- Mantan pembalap top Indonesia Ananda Mikola bicara panjang lebar soal perkembangan olahraga balap.
- Dengan posisinya sebagai Wakil Ketua Umum Olahraga Mobil PP IMI, Ananda Mikola jelas terlibat langsung di dalamnya.
- Perkembangan olahraga balap mobil dalam beberapa tahun terakhir meningkat pesat.
SKOR.id – Kantor Skor.id kedatangan tamu istimewa, belum lama ini. Ya, siapa yang tidak kenal dengan sosok Ananda Mikola? Malang melintang di ajang balap mobil baik dalam negeri maupun internasional membuatnya layak menduduki posisi Waketum Olahraga Mobil PP IMI 2021-2024.
Pengalaman di berbagai ajang balap mobil mulai turing, GT, hingga single seater antara awal 1990-an sampai 2000-an awal membuat suami dari aktris dan produser Marcella Zalianty itu diharapkan publik mampu meningkatkan kualitas olahraga balap di Tanah Air.
Apa saja trik kampiun Formula 3 Asia 2005 yang juga sempat membela Indonesia di balap mobil formula A1 Grand Prix itu dalam membantu mengembangkan balap mobil di Indonesia? Berikut petikan wawancaranya dengan Skor.id:
Apa kabar Ananda, apa saja kegiatan keseharian Anda saat ini?
Alhamdulillah sehat. Dengan posisi saya sebagai Waketum Olahraga Mobil PP IMI terbilang padat karena membawahi 11 bidang olahraga roda empat mulai reli, balap (di sirkuit), speed off-road, sprint rally, wah banyak deh. Karena ada total 156 event kejurnas per tahun, bisa dibilang setiap akhir pekan pasti ada event.
Terus yang terakhir IMI membawahi ajang F1 Power Boat sebagai tuan rumah kejuaraan dunia. Kehadiran IMI di situ sebagai regulator dan bisa berpartisipasi dengan tugasnya menjalankan fungsi regulasi dan penyelenggaraan event.
Anda bakal memegang tanggung jawab Formula E Jakarta 2023 (putaran 10 dan 11 pada 3-4 Juni 2023). Tantangannya bagaimana?
Saya dipercaya sebagai OC, Organizing Committee. Memang ini pekerjaan yang tidak pernah saya pikirkan. Saya tahu diri juga, apalagi kita sudah memiliki bench mark berupa gelaran tahun lalu yang terbilang sukses. Pasti itu dijadikan parameter, indikator, dan pembanding.
Namun saya tidak mau menjadikan ini sebagai beban meskipun tugas kali ini jauh lebih luas dibanding tahun lalu sebagai RC (Racing Committee). Di OC lebih menyeluruh konsep event yang which is bukan domain saya, hiburan, musik, kadang mikirin tribune, penonton, hal-hal seperti traffic management, kondisi tribune, intinya bagaimana bisa menarik publik untuk bisa datang kembali menyaksikan Formula E lagi.
Satu yang harus dicatat, Formula E ini kan setingkat dengan Formula 1, sama-sama kejuaraan balap single seater di bawah FIA.
Bagaimana Anda melihat perkembangan olahraga balap mobil di Indonesia, khususnya sejak Anda menjadi pengurus PP IMI….
Sekira tiga tahun terakhir ini, di bawah (pemerintahan Presiden RI) Pak Jokowi, sangat banyak kejuaraan dunia masuk Indonesia. Semua tahu kejuaraan level dunia terakhir masuk Indonesia sekira akhir era 1990-an.
Dalam tiga tahun ini ada beberapa kejuaraan dunia: Formula E, MXGP (Kejuaraan Dunia Motocross), World Superbike (WSBK), dan tentu saja MotoGP. Dan yang akan datang mungkin tahun 2025 nanti kita semua berharap Kejuaraan Dunia Reli (WRC) bisa kembali ke Indonesia (di Medan) sejak 1997.
Memang, event otomotif dunia dalam tiga tahun terakhir era Pak Jokowi serta Pak Bambang Soesatyo sebagai Ketua Umum PP IMI, Indonesia mengalami perkembangan pesat.
