SKOR.id – Bergabungnya Marc Marquez ke Ducati Lenovo Team menjadikan tim pabrikan asal Borgo Panigale, Italia, itu sebagai skuad terkuat di grid Kejuaraan Dunia MotoGP 2025 nanti.
Bagaimana tidak? Di tim pabrikan Ducati itu, Marquez yang sudah mengantongi enam gelar juara dunia MotoGP (2013, 2014, 2016, 2017, 2018, 2019) diduetkan dengan Francesco “Pecco” Bagnaia, kampiun MotoGP 2022 dan 2023.
Dalam sejarah MotoGP (dimulai sejak 2002), duet Ducati ini hanya kalah dari duo tim pabrikan Yamaha, yang di pengujung musim 2016 berhasil mengoleksi total 10 gelar juara dunia MotoGP.
Namun, seperti Valentino Rossi dan Jorge Lorenzo, duet tim pabrikan Yamaha di MotoGP antara 2008-2010 dan 2013-2016, pasangan Bagnaia dan Marquez diyakini juga berpotensi panas hingga menjurus ke persaingan “liar”, kendati di sisi lain juga bisa menguntungkan Ducati.
Salah satu faktor yang memungkinkan terjadinya persaingan tidak sehat di tim Ducati adalah sejarah bila pabrikan tersebut kerap terlibat hubungan rumit dengan para pembalap topnya, termasuk mereka yang berada di tim satelit.
Mengapa Ducati kerap bermasalah dengan para pembalap topnya? Apa faktor penyebabnya? Apakah keberadaan Marc Marquez mulai musim 2025 akan menambah panjang sejarah hubungan buruk Ducati dengan pembalap topnya?
Skor.id akan coba membahasnya secara detail dalam Skor Special edisi kali ini. (Skor Special adalah artikel yang akan memberikan perspektif berbeda setelah Skorer membacanya dan artikel ini bisa ditemukan dengan mencari #Skor Special atau masuk ke navigasi Skor Special pada homepage Skor.id.).
Seperti diketahui, keputusan Ducati pada awal Juni 2024 lalu untuk mendatangkan Marc Marquez telah menyebabkan gempa bumi yang nyata di paddock MotoGP.
Marco Melandri, runner-up MotoGP pada tahun 2005, menganalisis perekrutan Marc Marquez di Ducati dan dampaknya terhadap Jorge Martin—mantan pembalap tim satelit Ducati, Prima Pramac Racing, yang kemudian menjadi juara dunia MotoGP 2024, Bagnaia, dan Ducati sendiri.
Melandri, mantan pembalap yang kini menjadi konsultan, menyebut keputusan ini memiliki implikasi olahraga dan manusiawi yang cukup besar bagi Bagnaia, Martin, dan Ducati.
Melandri memulai dengan kembali ke situasi sulit yang dialami oleh Martin. “Dia diberitahu akan bergabung dengan tim pabrikan Ducati pada MotoGP 2025, tetapi semuanya berubah setelah satu balapan,” tutur Melandri, seperti dikutip Motosan.
Perubahan yang brutal yang, menurut Melandri, mengingatkan publik pada tren Ducati di MotoGP dalam mengelola pembalapnya dengan cara yang kontroversial.
“Ducati memiliki sejarah yang rumit dengan para pembalapnya. Anda bisa melihatnya pada Casey Stoner, Jorge Lorenzo, Andrea Dovizioso, dan lainnya.
“Dalam kasus Martin, pantas mendapatkan tempat ini (di tim pabrikan Ducati) karena usianya dan hasil-hasilnya. Tapi aura dan rekam jejak Marc Marquez jelas menjadi penentu.”
Melandri menganalisis, kedatangan Marquez menciptakan situasi yang unik di dalam tim pabrikan Ducati.
“Marc Marquez adalah karakter yang tak terduga, dengan kepribadian yang kuat sehingga ia tak perlu berbicara untuk diperhatikan. Ia akan selalu mengikuti jalannya sendiri. Pecco, di sisi lain, lebih bijaksana,” ucap juara dunia kelas 250 cc (kini Moto2) 2002 itu.
Pertentangan temperamen ini bisa menjadi faktor kunci pada tahun 2025. Marc Marquez adalah seorang pembalap yang bengal, mampu menampilkan performa spektakuler bahkan dalam kondisi sulit sekalipun, namun terbiasa menjadi pusat perhatian.
Bagnaia adalah pembalap yang metodis dan tenang, yang mungkin harus menemukan kembali dirinya untuk menegaskan kepemimpinannya melawan juara dunia delapan kali.
“Bagnaia, Martin, dan Marc Marquez saat ini berada di level yang lebih tinggi daripada pembalap lain di MotoGP saat ini. Jadi, akan sangat menarik untuk melihat bagaimana dinamika mereka berkembang di dalam tim,” kata pembalap yang menjadi runner-up MotoGP saat membela Tim Movistar Honda MotoGP (Gresini Racing) itu.
Namun, ia menyayangkan absennya Martin di tim Ducati. “Jika ketiga pembalap ini di Ducati, kita akan melihat kejuaraan yang luar biasa,” katanya.
Meski yakin dengan potensi Martin bersama Aprilia, Melandri tetap bersikap terukur. Martin mungkin bisa sangat cepat, tapi dia juga akan menghadapi masa-masa sulit.
Pembalap Spanyol itu tidak hanya harus beradaptasi dengan motor baru, tetapi juga membuktikan bahwa ia dapat mempertahankan level yang membawanya ke gelar MotoGP 2024.
