- Lahirnya Galatama pada 1979 membuat sepak bola Jakarta menggeliat untuk menyaingi kenyamanan Persija.
- Tercatat ada sekitar 13 klub yang berdiri dan bermarkas di ibu kota pada era Galatama (1979-1994).
- Meski lebih dikenal sebagai kebanggaan Solo, Arseto lahir di Jakarta dari keluarga Cendana, Soeharto.
SKOR.id - Sepak bola Jakarta pernah bergeliat pesat pada era 1980-an hingga pertengahan 1990. Terutama sejak digulirkannya Liga Sepak bola Utama atau Galatama.
Pada kompetisi sepak bola semi-profesional itu, setidaknya ada 13 klub yang berdiri dan pernah bermarkas di ibu kota.
Tim-tim tersebut antara lain Warna Agung, Pelita Jaya, Tunas Inti, Indonesia Muda, Union Make Strength (UMS), dan Angkasa.
Berita Galatama Lainnya: PS Medan Jaya, Klub Kaya Era Galatama Malang Nian Nasibnya Kini
Lalu ada Jayakarta, Arseto, Buana Putra, Jakarta Putra, Cahaya Kita, Perkesa 78, dan BBSA (Bangka Belitong Sports Association).
Dari sejumlah tim itu, hanya sedikit yang berprestasi. Pelita Jaya bisa dibilang tim asal Jakarta tersukses dalam era Galatama.
Tiga gelar juara diraih Pelita Jaya pada musim 1988-1989, 1990, dan 1993-1994, yang merupakan edisi terakhir Galatama sebelum dilebur dengan Perserikatan.
Sedangkan Warna Agung merupakan juara Galatama edisi perdana, 1979-1980. Menariknya, laga final mempertemukan dua tim ibu kota, Warna Agung melawan Jayakarta.
Namun, Jayakarta harus mengakui keunggulan Warna Agung yang kala itu diasuh oleh dokter Endang Witarsa.
Warna Agung diperkuat sejumlah bintang sepak bola Indonesia saat itu, di antaranya Ronny Pattinasarany, Risdianto, dan Rully Nere.
Warna Agung juga mencetak pemain muda yang kemudian menjadi andalan timnas yakni Widodo Cahyono Putro.
Tidak hanya itu, Warna Agung bahkan tercatat sebagai satu-satunya tim yang mampu bertahan sejak edisi perdana Galatama hingga edisi 1994 tanpa berganti nama.
Sementara Jakarta Putra jadi tim yang hanya tampil satu musim yakni pada 1979-1980. Sebelum bubar, Warna Agung sempat ikut dalam Liga Indonesia 1994-1995.
Sayang, Warna Agung tak mampu bersaing hingga akhirnya menempati juru kunci klasemen wilayah barat dan terpaksa terdegradasi.
Selepas itu kabar klub yang didirikan oleh pengusaha cat bernama Benny Muljono itu bak hilang ditelan bumi. Degradasi, suram, lantas lenyap.
Kesuksesan tim asal Jakarta, selain Persija dalam kompetisi Perserikatan yang dianggap tradisional, dilanjutkan Pelita Jaya 10 tahun kemudian.
Pelita Jaya bahkan merebut gelar juara Galatama dua musim beruntun pada 1988-1989 dan 1990. Pelita juga menjadi juara edisi terakhir Galatama musim 1993-1994.
Nama Pelita Jaya pada awal kompetisi Liga Indonesia 1994-1995 bahkan lebih harum ketimbang saudara tuanya, Persija dan Warna Agung.
Pelita kukuh di puncak klasemen penyisihan wilayah Barat di atas dua tim asal Bandung, Persib dan Bandung Raya serta Medan Jaya.
Sayang, perfoma Pelita Jaya melempem pada babak delapan besar dan gagal melenggang ke semifinal. Persib Bandung pada akhirnya keluar sebagai juara.
Tidak ada gelar juara yang diraih Pelita sejak era Ligina. Pada musim 1999-2000, Pelita Jaya berubah nama menjadi Pelita Solo dan bermarkas di Stadion Sriwedari.
Setelah Pelita Solo, berubah menjadi Pelita Krakatau Steel, kemudian menjadi Pelita Jaya Purwakarta, Pelita Jabar, Pelita Jaya Karawang, dan Pelita Bandung Raya.
