SKOR.id – Kesuksesan Armand “Mondo” Duplantis memecahkan rekor dunia loncat galah atas namanya sendiri, sekaligus merebut medali emas disiplin tersebut di Olimpiade Paris 2024, membuat banyak orang ingin mengetahui siapa dia sebenarnya.
Karena itu, meskipun sudah dirilis pada tahun 2022 silam, rasanya film Born to Fly masih sangat layak ditonton. Di usia yang baru 24 tahun, Duplantis yang membawa bendera Swedia sudah dianggap sebagai peloncat galah terbaik di dunia.
Di Stade de France, Prancis, 5 Agustus 2024 lalu, Duplantis mencetak rekor loncat galah dengan meloncati mistar setinggi 6,25 meter atau hanya lebih tinggi 1 cm dari catatan lamanya (6,24 meter) yang dibuat di Xiamen Diamond League pada April lalu.
Duplantis kini memegang rekor dunia loncat galah pria baik untuk stadion outdoor (6,25 meter) maupun indoor (6,22 meter). Ia juga juara di dua Olimpiade (2020 dan 2024), dua kali juara dunia outdoor (2022 dan 2023) dan indoor, serta jawara Eropa.
Upaya di Paris 2024 merupakan kali kesembilan Duplantis memecahkan rekor dunia loncat galah. Menariknya, Duplantis selalu hanya menaikkan mistar setinggi 1 cm dalam upayanya memecahkan rekor.
Born to Fly, film dokumenter berdurasi 1 jam 36 menit, mengangkat kisah perjalanan karier Duplantis yang sudah dimulainya sejak masih kanak-kanak.
Sutradara Brennan Robideaux mengaku terinspirasi membuat Born to Fly setelah membaca koran lokal pada satu pagi di tahun 2017, yang menyoroti peloncat galah muda yang lahir dan besar di kampung halamannya, Lafayette, Louisiana, Amerika Serikat.
Artikel tersebut menggambarkan keberhasilan seorang peloncat galah sekolah menengah atas dari kota Lafayette yang merupakan pemegang rekor dunia junior. Robideaux pun ingat nama belakangnya, Duplantis, karena semua orang di kotanya mengetahui keluarga atlet yang membangun lubang lompat galah di halaman belakang rumah mereka. Namun, tidak banyak yang tahu tentang mereka.
Robideaux melihat ada sesuatu yang ajaib tentang seorang anak yang memulai perjalanan untuk menjadi yang terbaik dalam sesuatu yang tidak jelas seperti lompat galah. Awalnya ia menganggap Mondo sebagai pemain catur.
Robideaux pertama kali menghubungi ayah Mondo, Greg, untuk meminta nomor ponsel Mondo. Lalu ia mengirimkan teks panjang ke Mondo, menjelaskan mengapa dia harus mengizinkannya mulai merekam ceritanya secara real-time dan bagaimana hal ini akan menghasilkan film yang luar biasa.
Film ini dengan cepat mengambil kehidupannya sendiri. Selama dua tahun pertama, Robideaux hanya berjalan dengan kameranya ke sekolah menengah untuk menemukan Mondo sedang melakukan pemanasan di lintasan setelah bel terakhir berbunyi, dan mulai syuting.
Dari situ Robideaux segera menyadari intensitas Mondo, terutama terhadap dirinya sendiri. Setelah setiap lompatan, terlihat jelas bahwa ia menguraikan setiap detail kecil, yang menjadi tema inti dalam film Born to Fly. Mondo sejak kecil sudah “merasakan” peristiwa unik tersebut. Dia tidak pernah bisa menggambarkannya secara akurat, tetapi perasaan itu terus dia kejar hingga hari ini. Jika “perasaan”nya tidak tepat pada suatu loncatan, dia harus menguraikan dalam pikirannya apa yang salah.
Dalam loncat galah, setiap fase lompat galah penting dan ada ratusan pengulangan yang terjadi selama sepuluh detik tersebut. Setiap gerakan badan, setiap langkah di lintasan, kecepatan, pengendalian tiang, penanaman setepat mungkin, penempatan lengan, kekuatan inti, dan pengendalian tubuh merupakan faktor-faktor yang ada dalam setiap lompatan.
Loncat galah sama teknisnya dengan olahraga apa pun, tetapi dibutuhkan lebih dari sekadar teknik hebat untuk menjadi hebat. Jarang ada atlet yang memiliki perasaan bawaan terhadap apa yang mereka lakukan dan kemampuan untuk menerjemahkan perasaan itu ke dalam penampilan mereka. Mondo memiliki kemampuan itu di usianya yang masih sangat muda.
Saat pembuatan film berlangsung, lapisan cerita ini mulai muncul. Ini menjadi lebih dari sekedar dokumentasi kesuksesan anak ajaib di lintasan. Ceritanya mencakup kisah kedewasaan antara seorang anak laki-laki dan ayahnya.
Greg Duplantis dahulu adalah salah satu peloncat galah terbaik Amerika di masa jayanya. Dia memecahkan beberapa rekor dunia level sekolah menengah dan ditetapkan menjadi atlet Olimpiade.
Namun kisahnya berakhir lebih cepat dari yang ia harapkan, tidak pernah lolos untuk masuk ke tim Olimpiade Amerika Serikat karena penampilan buruknya di tes dan seleksi di tingkat negara.
Impian seumur hidupnya untuk menjadi atlet Olimpiade Amerika berakhir setelah empat kali gagal tampil di uji coba Olimpiade. Sebuah akhir yang tidak biasa dari dedikasi, pelatihan, dan persiapan seumur hidup selama 12 tahun berturut-turut.
Ada juga kisah tentang ibu Mondo, Helena, seorang atlet sapta lomba berbakat Swedia yang datang ke Amerika Serikat dengan beasiswa untuk atletik dan lantas bertemu dengan Greg. Dia, seperti suaminya, terobsesi dengan olahraga - dan itu sepenuhnya berlaku bagi anak-anak mereka. Olahraga bukan hanya sesuatu yang mereka ikuti seperti anak-anak pada umumnya melainkan olahraga “memakan” mereka.
Jadi, ketika perguruan tinggi setempat menjual lubang lompat galah lama mereka, godaannya terlalu besar, dan keluarga Duplantis membeli seluruh perlengkapannya, memasang kembali struktur besar di halaman belakang rumah mereka yang sederhana. Itu menjadi taman bermain mereka.
Latar belakang Helena juga menyadarkan Robideaux bahwa sebagian besar kompetisi atletik berlangsung di Eropa. Jika saya ingin mengabadikan kisah Mondo, itu berarti Robideaux harus pergi ke luar AS.
Demi film ini, total Robideaux harus mengunjungi enam negara berbeda dalam kurun waktu hampir enam tahun, untuk mendapatkan detail karier Mondo Duplantis.
Singkatnya, Born to Fly menampilkan Duplantis sejak ia menjadi peloncat galah sekolah menengah di kampung halamannya di Lafayette. Pada saat itu, Duplantis, yang memegang beberapa rekor terbaik dunia di semua kelompok umur dari usia tujuh hingga 12 tahun, sudah menjadi pemegang rekor dunia junior.