- Presiden Atletik Dunia (IAAF), Sebastian Coe, akan tetap memberlakukan regulasi tentang interseks dan transgender.
- IAAF berpegang teguh pada peraturan level testosteron untuk atlet lari putri yang kontroversial.
- Beberapa atlet lari elite dunia tengah memperjuangkan hak gender demi bisa tampil di ajang internasional.
SKOR.id - Atletik Dunia (IAAF) menegaskan tetap melanjutkan regulasi tes level testosteron kepada para atlet putri yang berlaga di ajang internasional.
Selasa (16/11/2021), Komite Olimpiade Internasional (IOC) menetapkan regulasi soal syarat sah atlet di turnamen internasional, diserahkan ke federasi.
"Kami berusaha mempromosikan lingkungan yang aman dan ramah bagi semua orang yang terlibat dalam kompetisi elite," ucap IOC dilansir The Star
"Ini harus di bawah masing-masing federasi untuk menentukan bagaimana atlet meraih keuntungan yang tidak proporsional dibandingkan rekan-rekan lain."
Berdasarkan keputusan itu pula, Presiden IAAF Sebastian Coe menegaskan pihaknya tak akan melakukan perubahan regulasi tes level testosteron.
Meski dianggap kontroversial, mantan atlet tersebut beralasan regulasi tersebut tidak melanggar HAM dan mengedepankan keadilan (fair play).
"Saya telah membaca kerangka dokumennya. Ini sejalan dengan yang kami yakini selama ini; prinsip fairplay dan kompetisi terbuka," katanya, Kamis (20/11/2021).
"Saya sangat senang karena kami (IAAF sudah) punya regulasi yang sudah matang. (Jadi) regulasi kami akan tetap berlaku sebagaimana mestinya."
"Penting bagi kami untuk mengikuti penelitian yang telah dilakukan. Kami memiliki pekerjaan panjang yang sekarang sudah hampir 10 tahun lamanya."
"Prinsip dasar dari masalah ini adalah keadilan dan inklusi. Peraturan tersebut juga telah ditegakkan di Pengadilan Arbitrase," tambah Coe.
Regulasi kontroversial yang dimaksud adalah tes pengukuran level testosteron untuk atlet putri elite dunia, terutama untuk jarak 400 atau 800m.
Dilansir dari CNN, World Athletics atau IAAF menetapkan level normal testosteron atlet putri adalah 0,06 s.d. 1,68 nmol/liter dengan batas maksimal 5.0 nmol/L.
Sehingga, atlet dengan level testosteron di atas batas tersebut tidak sah mengikuti lomba karena memiliki kondisi tubuh yang tidak setara dengan atlet putri lain.
Atlet putri dengan kromosom di luar XX dan tidak memiliki ovarium juga dilarang untuk bertanding. Meski begitu, ada jalan yang bisa ditempuh.
Yang bersangkutan bisa menjalankan pengaturan hormon untuk mengurangi testosteron atau tindakan operasi.
Namun, karena itu pula, Annet Negesa (Uganda), Francine Niyonsaba (Burundi), dan Caster Semenya (Afrika Selatan) harus memupus asa tampil di ajang dunia.
Para pelari putri jarak menengah tersebut diketahui memiliki level testosteron yang melebihi standar World Athletics.
Dalam laporan CNN, Annet Negesa mengatakan bahwa ambisinya mengangkat derajat keluarganya di Uganda terkubur karena regulasi tersebut.
Annet Negesa bahkan mengeklaim dirinya jadi kelinci percobaan dari lempar tanggung jawab berbagai asosiasi atas proses pengobatan yang masih simpang siur.
Caster Semenya juga harus mengubur impian mempertahankan medali emas 800 meter putri Rio 2016 pada Olimpiade Tokyo 2020.
Hal ini karena upayanya untuk mengajukan banding terkait statusnya dalam dua tahun terakhir menemui jalan buntu.
Gelandang Shonan Bellmare Meninggal Dunia pada Usia 23 Tahun
Klik link untuk baca https://t.co/Bkx4spnMNq— SKOR.id (@skorindonesia) November 24, 2021
Berita Atletik Lainnya:
Jamal Abdoul-Magid dan Mimpi sebagai Olimpian dari Negara Konflik
Babak Baru Kematian Pelari Kenya, Suami Jalani Tes Kesehatan Mental