Bagi Ducati, musim 2025 akan menjadi ujian kekuatan yang nyata: mengelola dua juara dengan ego dan gaya yang berlawanan, terus mendominasi dalam konteks ketika Aprilia dan KTM semakin dekat dan memenuhi ekspektasi tinggi dari kejuaraan di mana Ducati telah menjadi acuan.
Mengapa Ducati Kerap Alami Hubungan Kompleks dengan Pembalap Topnya
Ducati memiliki sejarah yang rumit dengan para pembalapnya, terutama karena sifat motor mereka yang menuntut, yang sering kali membutuhkan gaya berkendara yang sangat spesifik untuk mendapatkan performa maksimum.
Hal tersebut menimbulkan ekspektasi yang tinggi dan terkadang hubungan yang tegang dengan para pembalap yang kesulitan untuk beradaptasi atau secara konsisten memberikan hasil yang baik di lintasan, ditambah lagi dengan seringnya pergantian kepemilikan dan pergeseran pengembangan merek ini di sepanjang sejarah balapnya.
Poin-poin penting yang berkontribusi terhadap kerumitan hubungan Ducati dengan para pembalap topnya di antaranya:
1. Karakteristik motor MotoGP Ducati yang unik. Mesin Desmo khas Ducati, dengan penyaluran tenaga yang agresif dan pengendalian yang menuntut, dapat menjadi tantangan tersendiri untuk dikuasai, sehingga menyebabkan beberapa pengendara kesulitan menemukan keseimbangan dan konsistensi yang tepat di atas motor.
Saat meraih gelar juara MotoGP bersama Ducati, gaya berkendara Casey Stoner sangat cocok dengan karakteristik Ducati Desmosedici GP.
2. Ekspektasi yang tinggi. Sebagai merek balap bergengsi dengan warisan yang kuat, Ducati sering kali memberikan ekspektasi yang tinggi kepada para pembalapnya, sehingga menimbulkan tekanan untuk tampil di level tertinggi, yang dapat membuat stres bahkan bagi pembalap yang paling terampil sekalipun.
Ini terjadi pada Jorge Lorenzo. Datang ke Ducati pada MotoGP 2017 dengan status juara dunia MotoGP tiga kali (2010, 2012, 2015), para bos Ducati jelas menaruh ekspektasi sangat tinggi pada mantan pembalap asal Spanyol itu.
“Di Ducati banyak hal yang tidak berjalan dengan baik bagi saya, hingga saya memahaminya, saya tidak mulai kompetitif,” ucap Lorenzo, kepada as.com, beberapa waktu lalu.
Pada musim pertamanya di Ducati, Lorenzo memang kesulitan beradatasi dengan motor. “Ducati kehilangan kesabaran setelah satu setengah tahun tanpa hasil. Mereka tidak lagi mempercayai saya. Mereka bahkan tidak menawari saya kontrak baru. Mereka lebih memilih pembalap seperti (Danilo) Petrucci,” katanya.
3. Pergantian pembalap yang sering. Sepanjang sejarahnya, Ducati telah mengalami pergantian pembalap yang signifikan, terkadang karena masalah performa, tetapi juga karena perubahan kepemilikan dan pergeseran arah pengembangan, sehingga menciptakan lingkungan yang tidak stabil bagi para pembalap.
Bicara soal lingkungan yang tidak stabil, inilah salah satu faktor yang membuat Andrea Dovizioso meninggalkan Ducati pada akhir musim MotoGP 2020.
Pada saat itu diperkirakan bahwa Ducati dan Dovizioso tidak dapat mencapai kesepakatan dalam hal keuangan untuk kontrak baru. Tetapi pemenang 15 kali balapan MotoGP ini mengatakan bahwa hal ini tidak benar dan tidak pernah ada kesepakatan yang diajukan.
Dalam sebuah wawancara dengan Gazzetta dello Sport, Dovizioso membuka apa yang menyebabkan dia keluar dari Ducati, dan menunjuk ke arah keretakan hubungan antara dirinya dan Luigi “Gigi” Dall'Igna, General Manager Ducati Corse, sejak musim 2017.
“Hubungan saya dengan Gigi? Nol. Gigi dan saya tidak berbicara dengan tenang sejak 2017. Sebelumnya, hubungan kami pun hanya 30%. Lalu, sejak Jorge Lorenzo tiba pada 2017 – dengan banyak perdebatan dan saling berselisih – tim saya menjadi sedikit terisolasi di Ducati,” ujar Dovi.
“Kami tak lagi membicarakan pengembangan motor, kami tak lagi mengadakan pertemuan untuk mengembangkannya. Selama delapan tahun membela Ducati, hanya itu yang membuat saya marah, karena kami seharusnya bisa melakukan lebih banyak hal.”
4. Fokus pengembangan. Ducati sering dikenal karena mendorong batas-batas teknologi, yang terkadang dapat menyebabkan motor yang sulit untuk beradaptasi dan membutuhkan banyak masukan dari pengendara untuk mengoptimalkan kinerja.
Problem fokus pengembangan ini pula yang memicu Casey Stoner, juara dunia pertama Ducati di MotoGP, memutuskan pergi pada akhir musim 2010.
Stoner mengatakan bahwa setelah ia memenangi gelar juara dunia MotoGP di tahun 2007, tim mengendur. Alhasil, setiap tahun Ducati Desmosedici GP semakin memburuk dan manajemen tim tidak melakukan apa-apa. Stoner pun pergi dengan perasaan tidak puas terhadap Ducati, dan Valentino Rossi yang bergabung pada 2011 pun ikut merasakan dampaknya.