- Dua atlet muda mengumumkan pengunduran diri mereka dari olahraga, dengan alasan kecemasan dan depresi.
- Seorang psikolog olahraga mengatakan tren tersebut menunjukkan bahwa kesehatan mental bukanlah stigma dalam olahraga seperti dulu.
- Pemain mungkin menyadari bahwa mereka dapat mencapai kesuksesan dengan cara yang tidak melibatkan menggiring bola.
SKOR.id - Dua atlet muda dengan karier yang menjanjikan, meninggalkan olahraga mereka, sama-sama menyatakan bahwa bermain di level tinggi berkontribusi pada kecemasan dan depresi. Seorang psikolog olahraga mengatakan tren tersebut mungkin menjadi lebih umum di antara para pemain.
Tyrell Terry, yang bermain selama dua tahun di NBA, baru-baru ini mengumumkan di laman Instagram miliknya - yang kini tidak lagi eksis - bahwa dia akan berhenti dari bola basket profesional setelah mengalami "masa tergelap" dalam hidupnya saat bermain.
"Pikiran yang mengganggu, bangun dengan rasa mual, mendapati diri saya berjuang untuk mengambil napas normal karena batu yang duduk di dada saya sepertinya lebih berat daripada yang bisa saya bawa," tulis Terry, 22 tahun. "Ini hanyalah deskripsi singkat tentang kecemasan yang ditimbulkan oleh olahraga ini pada saya."
Pemain sepak bola Ohio State, Harry Miller, juga menulis catatan serupa pada bulan Maret tahun ini, menjelaskan bahwa dia berhenti dari sepak bola setelah mengalami pikiran untuk bunuh diri dan terlibat dalam tindakan menyakiti diri sendiri.
Tyrell Terry, a 2020 NBA draft pick of the Dallas Mavericks, has announced his retirement from basketball, citing anxiety.
In an Instagram post on Thursday, he called it “the darkest times” of his life while describing the anxiety basketball caused him. https://t.co/7gDEaAmtyE— CNN (@CNN) December 16, 2022
Meskipun tren tersebut tampak mengkhawatirkan, para pemain muda yang memprioritaskan kesehatan mental mereka di atas prestasi atletik merupakan tanda positif bagi olahraga, menurut Mark Aoyagi, seorang psikolog olahraga dan profesor di Universitas Denver yang telah bekerja dengan atlet profesional, perguruan tinggi, dan atlet Olimpiade.
Keputusan pensiun dini Terry dan Miller itu menunjukkan kepada Aoyagi bahwa para pemain muda menyadari bahwa mereka menciptakan identitas dan meraih kesuksesan di luar olahraga.
"Semuanya harus berpikir dalam sisi psikolog olahraga, tetapi menurut saya ada banyak hal yang lebih penting daripada olahraga," kata Aoyagi. "Ini hiburan yang bagus, tapi tidak sempurna dan ada banyak cara lainnya yang bisa dilakukan pemain untuk mencapai hal-hal yang ingin mereka capai."
Media Sosial Platforma untuk Berbagi
Tidak bisa dimungkiri bahwa obrolan di media sosial dapat menciptakan tekanan pada atlet, berkontribusi pada tantangan kesehatan mental mereka.
Aoyagi mengatakan otak tidak berhenti berkembang hingga sekitar usia 27 tahun, dan lagi banyak anak muda mungkin belum mengembangkan ketahanan mentalnya untuk menghadapi tekanan dan hal negatif yang diciptakan oleh media sosial.
Namun, di sisi lain, lebih banyak atlet muda lagi yang menggunakan media sosial itu sebagai platform untuk berbagi cerita mereka. Terry maupun Miller menggunakan akun pribadi mereka untuk membagikan pengalaman kesehatan mental mereka.
"Kemampuan untuk mengontrol narasi, mengatakannya dengan cara yang mereka inginkan, media yang ingin mereka gunakan untuk mengatakannya, saya pikir juga menjadi kontributor besar" bagi lebih banyak atlet yang berbicara tentang kesehatan mental, kata Aoyagi.
Tyrell Terry shared a heartfelt message announcing his retirement from basketball ???? pic.twitter.com/FgBb1rVhzC— NBA on ESPN (@ESPNNBA) December 15, 2022
Kesehatan Mental Bukan Lagi Stigma
Meskipun olahraga pada umumnya masih merupakan lingkungan hiper-maskulin yang dapat menghilangkan rasa sakit non-fisik, generasi yang lebih muda telah memiliki penerimaan kecerdasan emosional yang lebih besar, menurut Aoyagi.
Atlet yang lebih tua tidak pernah diajari tentang bagaimana mengekspresikan emosi mereka atau mengenali rasa sakit mental, menurut Aoyagi.
Di masa lalu, pelatih tidak bekerja dengan pemain yang dianggap sebagai "choker", atau seseorang yang tampil lebih buruk di bawah tekanan. Pelatih tidak menyadari bahwa ketahanan mental dapat menguat seiring berjalannya waktu, mirip bagaimana keterampilan fisik dapat meningkat dengan latihan.
Aoyagi menambahkan "kecaman sosial" yang berasal dari berhenti, mungkin lebih kuat di masa lalu, ketika para pemain mungkin tidak menyadari mengenai kerugian fisik dan finansial yang dapat ditimbulkan oleh olahraga terhadap atlet.
Sekarang, Aoyagi mengatakan ada lebih banyak sumber daya dan bahasa untuk membahas topik semacam ini dalam olahraga.
Banyak orang memuji olahragawan muda seperti Naomi Osaka dan Simone Biles karena memprioritaskan kesehatan mental mereka daripada kompetisi, dan NCAA membuat panduan praktik terbaik pada tahun 2017 untuk membantu perguruan tinggi mengatasi masalah di antara para pemain mereka.
"Saya hanya berpikir bahwa banyak dari tekanan itu bukannya karena sudah tidak ada lagi, tetapi saya pikir setidaknya ada kemungkinan untuk mempertimbangkan opsi lain," sang psikolog menegaskan kembali pentingnya masalah ini di masa depan.***
Berita Entertainment Bugar Lainnya:
Gangguan Kecemasan Sering Terjadi, Ini yang Harus Diketahui Semua Orang
Psikolog Terkemuka Ini Bagikan 3 Cara Sederhana Mengatasi Kecemasan Sosial
Perlu Tahu, Beberapa Masalah Berikut Ini Memicu Serangan Kecemasan