SKOR.id – Doping lagi-lagi menjadi topik hangat dalam olahraga tenis menyusul kasus teranyar yang menjerat Iga Swiatek. Pemilik lima gelar Grand Slam ini dinyatakan positif menggunakan zat terlarang.
Hasil tes Swiatek terbukti positif trimetazidine, zat yang ditemukan sebagai kontaminan dalam obat tidur melatonin yang dikonsumsinya. Akibat pelanggaran tersebut, ia dijatuhi skorsing satu bulan.
Badan Integritas Tenis Internasional (ITIA) memberi hukuman paling ringan terhadap tunggal putri nomor dua dunia itu karena menilai tidak ada kesalahan serta kelalaian signifikan yang dilakukan.
Tentu saja ini segera memicu kontroversi. Terlebih sanksi yang diberikan tergolong sangat ringan dan kasus Swiatek muncul tak lama usai petenis top lainnya, Jannik Sinner, juga dinyatakan positif doping.
Namun, bukan hanya Swiatek dan Sinner petenis elite berstatus juara Grand Slam yang pernah melanggar aturan doping. Beberapa nama besar pun pernah tersandung masalah memalukan tersebut.
1) Iga Swiatek (2024)
Kasus doping terbaru dalam yang menjerat pemilik gelar Grand Slam kembali terjadi setelah Iga Swiatek dijatuhi larangan bertanding satu bulan akibat terbukti positif TMZ atau trimetazidine.
Empat kali juara Grand Slam French Open dan sekali US Open tersebut dinyatakan positif sesaat sebelum Cincinnati Open 2024, Agustus lalu dan diskors sementara dari 12 September-4 Oktober.
Lalu Swiatek banding dan berhasil. Argumen atlet Polandia itu bahwa obat melatoninnya terkontaminasi trimetazidine diterima. Ini memungkinkannya kembali untuk tampil di WTA Finals dan Billi Jean King Cup.
Setelah divonis melakukan ‘kesalahan yang tidak fatal’ oleh ITIA, Iga Swiatek dijatuhi sanksi satu bulan. Dengan demikian, ia akan dapat bermain kembali pada awal musim 2025.
2) Jannik Sinner (2024)
Pada Agustus 2024 dunia tenis dikejutkan dengan kasus doping yang menimpa Jannik Sinner. Petenis putra nomor 1 dunia dua kali dinyatakan positif menggunakan steroid clostebol yang dilarang, Maret lalu.
Kabar tersebut muncul hanya beberapa hari sebelum Grand Slam US Open. Kasus Sinner baru terungkap belakangan usai sang petenis sukses banding dan akhirnya dinyatakan tidak bersalah oleh ITIA.
Juara Grand Slam Australian Open 2024 itu terbebas dari sanksi karena ITIA menilai kandungan clostebol masuk ke tubuh sang petenis tanpa sengaja saat dipijat oleh fisioterpisnya.
Namun Badan Anti-Doping Dunia (WADA) sudah mengumumkan banding atas putusan ITIA. Ini artinya Jannik Sinner masih berpotensi menghadapi hukuman berat.
3) Simona Halep (2022)
Simona Halep seperti tersambar petir saat karier tenisnya terancam setelah pada Oktober 2022 dinyatakan positif memakai obat anti-anemia roxadustat dalam Grand Slam US Open tahun itu.
Akibatnya, mantan petenis putri nomor 1 dunia asal Rumania tersebut diskors sementara dari olahraga. Pada akhirnya Halep dijatuhi sanksi berat, larangan bertanding selama empat tahun pada September 2023.
Juara Grand Slam French Open 2018 dan Wimbledon 2019 ini terus mengeklaim tes dilakukan usai dirinya menerima zat dari eks pelatihnya, Patrick Mouratoglou, dan mengajukan banding ke CAS, Februari 2024.
Perjuangan Simona Halep berbuah hasil. CAS mengurangi masa suspensinya menjadi sembilan bulan. Ia comeback di Miami Open pada Maret lalu, tetapi belum mampu mengembalikan performanya.
4) Maria Sharapova (2016)
Maria Sharapova mengakui dirinya telah melakukan kesalahan besar sekaligus konyol usai terbukti positif menggunakan meldonium pada Grand Slam Australian Open 2016.
Sang petenis Rusia lupa mengecek daftar terbaru obat yang dilarang Badan Anti-Doping Dunia (WADA). Di dalamnya ternyata ada meldonium, obat jantung yang sudah dikonsumsinya selama satu dekade.
Sharapova awalnya dilarang bertanding selama dua tahun pada Juni 2016. Tetapi setelah banding ke CAS, sanksi untuk juara Grand Slam lima kali tersebut direduksi menjadi 15 bulan.
Mantan tunggal putri nomor 1 dunia kemudian kembali meramaikan persaingan pada April 2017. Namun, ia gagal tampil maksimal dan memilih pensiun akhir Februari 2020.
5) Marin Cilic (2013)
Marin Cilic membantah dirinya melakukan pelanggaran setelah dinyatakan positif memakai nikethamide, stimulan yang membantu fungsi pernapasan, dalam Munich Open pada 2013.
Petenis putra Kroasia tersebut mengeklaim zat terlarang itu terdapat dalam tablet glukosa yang dibawanya ke Prancis dan ITF menerima alasannya bahwa tidak ada kesalahan yang disengaja.
Namun federasi tetap mengganjarnya larangan bertanding selama sembilan bulan. Cilic, mantan petenis putra nomor tiga dunia, berhasil mengajukan banding untuk mengurangi skorsnya menjadi empat bulan.
Ia kembali mengikuti tur pada Oktober 2013. Kurang satu tahun setelah tersandung skandal doping, Marin Cilic meraih satu-satunya titel Grand Slam dalam kariernya, yakni US Open 2014.
6) Martina Hingis (2007)
Comeback dari pensiunnya pada 2005, karier Martina Hingis tidak berjalan mulus. Musim 2007, pemilik lima trofi Grand Slam sektor tunggal putri ini terbukti positif memakai zat terlarang benzoylecgonine.
Hingis lalu mengajukan banding atas keputusan ITF yang mencabut peringkat dunianya dan memberikan larangan bertanding selama dua tahun dari Oktober 2007, meski akhirnya ditolak.
Mantan petenis putri nomor satu dunia asal Swiss tersebut terus menyatakan dirinya tidak bersalah. Kasus Martina Hingis berubah lagi ketika hasil tes pribadi terhadap sampelnya negatif.
Pun begitu, ia memilih tetap gantung raket hingga pada musim 2013 kembali dari masa pensiun untuk kali kedua. Hingis sukses menyabet total 10 gelar Grand Slam di nomor ganda putri dan ganda campuran.
7) Petr Korda (1998)
Petr Korda merupakan juara Grand Slam Australian Open 1998. Selang beberapa bulan setelah merengkuh titel major pertama dan terakhirnya itu, petenis putra asal Ceko terbukti doping.
Korda dinyatakan positif menggunakan steroid nandrolone yang dilarang ketika tampil dalam Grand Slam Wimbledon 1998. Ia pun terlibat pertarungan legal dengan sejumlah otoritas.
Usai keluar-masuk pengadilan selama sembilan bulan yang melibatkan Federasi Tenis Internasional (ITF), Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS), Pengadilan Tinggi Inggris, Korda akhirnya diskors selama satu tahun.
Sanksi mantan tunggal putra nomor 2 dunia tersebut aktif pada 1 September 1999. Namun, sebelum masa hukumannya dimulai Petr Korda gantung raket usai gagal dalam kualifikasi Wimbledon di tahun yang sama.