SKOR.id – Dua negara yang selama ini dikenal kuat dalam sepak bola, Spanyol dan Inggris, akan bertemu pada laga puncak Euro 2024, yang akan berlangsung di Stadion Olympia (Olympiastadion) Berlin, Jerman, Minggu (14/7/2024) malam waktu setempat atau mulai (15/7/2024) mulai pukul 02.00 WIB.
Selain para pemain, duel dini hari nanti tersebut juga akan menyuguhkan persaingan di antara dua pelatih dengan karakter yang sedikit berbeda: Luis de la Fuente di kubu Spanyol dan Gareth Southgate di Inggris.
Gaya, teknik, dan pendekatan yang dilakukan kedua pelatih pun agak berbeda. Jadi, menarik untuk melihat apa saja perbedaan dan perbandingan di antara De la Fuente (63 tahun) dan Southgate (53 tahun). Skor.id mencoba merangkumnya dari berbagai sumber.
Latar Belakang
*Luis de la Fuente. Lahir di Haro, La Rioja, yang menurutnya tempat terbaik di dunia, De la Fuente bangga menjadi orang Spanyol, Katolik, dan pencinta adu banteng. Dia suka telur dan keripik, bertubuh seperti batu bata dan tidur sekitar empat jam semalam. Ayahnya adalah seorang pelaut, dia menyukai film Rocky dan dia terpesona oleh Roma, membaca semua yang dia bisa. Dia menyukai Julio Iglesias, dan lagu favoritnya mungkin Quijote.
*Gareth Southgate. Lahir di Watford, ia bersekolah di Padnell Infant School di Cowplain, bersama dengan Pound Hill Junior School dan Hazelwick School di Crawley, West Sussex.
Saat bersekolah di Sussex, Southgate cukup baik dalam berbagai bidang. Ia masuk tim rugbi sekolah, juara lompat jangkit tingkat daerah, dan cemerlang dari sisi akademik. Ia salah satu pelajar yang mampu menggabungkan kemampuan atletik dengan akademik.
Sebagai anak sekolah, dia mendukung Manchester United dan pahlawan sepak bolanya adalah Bryan Robson.
Karier sebagai Pemain
*De la Fuente. Dibesarkan Athletic Bilbao sebagai left full-back, De la Fuente melanjutkan karier seniornya bersama klub tersebut antara 1978-1987 dan 1991-1993. Ia juga sempat membela Sevilla FC (1987-1991) dan Deportivo Alaves S.A.D (1993-1994).
Di level tim nasional, De la Fuente hanya turun di Spanyol U-21 (debut pada 6 April 1982) di bawah pelatih Luis Suarez, itu pun hanya empat kali tanpa mampu mencetak gol.
*Southgate. Bermain sebagai remaja selama 2,5 tahun untuk Southampton FC sebelum dilepas saat berusia 13 tahun untuk kemudian bergabung ke Crystal Palace FC. Posisi bermain Southgate berubah dari gelandang menjadi bek tengah begitu pindah ke Aston Villa sejak 1995. Ia lalu bergabung ke Middlesbrough pada 2001 sampai pensiun pada 2006 di usia 35 tahun.
Southgate tercatat 57 kali membela timnas Inggris dengan mencetak dua gol, antara 1995 sampai 2004.
Karier sebagai Pelatih
*De la Fuente. Usai menangani klub-klub kecil seperti Portugalete, Aurrera, dan Alaves, De la Fuente melatih tim muda Sevilla dan Bilbao (ia juga sempat melatih tim seniornya). Mulai 2013, De la Fuente dipercaya menangani tim-tim muda Spanyol.
Ia membawa Spanyol U-19 memenangi Kejuaraan Eropa 2015. De la Fuente lalu membawa Spanyol U-21 menguasai Kejuaraan Eropa 2019 setelah di final meredam Jerman U-21, 1-0.
De la Fuente ditunjuk sebagai pelatih Timnas Spanyol pada 8 Desember 2022 menggantikan Luis Enrique seusai kalah dari Maroko lewat adu penalti di 16 besar Piala Dunia 2022 di Qatar.
*Southgate. Middlesbrough menjadi tim pertama yang ditangani Southgate sebagai pelati (2006-2009). Setelah empat tahun tidak berkecimpung di sepak bola, ia lantas kembali untuk melanjutkan tugas Stuart Pearce menangani Inggris U-21 mulai Agustus 2013 dan dikontrak tiga tahun. Ia membawa Inggris U-21 memenangi Turnamen Toulon 2016.
Setelah menjadi pelatih sementara Timnas Inggris pada September 2016 menggantikan Sam Allardyce yang mundur, pada 15 November tahun yang sama ia dipercaya menjadi pelatih tetap Three Lions dengan kontrak awal saat itu selama empat tahun.
Southgate membawa Timnas Inggris menjadi runner-up Euro 2020 dan finis di peringkat ketiga UEFA Nations League 2018-2019.
Di Euro 2020, Southgate menjadi pelatih Inggris pertama yang mencapai final Piala Eropa dan mencapai final turnamen besar sejak 1966. Inggris akhirnya kalah dari Italia melalui adu penalti. Dia juga memimpin Inggris sampai perempat final ke Piala Dunia 2022.