Indonesia kini bisa dibilang Home of Motorsport Asia yang mana sebelumnya mungkin itu ada di Malaysia, zaman pemerintahan Pak Mahatir (Muhammad, eks PM Malaysia) paada 1990-an kan Sirkuit Sepang bisa gelar Formula 1 dan MotoGP tuh.
Indonesia tahun lalu (dan berlanjut) sudah menggelar empat kejuaraan dunia (MotoGP, WSBK, Formula E, dan MXGP). Tugas kami di PP IMI kini adalah bagaimana melahirkan local hero supaya jangan terus menjadi penonton.
Di roda dua, saat ini Indonesia memiliki Mario Suryo Aji (Kejuaraan Dunia Moto3), Delvintor Alfarizi (Kejuaraan Dunia MX2), serta roda empat ada Qarrar Firhand (gokar Rok Cup dan kini WSK Champions Cup). Anda melihat, khusus di roda empat, problemnya seperti apa sih? Apakah masih sama seperti Anda dulu?
Di balap ini, dulu kan ada bahasanya Bapak Angkat, tapi dulu kan (nilai tukar) dolarnya juga enggak sebesar sekarang. Kalau bicara balap mobil, orangtuanya memang harus “gila” karena ini bukan olahraga murah.
Beda dengan negara lain misal Jepang yang memiliki banyak pabrikan otomotif untuk support pembalap turun. Let’s say dulu ada Toyota, Honda, yang bisa dukung pembalap.
Indonesia tidak memiliki pabrikan jadi ya pure dukungan dari orangtua dulu. Tetapi kita pernah memiliki Rio Haryanto di Formula 1 dan itu menjadi bagian sejarah tersendiri.
Adakah langkah-langkah strategis IMI untuk membantu para pembalap muda ini, khususnya roda empat?
Olahraga ini harus menjadi industri dulu. Dengan jumlah penduduk yang sangat besar, bila dikelola sebagai industri, olahraga balap bisa mendatangkan devisa, lapangan kerja, dan banyak lagi. Jangan dipandang permukaannya, kemewahannya.
Pilih mana, menjadi pembalap atau pengurus olahraga seperti sekarang?
Pilih jadi pembalaplah karena bebas urus diri sendiri. Kalau pengurus kan banyak yang harus ditangani. Namun itu ya bagian dari perjalanan hidup, dinikmati saja.
Saya sebetulnya kalau ditanya, saya tidak terlalu into otomotif banget dan ini dari dulu. Saya dan orangtua tidak pernah bicara balap, after the race weekend. Mungkin pembalap seperti Michael Schumacher atau Fernando Alonso juga tidak mau bicara soal balapan setelah akhir pekan balapan.
Di Indonesia kan biasanya orang suka balap karena suka utak-atik mobil. Saya lebih tertarik untuk…how to karena untuk bisa kencang, pembalap itu tidak hanya modal nyali.
Ia butuh knowledge untuk bisa ikut men-develop mesin dan mobil, bagaimana harus bicara dengan engineer, dan lain-lain. Jadi enggak cuma nyali aja.
Ada pesan-pesan untuk para pembalap mobil muda dari seorang Ananda Mikola?
Pembalap itu kaya petinju, harus memiliki karakter, harus fokus, dan harus percaya diri. Tapi bukan sombong ya, karena bedanya memang tipis. Sebenarnya bukan hanya pembalap tetapi kebanyakan atlet olahraga lain di Indonesia.
Saya lihat problem atlet Indonesia itu sudah minder sebelum tanding dan itu bisa dilihat dari misalnya posisi saat briefing, atau saat di lorong mau masuk lapangan di sepak bola. Lihat sepatu beda atau harus melawan idola, yang lebih jago, jadi gimana, gitu.
Nah, perasaan-perasaan model gitu saya hilangkan saat masuk sirkuit. Kita turun di sirkuit, sama-sama punya dua tangan, dua kaki, satu kepala. Jadi buat apa minder, itu yaang harus ditanamkan dengan kuat.