- ESPN akan menayangkan perdana serial film dokumenter The Last Dance pada Minggu (19/4/2020).
- Film The Last Dance berisi dokumentasi tentang sukses Michael Jordan saat memenangi gelar NBA keenam bersama Chicago Bulls pada musim 1997-1998.
- Yang menarik, The Last Dance sudah diyakini bakal menjadi film dokumenter terbesar yang pernah ada.
SKOR.id - Sekali lagi, dunia akan diperkenalkan kembali kepada kebintangan seorang Michael Jordan yang melegenda.
Mulai Minggu (19/4/2020), ESPN dan Netflix akan mempersembahkan tarian terakhir alias The Last Dance legenda bola basket NBA itu bersama dinasti Chicago Bulls yang legendaris.
Jason Hehir hanya seorang anak kecil di tribun Boston Garden pada 20 April 1986, saat Michael Jordan membukukan 63 poin, rekor play-off, lawan Boston Celtic.
Itu hadiah Natal dari ayahnya. Dua tiket Air Jordan Show ditemukan Jason Hehir di dalam kaus kaki Natalnya selama liburan akhir tahun.
Berita Michael Jordan: Michael Jordan Anggap Kobe Bryant Adik
Itu hadiah yang takkan dilupakannya, meski kursinya untuk Air Jordan Show lain pada akhir pekan ini jauh lebih baik. Kali ini, ia duduk paling depan.
Kini, Jason Hehir adalah direktur produksi ESPN dan Netflix yang menyutradarai The Last Dance, seri dokumenter berisi 10-episode yang akan tayang perdana di layar televisi pada 19 April.
Film ini akan mengisahkan ulang sukses Michael Jordan saat memenangi gelar NBA keenam untuk Chicago Bulls bersama Scottie Pippen, Dennis Rodman, dan pelatih Phil Jackson pada musim 1997-1998.
Kepada USA Today, Jason Hehir mengungkapkan soal pekerjaan-pekerjaan yang seakan tidak pernah akan berakhir ketika menyiapkan seri dokumenter ini.
Hehir dan tim harus menyisir rekaman arsip selama 10.000 jam, menambahkan wawancara dengan lebih dari 100 orang, dan mengubahnya menjadi konten acara televisi berdurasi 8,5 jam.
"Saya tidak akan menyebutnya tantangan," kata Hehir. "Saya menyebutnya sebagai sebuah hak istimewa."
Biasanya, pengerjaan film dokumenter hanya butuh waktu setahun: dari gagasan awal, penelitian, bikin cerita bersama, mapping, pengeditan, hingga revisi.
Demi Jordan, Hehir bahkan bekerja lima kali lipat dibanding kerja normalnya. Pengerjaan The Last Dance baru kelar setelah hampir dua tahun.
Acara Olahraga Paling Ditunggu
Menurut USA Today, The Last Dance dijadwalkan untuk tayang setelah final NBA pada Juni.
Namun, karena publik Amerika butuh tontonan streaming selama karantina pandemi corona, ESPN merilisnya dua bulan lebih awal.
Docu-series ini bisa dibilang acara olahraga yang paling ditunggu pada tahun ini.
Menurut Business Insider, saat Covid-19 menghentikan kompetisi NBA, para penggemar menuntut ESPN untuk memajukan tanggal rilis. Termasuk LeBron James.
Namun yang jelas, ESPN dan Netflix tak berniat untuk menyelesaikan debat yang tak pernah berakhir tentang apakah Jordan lebih baik daripada James.
Film ini hanya ingin menyajikan pada penggemar basket generasi baru soal rekaman Jordan dan Bulls yang belum pernah dilihat sebelumnya selama musim NBA 1997-1998.
Dalam ingatan Hehir kecil, dan orang-orang seangkatannya, Jordan begitu super.
Ketika Jordan memasuki arena, kehadirannya begitu terasa. Ia mimpi buruk bagi tim lawan, tetapi sosok yang dicintai oleh penggemar Bulls.
Jordan telah diakui secara konsensus sebagai pemain bola basket terbaik NBA sepanjang masa.
Tapi banyak orang yang belum dilahirkan atau mungkin terlalu muda untuk menyaksikan pertunjukan ajaib Jordan selama musim NBA 1997-1998 itu.
Masih yang Terbaik
Jordan masih yang terbaik. Catatan prestasinya berderet panjang. Sepanjang kariernya, pria kelahiran Brooklyn, New York, itu telah meraih enam cincin juara NBA.
Dua kali di antaranya bahkan terjadi three-peat atau tiga kali juara beruntun, untuk Bulls pada 1991-1993 dan 1996-1998, dan dia lima kali dia merebut trofi MVP Final.
Saat ini, nama Jordan masih berada di puncak daftar pencetak point per game (ppg), yang terbanyak, 30,12 ppg.
Luar biasanya lagi, walaupun berposisi shooting guard, Jordan tercatat sembilan kali masuk NBA All-Defensive First Team.
