SKOR.id – Dalam pembuatan Fly, film dokumenter tentang base jumping, sutradara Shaul Schwarz dan Christina Clusiau menghabiskan tujuh tahun mencoba menangkap perasaan sang atlet saat dengan sepenuh hati ingin melemparkan diri dari tebing.

Film dokumenter yang tayang perdana minggu ini di SXSW Film dan TV Festival itu memang mengulas olahraga selama ini dianggap sangat berbahaya bagi para pelakunya tersebut. 

Namun, para pembuat Fly mampu mengambil angle menarik melalui sudut pandang tiga pasangan romantis, yang karena kecintaannya pada base jumping justru melawan kenyataan saat jatuh cinta dengan pasangan.

Base jumping, seperti yang terlihat dalam film Fly, adalah kegiatan yang dilakukan seseorang dengan melompat dari permukaan sangat tinggi (misalnya jembatan, gedung, hingga tebing terjal) menggunakan parasut atau pakaian sayap (jumpsuit berlengan jaring yang juga disebut pakaian tupai). 

Kecepatan menuruni gunung yang bisa mencapai lebih dari 300 km/jam itu menjadi sangat berbahaya jika sang atlet melakukan kesalahan dalam mengarahkan parasut atau jumpsuit, atau perubahan arah angin yang tiba-tiba. 

“Kadang-kadang kami harus mendaki berjam-jam hanya untuk mendapatkan apa yang disebut ‘fly by shot’. Anda bisa menghabiskan waktu berhari-hari hanya untuk membuat perencanaan dan dua jam berjalan kaki, lalu (mendapatkan) kesempatan tiga detik,” kata Schwarz.

Salah satu hal menarik dari film Fly ini adalah kepercayaan yang didapat para pembuat film dari komunitas base jumping, sehingga bisa mendapatkan kecepatan sang atlet dan suara bak mesin jet dari wingsuit saat mereka membelah angin ketika meluncur.

“Saya memiliki teman baik yang merupakan pemanjat yang sangat baik, Dean Potter. Ia memberi tahu kami bahwa dia dan teman-temannya di Yosemite sudah mulai mendaki dan alih-alih turun, mereka malah melompat dengan wingsuit,” ucap Schwarz seperti dikutip The Hollywood Reporter.

“Mereka banyak yang sekarat. Kami sudah melihatnya sedikit di YouTube, dan kami bilang itu mungkin film pendek yang menarik, mungkin kami akan berangkat ke sana. Satu atau dua minggu setelah itu, Dean meninggal. Kami menuju ke sana dan dengan cepat menemukan bahwa apa yang mereka lakukan dan orang-orang ini sungguh luar biasa. 

“Kami juga sampai pada kesimpulan bahwa kami tidak ingin fokus pada seseorang yang sudah meninggal. Kami telah mendengar bahwa orang yang mengajari Dean cara melompat adalah legenda olahraga bernama Jimmy dan Marta.”

Schwarz menjelaskan butuh waktu cukup lama untuk benar-benar mendapatkan akses ke komunitas base jumping. Menurut Schwarz, base jumping ini komunitas tertutup yang cukup dekat dan ia sekarang mengerti alasannya. 

“Tapi butuh beberapa saat bagi kami untuk berpikir bahwa (film ini) adalah tentang pasangan dan hubungan. Di dunia yang begitu berbahaya ini, bagaimanakah bentuk hubungan? Bagaimana kamu mencintai? Itu menjadi penuntun kami,” tutur Schwarz soal ide sudut pandang yang diambil film Fly ini.

Para pelaku base jumping ini merasa, dari luar, mereka cukup dinilai. Ada banyak orang di luar sana yang menggambarkan mereka sebagai pemuja kematian sembrono yang hanya pecandu adrenalin. 

“Keyakinan datang dari kami yang menghabiskan banyak waktu bersama mereka, dan mereka mulai menyadari bahwa ini adalah (proyek) jangka panjang dan bahwa orang-orang ini tertarik dengan kehidupan kami,” ucap Clusiau, soal mengapa komunitas base jumping mau menerima mereka. 

“Kami mengintegrasikan diri kami ke dalam kehidupan mereka, tidak hanya mampir dan syuting selama beberapa hari lalu pergi dan tidak pernah memiliki koneksi nyata atau pengambilan gambar dengan produksi tinggi. Dunia ini dilihat melalui video-video hits yang sangat cepat di YouTube. Kami ingin berada di kepala mereka.” 

Pengambilan gambar juga menjadi tantangan berat bagi Schwarz dan Clusiau. Schwarz pun menyadari ia dan Clusiau sama-sama berasal dari fotografi dan menyukai sinematografi. Selain itu, bujet yang mereka miliki untuk membuat Fly juga sangat kecil.

“Kami benar-benar mencoba menyempurnakan suara alam yang mereka bicarakan. Saat mereka melompat dari tebing, rasanya seperti keheningan total dengan segala sesuatu yang sangat fokus. Kami benar-benar mencoba untuk meniru sehingga ketika mereka melompat tidak ada apa-apa, dan kemudian Anda mendengar suara wingsuit,” kata Clusiau. 

“Kami juga mencoba menyempurnakan apa yang mereka bicarakan — bagaimana kedengarannya bagi mereka dan bagaimana rasanya bagi mereka — untuk memberikan perasaan berada di sana bersama mereka kepada pemirsa.”

Saat ditanya apa yang diharapkan Schwarz dan Clusiau dari penonton setelah menyaksikan film ini, Clusiau memiliki pandangan dan analisis tersendiri. 

“Di komunitas ini, ketika mereka berdiri di tepi tebing, hal itu sangat mencerminkan bagaimana mereka hidup,” tuturnya. 

“Anda tidak harus melakukan base jumping, tidak harus mengenakan wingsuit, namun kami ingin Anda merasakan komunitas yang benar-benar hidup dengan niat. Pertanyaannya (untuk pemirsa) adalah, ‘Apakah Anda menjalani kehidupan yang ingin Anda jalani? Apakah Anda benar-benar hidup dengan niat?’”