- Bek Petrokimia Putra saat juara Liga Indonesia 2002, Dwi Joko Prihatin meneguhkan diri untuk fokus mengembangkan pesepak bola usia dini.
- Dwi Joko tak ingin pengalamannya pada masa kecil masih terjadi dan dirasakan generasi pemain sepak bola masa kini.
- Sebagai pelatih, bek Petrokimia Putra saat juara Ligina 2002 ini mengabdi di kampung halamannya, Sukoharjo, Jawa Tengah.
SKOR.id - Pemain bertahan Petrokimia Putra saat juara Liga Indonesia 2002, Dwi Joko Prihatin teguh untuk pilihannya yaitu fokus mengembangkan pesepak bola usia dini.
Dwi Joko melihat ada banyak sekali pemain usia dini yang potensial di wilayah Soloraya, khususnya Sukoharjo.
Maka, dia tak bisa berdiam diri membiarkan potensi-potensi itu menguap dan hilang begitu saja.
Menurut Dwi Joko, tak ingin pengalamannya saat masa kecil masih terjadi dan dirasakan generasi pesepak bola masa kini.
“Saya ingin ada anak-anak yang bisa mengikuti jejak saya. Karena potensi di Soloraya ini sangat besar,” kata Dwi Joko saat ditemui Skor.id, Kamis (25/2/2021) sore.
"Tetapi pemain yang berkiprah di Liga 1, di kompetisi level tertinggi kok hanya segelintir," ujarnya.
“Pokoknya, saya punya niat harus bisa mengarahkan, harus bisa menjembatani anak-anak agar bisa berkembang ke atas (kompetisi sepak bola level tertinggi)."
Dulu, lelaki asal Polokarto, Kabupaten Sukoharjo itu mengaku sama sekali tak mengetahui jalan yang mesti ditempuhnya untuk mewujudkan cita-cita menjadi pesepak bola profesional.
Saat kelas 2 SMP, Dwi Joko mulai tekun berlatih sepak bola. Dia ingat, di Stadion Gelora Merdeka, Sukoharjo itulah tempat awalnya meneguhkan hati untuk menjadi pesepak bola.
Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, lelaki kelahiran 25 Februari 1978 hanya berpikir sederhana. Dia harus berusaha menjadi 600 pesepak bola terbaik di Indonesia.
Dalam pikirannya waktu itu, jebolan Sekolah Sepak Bola (SSB) Putra Sukoharjo hanya mengkalkulasi hasil perkalian 20 klub yang berkompetisi di Liga Indonesia dengan jumlah pemain yang dibutuhkan setiap tim.
“Pokoknya, saya harus masuk dalam 600 orang tersebut,” ujar Dwi Joko sambil menatap lapangan Stadion Gelora Merdeka, tempat anak-anak Pasoepati Football Academy (PFA) berlatih.
Pengalaman semacam itulah yang tidak diinginkan eks-bek Persita dan Persis Solo dirasakan oleh anak-anak asuhnya di PFA.
“Saya enggak mau mereka mengalami hal yang dulu saya alami dulu,” kata Dwi Joko menegaskan.
Oleh sebab itulah, pemain yang pernah mengantarkan Petrokimia Gresik meraih gelar juara Divisi Utama Liga Indonesia 2002 mengambil keputusan ini.
Sebagai pelatih, Dwi Joko telah mengantongi lisensi kepelatihan PSSI B yang ia dapatkan pada Februari 2020.
Ia juga sudah berpengalaman melatih klub kontestan Liga 3, Persiharjo. Tetapi, pilihan sudah ia ambil dan pengembangan pemain usia dini menjadi fokusnya seusai pensiun dari sepak bola.
“Saya sudah putuskan. Insya Allah, saya ingin istiqomah dengan akademi seperti ini. Saya ingin fokus untuk pengembangan pemain usia dini,” kata Dwi Joko.
Dalam kaitannya dengan melatih anak-anak, Dwi Joko tak semata-mata berpikir tentang menang dan kalah.
Pelatih berusia 43 tahun itu yakin bahwa ada lebih banyak hal bermanfaat yang bisa diambil dari anak asuhnya dari permainan sepak bola.
Persaingan yang terjadi untuk meraih posisi pemain inti, ia korelasikan dengan persaingan dalam dunia kerja.
Kerja sama yang terjalin dalam permainan tim, ia ibaratkan sebagai kemampuan orang untuk bergotong royong dalam bermasyarakat.
Dwi Joko juga menekankan pentingnya menunjukkan sikap fair play, berani mengakui kekalahan agar manusia dapat merenung, lalu instropeksi diri.
“Kalau nilai-nilai itu ditarik dalam kehidupan bermasyarakat, saya yakin mereka akan menjadi anak-anak baik semua,” ucap Dwi Joko yang juga pernah main untuk Persiba Balikpapan.
Sebagai pelatih, Dwi Joko bersama Pasoepati FA sangat menekankan pentingnya pesepak bola harus memiliki perilaku yang bagus.
Eks-pemain Deltras ini yakin, baiknya tingkah laku pemain akan berdampak pada kesuksesan yang diraihnya.
“Kalau semua tingkah laku baik, Insya Allah itu bagian dari sukses kami," kata Dwi Joko.
"Karena sebagus apapun kemampuan bermain bola kalau attitude enggak bagus, pasti juga enggak akan lama kariernya.”
Alasan itulah yang juga membuat PFA, akademi yang dilatih Dwi Joko, mengambil slogan utama: attitude is everything.
Setelah lima tahun mengabdikan diri melatih pesepak bola usia dini, Dwi Joko mengakui tantangan terberatnya sebagai pelatih dialaminya sewaktu harus berbicara tentang karier anak asuhnya.
Pada saat anak didiknya menginjak remaja, sekitar usia 17 tahun, dia dan tim pelatih Pasoepati FA harus memberikan evaluasi.
Selain evaluasi, ada juga penilaian tentang potensi dan kemungkinan si pemain melanjutkan karir sebagai pesepak bola.
Dwi Joko tak ingin memberikan harapan palsu kepada anak didiknya yang menurut penilaian tim pelatih tidak memiliki potensi yang cukup untuk bersaing dengan pemain lainnya.
“Saya enggak ingin memberi harapan anak untuk terus bertahan di sepak bola," ujar Dwi Joko Prihatin.
"Karena sebagai pelatih pasti tahu kualitas kompetitor mereka. Jadi rasanya salah juga kalau memaksa mereka terus-terus di sepak bola.
Ketika menjadi pemain, keinginan Dwi Joko untuk mengantarkan Persis Solo promosi ke Liga 1 telah gagal diraihnya. Kegagalan ini menjadi ganjalan hatinya.
Hanya saja, tidak menutup kemungkinan bagi Dwi Joko untuk menyumbangkan pemain muda potensial yang diasuhnya ke Persis Solo agar ganjalan hatinya dapat sedikit terobati.
Ikuti juga Instagram, Facebook, dan Twitter dari Skor Indonesia.
View this post on Instagram
Berita Kiprah Lainnya:
Kiprah: Haryanto Prasetyo, Bintang PSSI Baretti yang Jatuh Cinta pada Sepak Bola Usia Dini
Kiprah: M Sukron Chaniago, Eks-Kiper Timnas Indonesia yang Ingin Ciptakan Kiper Tangguh
Kiprah: Eka Ramdani, dari UNI Kembali ke UNI karena Rayuan Eks-Persib