Bakat luar biasa itu diperlihatkan Jordan sejak pertandingan pertamanya hingga yang terakhir, yang menjadikannya satu-satunya pemain yang enam kali juara di final NBA bersama satu tim.
Ketika Jordan mencetak 63 poin saat game lawan Celtics, 24 tahun lalu, Larry Bird bahkan menggambarkannya sebagai “Tuhan yang menyamar sebagai Michael Jordan”.
Maka itu, Hehir sangat menyadari antisipasi yang sedang meliputi para penggemar MJ jelang penayangan perdana The Last Dance.
Dia bertemu dengan Jordan beberapa kali selama proyek, termasuk tiga wawancara face to face yang merupakan bagian dari film dokumenter.
"Saya harap orang-orang akan menyukainya seperti kami," kata Hehir.
Pengorbanan
Semua orang tahu Jordan punya jiwa kompetitif yang sangat tinggi, kadang bahkan melebihi standar rekan-rekan timnya, dan mereka menyadari itu.
The Last Dance memperlihatkan sisi Jordan yang itu. Dia sangat hati-hati menjaga imej pribadinya di depan umum. Tetapi, di balik pintu tertutup, temperamen Jordan berbeda.
Richard Deitsch dari The Athletic berkesempatan menonton delapan episode pertama film itu, dan sekelumit momen di akhir episode 7 membuatnya tertegun. Jordan menangis!
Jordan diminta menjelaskan apakah menjadi sosok yang begitu dominan di lapangan basket, ada yang menyebutnya tiran, sepadan dengan pengorbanannya tidak dianggap sebagai orang baik.
Deitsch mengutip jawaban Jordan, “Menang ada harganya. Menjadi pemimpin itu juga ada harganya."
"Saya menantang mereka yang tak ingin ditantang. Dan, saya punya hak itu karena rekan-rekan saya yang datang ke saya, tak pernah mengalami yang saya alami.”
Jordan mungkin akan meneriaki rekannya, memukul muka mereka di lapangan, tapi itu harga yang harus dibayarnya demi membangun warisannya.
“Saya melakukannya karena itu siapa saya. Begitu cara saya memainkan game saya. Itulah mentalitas saya. Jika Anda tidak ingin bermain seperti itu, jangan bermain seperti itu.”
Pada saat itulah Jordan meminta istirahat.
Emosi yang dipendamnya terkuak, air matanya mengalir . Itu salah satu momen candid yang memungkinkan pemirsa untuk melihat orang di belakang topeng “persona” Jordan.
Film Dokumenter Terbesar
Yang jelas Bill Simmons, mantan reporter ESPN, sudah meyakini The Last Dance bakal menjadi salah satu film dokumenter terbesar yang pernah ada.
“Karena saya masih ingat penghormatan dunia untuk Jordan dan Bulls tahun 1990-an. Yang tidak ingin dipamer-pamerkan oleh Jordan secara luas,” ujar Simmons saat tampil di radio show The Herd.
Ketika Simmons masih bekerja di ESPN, ia yang memelopori serial dokumenter 30 for 30 yang menjadi sangat populer hingga brand mereka diakui secara nasional.
“Kami (ESPN) ingin melakukannya (film dokumenter Jordan) setelah kami menyelesaikan seri 30 foro 30 pertama. Ketika kami masih memiliki segalanya di tahun 2009," kata Simmons.
Simmons menyatakan mereka tahu NBA Entertainment memiliki film dokumenter Jordan itu karena mereka yang telah merekam seluruh musimnya.
“Mereka yang memiliki semua rekaman di balik layar dan kami berhasil mendapatkan salinannya, kemudian menontonnya.”
Hal-hal di balik layar itu mengungkapkan sosok Jordan sebenarnya, pria yang sangat kompetitif, yang selalu berteriak pada rekan satu timnya. Terutama yang tidak bermental sama sepertinya.
Simmons melanjutkan, “Itu semua hal-hal yang selalu kami dengar tapi tidak pernah dilihat publik. Kami mulai berpikir bagaimana menyajikannya ke dunia."
Berita Michael Jordan: Ketika Pump Fake dari Kenny Rogers ''Mempermalukan'' Michael Jordan
Tetapi, MJ tidak pernah menginginkan kepopularitasan itu.
Namun, perlahan semua berubah pada pertengahan tahun 2010-an ketika LeBron James memenangi gelar NBA pada 2015-16 bersama Cleveland Cavaliers.
Lalu muncullah argumen terkait MJ vs LeBron, yang terus memanas hingga kini.
Saat itulah, kata Simmons, Jordan seperti tersadar orang-orang mulai melupakan betapa dunia pernah mengelu-elukannya sebagai pebasket terbaik yang pernah ada.
"Michael Jordan lebih populer dan lebih terkenal daripada LeBron dalam segala hal yang mungkin. Dia melampaui level pemain terbaik mana pun,” ucap Simmons, mengakhiri pembicaraan.