- Warsidi sempat membela dua klub besar Indonesia, Persija Jakarta dan Arema Malang.
- Tak hanya itu, Warsidi juga menjadi bagian timnas Indonesia di Piala Asia 2004.
- Kini, Warsidi tengah merintis karier sebagai pelatih untuk pembinaan sepak bola usia dini.
SKOR.id - Warsidi Ardi adalah salah satu bek tangguh yang pernah dimiliki timnas Indonesia serta jadi bagian juara Persija Jakarta maupun Arema Malang.
Warsidi yang namanya mulai dikenal saat memperkuat Persija Jakarta ini, jadi bagian penting timnas Indonesia di Piala Asia 2004.
Namanya memang tak setenar Nuralim atau Bejo Sugiantoro. Akan tetapi, Warsidi ikut berperan pada kesuksesan Persija meraih gelar juara Liga Indonesia musim 2001.
Lelaki asli Jepara ini melengkapi kokohnya tembok pertahanan Macan Kemayoran kala itu bersama Nuralim, Budiman Yunus, Antonio Claudio, Joko Kuspito, dan Anang Maruf.
Kala itu, Warsidi menjadi pemain bertahan termuda Persija asuhan pelatih Sofyan Hadi.
Berada di tengah pemain berlabel timnas Indonesia saat itu, diakui Warsini membantu perkembangan sebagai bek andal.
Puncak karier lelaki 40 tahun tersebut terjadi saat membela Arema Malang. Warsidi mempersembahkan dua gelar trofi Copa Indonesia pada 2005 dan 2006.
Setahun berikutnya, dia hengkang ke Persmin Minahasa hingga cedera lutut parah membuatnya pensiun pada pertengahan musim 2011 saat membela PS Sleman.
"Saya pensiun saat berusia 35 tahun. Sejak saat itu, saya enggak pernah lagi megang bola hampir lima tahunan setelahnya," kata Warsidi kepada Skor.id, Jumat (16/4/2021).
"Saya enggak pernah namanya ngotak-ngutik bola, mungkin ada rasa trauma, kok saya bisa begini, down."
"Padahal saat itu, saya belum sama sekali memikirkan pensiun dari sepak bola," tuturnya.
Warsidi yang keseharian mengurus usaha kontrakan miliknya, kembali ke dunia yang membesarkan namanya.
Berawal dari ajakan sejumlah rekan sesama mantan pemain, Warsidi mulai tertarik menggeluti dunia kepelatihan.
Dia menceritakan, saat kembali sama sekali tak berpikir untuk menjadi pelatih selepas pensiun.
Sebab kala itu, dirinya merasa yakin masih akan bisa bermain hingga usia 40 tahun, jika cedera lutut tidak menggerogoti kariernya.
"Teman-teman sesama mantan pemain saat itu yang mengajak seperti Gendut Doni, Nuralim, Ismed Sofyan, Kurniawan," ujar Warsidi.
"Tetapi saat itu, saya masih ragu, apa saya bisa (melatih)," katanya menerawang.
Namun, Warsidi akhirnya mulai berpikir, walau tidak langsung mengiyakan ajakan teman-temannya.
"Awalnya saya tidak pede, saya tidak punya lisensi. Kemudian, saya berpikir keras tanya sana sini," ujar Warsidi.
"Sebab, pelatih harus punya lisensi sebelum melatih, walaupun di usia muda seperti SSB. Sebelum terjun, saya kursus dulu akhirnya," katanya menambahkan.
Warsidi kemudian mendapat lisensi level C AFC pada 2018. Ia mengikuti kursus atas rekomendasi PSSI untuk para mantan pemain timnas Indonesia.
Saat ini, Warsidi tengah menangani tim usia dini Olympia Football Academy. Dari sini, dia mulai mempelajari dan merasakan problematika yang terjadi di sepak bola akar rumput Indonesia.
Warsidi melihat peran orang tua menjadi sangat penting terhadap perkembangan dari para pemain usia dini, selain pelatih berkualitas dan berkualifikasi tentunya.
Menurut Warsidi, penting bagi orang tua mengetahui terlebih dahulu batasan dari kemampuan anak baik dari segi fisik dan mental.
"Saat ini masih banyak orang tua yang ambisinya lebih besar dari anaknya," kata Warsidi.
"Anak dibiarkan untuk bermain di banyak tim, banyak kejuaraan akhirnya layu sebelum berkembang."
Istilah bekennya saat ini, anak bermain dengan banyak bendera (SSB) dengan dalih memperbanyak jam terbang.
Padahal dikatakan Warsidi, jika berlebihan hal itu justru mengancam perkembangan kemampuan anak.
"Sebenarnya usia dini itu tergantung pelatih, kerja keras pelatih. Di balik itu, yang punya peran utama adalah orang tua," tutur Warsini.
"Kami susah payah membina anak-anak ini, tetapi di luar sana orang tua yang ngerusak," katanya tegas.
"Kenapa saya ngomong seperti itu, karena masih banyak anak-anak bermain di banyak bendera. Jadi itu rusaknya saat usia dini yang saya lihat," ia menambahkan.
Kendati demikian, Warsidi punya trik agar hal itu terjadi di dalam tim asuhannya. Sebelum menangani tim, ia selalu melakukan tindakan preventif.
Dia mengajak semua orang tua pemain menyatukan visi dan kesamaan tekad demi perkembangan pemain.
"Saya pasti melakukan pendekatan terlebih dahulu kepada orang tua, bukan ke anaknya," ujar Warsidi.
"Kalau ada orang tua yang mengizinkan anak-anaknya bermain di banyak tim, kasih otot kakinya," katanya.
"Sebab, lututnya suatu saat akan kena (cedera). Karena otot enggak bisa diforsir. Otot anak-anak itu beda dengan dewasa."
Menurut Warsidi, pemain usia 12 tahun yang lagi bagus-bagusnya, tetapi terus diforsir main akan kena masalah.
Sebab saat 14 tahun ke atas, Warsidi mengatakan pemain ini akan kehilangan semangat lalu perlahan akan hilang semangatnya.
"Lebih baik jangan sampai main lebih di dua tim. Karena, kami enggak bisa langsung geber mereka," ujar Warsidi.
"Nanti akhirnya di puncaknya saat usia 14 atau 15 tahun, para pemain ini justru hilang edarnya," kata Warsidi memungkasi.
Ikuti juga Instagram, Facebook, YouTube, dan Twitter dari Skor Indonesia.
Lihat postingan ini di Instagram
Fitur Kiprah Lainnya:
Kiprah: Doddy Sahetapy, Temukan Kenikmatan dalam Membina Pemain Muda
Kiprah: Aulia Siregar, Garang Saat Jadi Pemain, Kini Sangat Mencintai Sepak bola Usia Dini