Kini, nama Pelita Jaya telah tiada. Tim yang berdiri pada 1986 dengan nama Pelita Jaya Jakarta, itu telah bertransformasi menjadi Madura United.
Pecinta sepak bola Tanah Air niscaya pernah dengar nama klub kaya raya, Arseto. Meski lebih dikenal dengan Arseto Solo, klub milik keluarga Cendana ini lahir di ibu kota.
Arseto didirikan oleh Putra Presiden kedua RI Soeharto, Ari Sigit, pada 1978 dan memilih Jakarta sebagai markas tim.
Namun, sejak 1983, setelah Presiden Soeharto mencanangkan 9 September sebagai Hari Olahraga Nasional, Arseto berkandang di Solo.
Arseto juga dijuluki The Cannon atau si Meriam, lantaran selalu semangat tak pernah lelah berjuang untuk menampilkan performa terbaiknya seperti meriam.
"Siapa pemain yang tak mau memperkuat Arseto saat itu. Kehidupan terjamin," kata Yunus Muchtar, mantan pemain Arseto dan timnas Indonesia.
"Kami semua satu tim saat itu pernah dibelikan sepatu keluaran luar negeri dan itu hanya kami yang pakai di Indonesia," Yunus menambahkan.
Sayang, Arseto hanya sekali menjadi juara Galatama, yakni pada musim 1990-1992. Namun Arseto pernah menjadi wakil Indonesia di Liga Champion Asia 1993.
Pada kejuaran tersebut Arseto menempati posisi tujuh besar bersama tim kuat Asia lainnya. Arseto kemudian menyatakan bubar pada 1998 menyusul lengsernya Soeharto.
Namun begitu, masih ada sisa-sisa sejarah Arseto berupa kantor manajemen dan mes pemain di Kadipolo. Sayang gedung tersebut tak terawat dan dibiarkan.
Mungkin, tidak banyak yang tahu jika tim Galatama, Perkesa 78, merupakan tim yang lahir di Jakarta. Perkesa 78 punya ciri khas bermaterikan pemain Papua.
Klub ini didirikan oleh Mayjen TNI (Purn) Acub Zaenal. Meskipun berawal dari Kebayoran, Jakarta Selatan, dalam Galatama edisi perdana Perkesa 78 tercatat sebagai tim asal Bogor.
Namun akibat suap, klub yang bermarkas di Cipaku itu tenggelam. Perkesa merupakan singkatan dari Persatuan Sepak bola Kebayoran dan sekitarnya.
Skandal suap yang mengubah Perkesa 78 terjadi pada 5 Juni 1979, dalam laga derbi ibu kota melawan Cahaya Kita di Stadion Menteng.
Lewat perantara sang kapten, Jafeth Sibi, para pemain Perkesa 78 mendapat suap sebesar Rp1,5 juta. Suap itu diberikan ke beberapa pemain.
Intinya, Perkesa 78 harus mengalah dari Cahaya Kita. Rata-rata pemain mendapatkan Rp80 ribu. Skandal ini terbongkar setelah Acub Zaenal mendapat sepucuk surat.
Setelah memecat Jafeth Sibi dan memberikan sanksi pada pemain lain yang menerima suap, Acub Zaenal bahkan berniat membubarkan Perkesa 78 saat itu juga.
Berita Galatama Lainnya: Indrayadi Kiper Pusri Galatama, Mengenang Momen Emas Dipanggil Timnas
Namun, setelah muncul desakan dari banyak masyarakat Papua yang berharap Perkesa 78 dipertahankan, Acub Zaenal kemudian mengurungkan niatnya.
Seiring berjalannya waktu, Perkesa kerap berpindah markas tim mulai dari Mataram, Sidoarjo, dan Yogyakarta, lantas bubar seiring hilangnya Galatama pada 1994.
Klub Galatama yang Berdiri dan Bermarkas di Jakarta
- Warna Agung (1979-1994)
- Pelita Jaya (1986-1994)
- Tunas Inti (1979-1987)
- Indonesia Muda (1979-1984)
- Union Makes Strength 1980-1984
- Angkasa (1980-1984)
- Jayakarta (1979-1982)
- Buana Putra (1979-1982)
- Cahaya Kita (1979-1982)
- BBSA (1979-1980)
- Jakarta Putra (1979-1980)
- Arseto (1979)
- Perkesa 78 (1978)