Teknik, Pendekatan, dan Gaya Melatih
*De la Fuente. Saat baru ditunjuk, banyak yang tidak yakin De la Fuente mampu mengembalikan kejayaan sepak bola Spanyol. Maklum, satu-satunya pekerjaan kepelatihan seniornya adalah menjalani 11 pertandingan yang buruk bersama Alaves di kasta ketiga Spanyol yang beranggotakan 80 tim, empat grup, pada 2011. Mereka menyebutnya “bijaksana”, “pendiam” dan “tidak dikenal”.
Kritik makin keras mengarah ke De la Fuente begitu Spanyol takluk 0-2 dari Skotlandia di kualifikasi Euro 2024, laga keduanya menangani La Roja. Kemenangan 7-1 atas Georgia jadi momentum bagi De la Fuente.
Itulah awal dirinya mengatakan melihat “sebuah keluarga” mulai terbentuk. Enam bulan kemudian, Spanyol memenangi UEFA Nations League dan sekarang mereka ke final Euro 2024.
“Tidak ada yang mengetahui masa kini dan masa depan Spanyol lebih baik dari saya. Saya tidak mencoba untuk pamer, itu hanya fakta,” ujar De la Fuente ketika dia mengambil alih.
Lima pemain di skuad ini ikut memenangi Kejuaraan Eropa U-21 bersamanya pada 2019: Dani Olmo, Fabian Ruiz, dan Mikel Merino menjadi starter di final. Olmo, Merino, Pedri, Marc Cucurella dan Unai Simon memenangi medali perak Olimpiade Tokyo bersamanya dua tahun kemudian.
Dia juga menegaskan bahwa akan ada “fleksibilitas”, kecepatan, lebar, bahwa gaya akan berubah. De la Fuente – yang gajinya per tahun hanya sekira seperlima dari yang diterima Southgate (5,8 juta euro atau yang tertinggi di antara pelatih negara kontestan Piala Eropa 2024) – juga menyebut bila serangan balik itu cerdas.
“Dia memahami bahwa perlu waktu bagi kami untuk mengasimilasi ide-ide itu, dua atau tiga konsep. Kami kini lebih vertikal dan penguasaan bola lebih sedikit,” kata Rodri, gelandang andalan Spanyol, sebelum Euro 2024 dimulai.
Dengan formasi andalan 4-3-3, Spanyol di bawah De la Fuente baru dua kali kalah dari 22 laga (19 menang dan 1 imbang) dengan mencetak 65 gol dan kemasukan 20 serta rata-rata merebut 2,64 poin per laga.
*Southgate. “Pendekatan saya adalah memiliki empati terhadap orang lain. Sebagai seorang pelatih, Anda harus selalu ada untuk mendukung orang tersebut. Meningkatkan mereka sebagai pemain menjadi hal kedua,” tutur Southgate.
“Tetapi jika seorang pemain merasa Anda menghormatinya dan ingin membantu mereka, mereka akan lebih cenderung mendengarkan dan mengikuti Anda.”
Gaya manajemen Southgate selama memimpin Three Lions digambarkan sebagai perwujudan prinsip “pelatihan pemberdayaan” dan elemen “kepemimpinan transformasional”. Dia dipuji karena manajemen pemainnya dan karena menciptakan “budaya positif dan kohesif” dalam skuad Inggris.
Seperti De la Fuente, Southgate juga sangat teknis dalam merancang formasi dan strategi permainan. Ia juga tidak ragu untuk mengandalkan pemain muda.
Pasalnya, setelah meninggalkan Boro, Southgate menikmati masa kerja selama 18 bulan di FA sebagai kepala pengembangan elite.
Selama 1,5 tahun itu, ia bekerja dengan para pemain muda di tim pengembangan Inggris dan juga membantu mengawasi perubahan dalam sepak bola akar rumput dengan tujuan membantu para pemain muda meningkatkan keterampilan teknis mereka.
Sekarang, banyak dari pemain yang mungkin pertama kali dia bantu pada saat itu mendapati diri mereka mencoba untuk tampil mengesankan lagi untuk tim senior Inggris.
Southgate sering mengadaptasi formasi tim tergantung lawannya, menggunakan formasi 4–3–3, 4–2–3–1, 3–4–3, dan 3–5–2. Formasi yang digunakan di Piala Dunia 2018 digambarkan sebagai 3–5–2 dan, sebagai alternatif “3–3–2–2” yang unik.
Namun di sisi lain, Southgate telah dikritik karena gaya permainan timnya yang dianggap “pragmatis” dan “konservatif”, serta manajemen dalam permainannya. Dia juga dikritik karena memilih pemain yang tidak sesuai dengan performanya, dengan beberapa komentator menuduhnya “favoritisme”.
Faktanya dari 101 laga menangani Inggris sejak September 2016 hingga sekarang, Harry Kane dan kawan-kawan mampu merebut 64 kemenangan, 20 imbang, dan 17 kekalahan. Mereka mencetak 229 gol (2,26 per laga) dan kebobolan 84 (0,83 per laga) dengan merebut 2,10 poin per laga.