutradara Michael Mann mungkin campur aduk: menggetarkan, membosankan, dan membingungkan.
Film yang rilis di Amerika Serikat tepat pada Hari Natal 25 Desember 2023 ini juga meninggalkan pertanyaan yang sulit untuk dihilangkan: apakah sesuai ekspektasi?
Tentu saja, tujuan dari tiap ulasan film adalah untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut.
Juga, menginformasikan apakah worth it dengan 131 menit waktu yang Anda habiskan untuk menyaksikan film ini. Jadi mari kita coba menyimpulkan beberapa jawaban.
Dimulai dari hal positif yang sangat jelas, tidak ada aktor berperforma buruk pada film Ferrari ini.
Dalam peran utama sebagai Enzo Ferrari (founder Ferrari), aktor Adam Driver benar-benar bersinar dengan penampilan yang menonjolkan kejeniusan sang Il Commendatore, julukan Enzo Ferrari.
Demikian pula, aktris Penelope Cruz memainkan peran sebagai istri yang berduka dan sakit hati, Laura, dengan sempurna. Sedangkan Gabriel Leone berperan sebagai Alfonso de Portago.
Beberapa aksen Italia kadang terdengar agak meleset, dan sulit pada awalnya untuk sepenuhnya memahami apa yang dikatakan.
Tetapi seiring Anda mendalami filmnya, soal aksen Italia ini tidak lagi menjadi masalah.
Tanpa menggali terlalu jauh ke wilayah spoiler, aksi Ferrari berawal dari balapan Mille Miglia tahun 1957 di Italia.
Hal tersebut penting bagi kelangsungan hidup Ferrari sebagai pabrikan otomotif.
Memberikan beberapa drama di luar jalur, alur cerita sekunder namun tetap sentral mengikuti serta merinci kegagalan hubungan Enzo Ferrari dengan istrinya, Laura.
Juga rahasia kekasihnya, Lina Lardi (Shailene Woodley), yang dengannya ia memiliki seorang putra bernama Piero (Giuseppe Festinese).
Jika Anda mengharapkan adegan balapan yang menegangkan dari awal hingga akhir, sepertinya film ini bukan kabar baik bagi Anda.
Yang lebih buruk lagi adalah bahwa sebagian besar aksi balap sebenarnya pernah ditampilkan pada trailer film Ferrari.
Ya, ada beberapa adegan wheel-banging yang belum dibagikan sebelumnya, namun ini berlangsung tidak lebih dari satu menit.
Sisi positifnya, suaranya dinaikkan hingga 11 setiap kali mobil berada di trek.
Dikutip dari Motorsport yang menugaskan reporternya menonton langsung film ini di bioskop Amerika Serikat, suara tersebut benar-benar membuat merinding.
Mengganti gigi atau menekan throttle lebih keras untuk melakukan overtake berulang kali digunakan.
Tapi positioning mobil, ketika adegan balapan akhirnya terjadi 90 menit setelah film diputar, ada di mana-mana dan tidak mungkin untuk diikuti.
Hanya sedikit dari hal ini yang dapat dikompensasikan dengan foto-foto indah menakjubkan dari mobil-mobil ikonik yang melaju melintasi pegunungan.
Namun terkait aspek terburuknya, teknologi CGI yang digunakan pada dua kecelakaan besar yang mendasari film ini terlalu kasar.
Kedua kecelakaan itu melibatkan sebuah mobil tunggal yang terbang di udara.
Dan, pada contoh pertama, terlihat jelas boneka mainan dilempar dari mobil tersebut, tidak seperti sosok manusia.
Ini membuat mood keluar dari momen yang seharusnya sangat berdampak, dan hampir membuat penulis artikel ini (dari Motorsport) terkikik melihat kualitas CGI yang seperti itu.
Kedua, insiden itu memang memiliki nilai kejutan signifikan karena melibatkan kematian sembilan penonton, termasuk lima anak-anak.
Tapi CGI gagal menyampaikan emosi apa pun yang diharapkan. Namun, dampak praktis setelahnya benar-benar mengerikan dan lebih dari sekadar kompensasi.
Jauh dari balapan, dua adegan ranjang dan sebuah akhir yang tidak memiliki resolusi nyata membuat penulis artikel dari Motorsport ini bingung.
Saat mobil Ferrari tidak berada di trek, kecepatannya juga sering turun hingga seperti merangkak.
Ada adegan Penelope Cruz yang menatap diam-diam ke jarak tengah yang berlangsung jauh lebih lama daripada yang diperlukan.
Percakapan antara karakter utama tidak pernah gagal untuk memajukan cerita dan, seperti yang telah disebutkan, meskipun aktingnya unggul, namun seharusnya bisa diringkas.
Terlepas dari serangkaian hal negatif ini, Ferrari benar-benar memberikan wawasan menarik tentang salah satu periode paling brutal dalam sejarah balapan.
Bisakah segalanya berjalan lebih baik? Ya. Mungkinkah ada balapan yang lebih nyata? Ya.
Apakah balapan ekstra akan memberi manfaat pada cerita ini? Itu masih bisa diperdebatkan. Tentu saja, film ini masih jauh dari sempurna.
Apakah Anda akan menikmati film Ferrari atau tidak, pada akhirnya tergantung pada selera masing-masing.
Jika Anda menginginkan alur seperti film Rush (tahun 2013), Ferrari akan terasa kurang gereget dan tidak sepenuhnya memuaskan.
Tetapi jika Anda ingin melihat lebih banyak tentang Ferrari sebagai manusia daripada pabrikannya, film ini akan memberikan Anda gambaran tersebut.