SKOR.id – Chariots of Fire dirilis pada 1981. Film bergenre drama olahraga tersebut bercerita tentang dua atlet lari asal Inggris.
Pelari pertama adalah seorang Yahudi yang gigih dan yang lainnya seorang Kristen taat, dan keduanya ikut berkompetisi dalam ajang Olimpiade 1924 di Paris.
Film Chariots of Fire ini kemudian mendapatkan empat penghargaan Academy Awards.
Dan kebetulan, tidak lama lagi tepatnya pada 26 Juli 2024 mendatang upacara pembukaan Olimpiade 2024 di Paris, Prancis, akan digelar.
Terkait hal tersebut, mari kita lihat kembali bagaimana Olimpiade terakhir di Paris pada 1 abad lalu membantu menghasilkan salah satu film olahraga paling terkenal yang pernah ada.
Ini bukanlah peringatan 100 tahun film ikonik Chariots of Fire, karena film tersebut baru dirilis pada tahun 1981.
Namun peringatan 100 tahun kisah nyata itulah yang menjadi dasar film legendaris tersebut, yang notabene terakhir kali Olimpiade diadakan di Paris. Simak trailer-nya di bawah ini:
Film ini berkisah tentang dua pelari asal Inggris, Eric Liddell dan Harold Abrahams, yang berasal dari latar belakang berbeda, namun memiliki bakat lari yang sama dan ambisi untuk memenangkan medali emas.
Liddell, seorang Kristen taat yang berlari demi kemuliaan Tuhan dan akhirnya menjadi misionaris di Cina, memenangkan medali emas dalam lari 400 meter.
Dia menolak untuk mengikuti lomba terbaiknya, 100 meter, karena salah satu babak kualifikasi berlangsung pada hari Minggu yang merupakan waktu ibadah.
Abrahams, seorang Yahudi yang berlari untuk mengatasi antisemitisme, memenangkan medali emas dalam lari 100 meter untuk menjadi manusia tercepat di dunia.
Film tersebut akhirnya memenangkan empat Academy Awards dari tujuh nominasi, dan menjadikan kedua atlet tersebut sebagai legenda.
Pada Olimpiade Musim Panas 2024 mendatang di Paris, ketenaran mereka kemungkinan akan muncul kembali 100 tahun setelah memenangkan medali emas.
Dan pada akhirnya, menginspirasi salah satu film olahraga terhebat sepanjang masa.
Sinopsis
Dalam upacara pemakaman tahun 1978 di London untuk menghormati Harold Abrahams, yang dipimpin mantan rekannya Lord Andrew Lindsay, ada kilas balik saat dia masih muda dan berada di sekelompok atlet yang berlari di sepanjang pantai.
Pada 1919, saat Abrahams masuk Universitas Cambridge, ia mengalami antisemitisme dari staf Universitas, tapi ia menikmati berpartisipasi dalam kelompok teaterikal Gilbert and Sullivan.
Saat berada di kampus itu pula ia mengembangkan bakat berolahraga.
Abrahams jadi orang pertama yang menyelesaikan Trinity Great Court Run, berlari mengelilingi halaman kampus dalam waktu yang dibutuhkan hingga jam menunjukkan pukul 12.
Abrahams meraih serangkaian kemenangan dalam berbagai kompetisi lari nasional.
Meski fokus pada olahraga lari, ia kemudian jatuh cinta kepada Sybil Gordon, penyanyi soprano terkemuka di Gilbert and Sullivan.
Sedangkan pelari Inggris lainnya, Eric Liddell, lahir di Cina dari orangtua misionaris Skotlandia.
Adik perempuannya yang taat, Jennie, tidak menyetujui rencana Liddell untuk mengikuti kompetisi lari.
Meski begitu, Liddell melihat berlari sebagai cara memuliakan Tuhan sebelum kembali ke Cina untuk bekerja sebagai misionaris.
Saat Abrahams dan Liddell pertama kali berpacu satu sama lain, Liddell mengalahkan Abrahams.
Abrahams menganggapnya buruk, namun Sam Mussabini, pelatih profesional yang pernah ia dekati sebelumnya, menawarkan untuk membawanya guna meningkatkan tekniknya.
Hal ini mengundang kritik dari para master perguruan tinggi Cambridge, yang menyatakan tidak sopan bagi seorang amatir mempekerjakan seorang pelatih profesional.
Abrahams menampik kekhawatiran ini, menafsirkannya sebagai kedok antisemit dan prasangka berbasis kelas.
Ketika Liddell secara tidak sengaja melewatkan pertemuan doa gereja karena dia megikuti lomba lari, Jennie menegurnya dan menuduhnya tidak lagi peduli kepada Tuhan.
Liddell memberitahu Jennie bahwa meskipun pada akhirnya dia berniat untuk kembali ke misi di Cina, ia merasa terinspirasi secara ilahi ketika berlari dan tidak berlari berarti tidak menghormati Tuhan.