- Zulkarnaen Lubis dikenal sebagai salah satu legenda sepak bola Indonesia dengan bakat luar biasa.
- Karena bakat besarnya itu, Zulkarnaen Lubis sampai dijuluki Kevin Keagen dan Maradona Indonesia.
- Sebelum meninggal, Zulkarnaen Lubis aktif sebagai pelatih sepak bola putri dan SSB di Palembang.
SKOR.id - Genap dua tahun yang lalu, tepatnya 11 Mei 2018, Zulkarnaen Lubis meninggal dunia. Zul, sapaanya, meninggalkan segudang kenangan.
Pada masa jayanya, ia disebut Maradona-nya Indonesia. Pantas, kalau ia masuk sebagai legenda sepak bola Indonesia, karena dikenal sebagai striker haus gol.
Nama Zulkarnaen Lubis sangat terkenal dikancah sepak bola nasional pada era 80-an. Zul menjadi paling fenomenal dalam era Galatama.
Berita Galatama Lainnya: Emas SEA Games 1991: Anak Muda Galatama, Fase Uji Coba, dan Shadow Football
Setelah pensiun Zul menetap di Kota Kembang, Bandung. Namun, ia meninggal di kota Palembang dan dimakamkan di kota kelahirannya, Binjai, Sumut.
Seperti kebanyakan para mantan pemain, semasa hidupnya almarhum tetap tidak meninggalkan dunia yang pernah membesarkannya.
Saat tinggal di Bandung, ia memilih menjadi pelatih di salah satu sekolah sepak bola wanita, SSB Queen, bersama sang istri, Papat Yunisal.
Zul pernah bercerita pada TopSkor (grup Skor Indonesia) mengapa dirinya dijuluki bintang asal Inggris, Kevin Keagen dan bintang asal Argentina, Maradona.
“Pelatih Wil Coerver yang menjuluki saya Kevin Keagen saat di Yanita Utama. Kalau julukan Maradona muncul ketika saya tampil kejuaraan antarklub Asia," katanya.
"Mulanya dari wartawan-wartawan dan masyarakat. Tetapi, saya tidak pernah besar kepala, justru itu menjadi tanggung jawab saya," ia menambahkan.
Karier sepak bola almarhum sarat dengan prestasi dan sangat fenomenal serta sensasional terutama dalam era Galatama.
Adapun karier di timnas berawali dari PSSI Pratama, PSSI Garuda, sampai PSSI Pra Piala Dunia 1986 Mexico dan nyaris lolos jika tidak terhadang Korea Selatan.
Zul memegang komitmen tinggi terhadap sepak bola. Karena itu, ia tak segan untuk menularkan ilmunya kepada pemain-pemain usia dini.
Ilmu itu ia praktekkan di Palembang. Ia memoles anak-anak muda berbakat di sekolah sepakbola SYSA (Sekayu Youth Soccer Academy).
Bahkan, pemainnya berhasil terjaring menuju pelatihan di Uruguay seperti, Antoni dan Yogi Rahadian. Baginya memunculkan bakat pemain adalah tugas utama.
Sebelum meninggal ia pernah berkelakar. “Kalau bisa menyiasati umur, sekarang mungkin ingin jadi pemain lagi,” katanya.
Maka dari itu, kata almarhum, pemain sepak bola sekarang hebat-hebat, badannya tinggi-tinggi, kecepatannya dalam berlari melebihi pemain-pemain tempo dulu.
“Artinya, dulu para pemain kecepatannya tidak seperti sekarang tetapi pemain tempo dulu selain bagus juga pintar-pintar. Itu kenapa prestasi sekarang dan dulu beda."
Zul pun akhirnya berkesimpulan bahwa menjadi pemain lebih kepada faktor bakat alam. Sebab, dulu lebih banyak pemain lahir dengan sendirinya dan bukan dicetak.
Para penikmat sepak bola era 80-an sangat terhibur dengan sosok Zulkarnaen Lubis. Kompetisi Galatama kian semarak setelah hadirnya sosok mungil ini.
Perjalanan hidupnya menuntunnya menjadi pemain sepak bola. Padahal, sebelum dikenal sebagai pesepak bola, ia jadi karyawan di Kantor Gubernur Sumut.
Zul mengakui, kalau saja saat itu dirinya tidak memutuskan untuk keluar kerja, boleh jadi ceritanya akan lain sampai sekarang.
Ia pun menuturkan, karier sepak bolanya bermula pada 1974 di klub amatir di Kota Binjai, PSKB (Persatuan Sepakbola Kota Binjai).
Menurut penuturan almarhum, tokoh sepak bola Sumut, Wahab Abdi, dianggap sosok yang paling berjasa dalam mengangkat namanya.
Saat ada sebuah uji coba. Ia ikut memperkuat PSKB untuk melawan PSMS. Dari situ kualitasnya terpantau sampai akhirnya dipanggil memperkuat PSMS.
Setahun memperkuat PSKB dan tiga tahun menjadi skuad PSMS, Zul mulai menapaki sebagai pemain yang benar-benar profesional.
Berita Galatama Lainnya: Dua Kali Top Skor Galatama, Singgih Pitono Hanya Dapat Kayu
Dipilihlah, Mercu Buana, klub Galatama milik Probosutejopada 1978. Tetapi, karir di tim nasional sebetulnya ia jalani ketika menjad skuat Yanita Utama.
Benar saja, setelah Yanita Utama berhenti, petualangan Zul dari satu ke tim lainnya dimulai pada 1984. Krama Yudha Tiga Berlian (KTB) jadi klub tujuan kariernya.
Hanya bertahan empat tahun bersama KTB, Perokimia Putra pun meliriknya (1988). Sisa-sisa kejayaannya sebagai pemain ia habiskan di Persid Jember sampai 2000.