- Rumah dari Pendiri sekaligus Ketua Umum PSSI Pertama, Soeratin Sosrosoegondo, masih berdiri kokoh di Yogyakarta.
- Rumah yang berdiri di atas tanah seluas 1.200 m2 itu sudah dialihfungsikan menjadi penginapan atau guest house.
- Banyak cerita-cerita menarik terkait Ndalem Soeratin, termasuk sejarah panjang rumah tersebut sebagai penginapan.
SKOR.id - Hari belum terlalu siang kala Skor.id memarkir sepeda motor di halaman rumah pendiri sekaligus ketua umum PSSI yang pertama, Soeratin Sosrosoegondo.
Terletak di Jalan AM Sangaji 68, Cokrodiningratan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta, saat ini rumah itu sudah diubah menjadi sebuah Guest House bernama Ndalem Soeratin.
Meski rumah itu sudah beralih fungsi, pengelola Ndalem Soeratin sekaligus cucu Soeratin, Praharso Sosrosoegondo, memastikan lebih dari 90 persen bentuk bangunan tidak diubah.
Sekilas, Skor.id memang tidak merasa memasuki sebuah penginapan. Ndalem Soeratin tetap terasa sebagai sebuah rumah, lengkap dengan teras, ruang tamu, dan dapur.
Ketika memasuki pintu depan menuju meja resepsionis, mata kami langsung disuguhi benda-benda antik peninggalan Soeratin yang ditata rapi di lemari.
Satu set meja makan, kursi-kursi rotan, dipan, jam dinding, dan foto-foto di dinding juga peninggalan dari Soeratin Sosrosoegondo. Keberadaan benda-benda tersebut membuat ruangan kental dengan suasana klasik.
Prahaso Sosrosoegondo mengisahkan bahwa rumah itu diperkirakan dibangun pada 1930, atau dua tahun setelah Soeratin kembali ke Indonesia.
Untuk diketahui, Soeratin sempat menempuh pendidikan di Sekolah Teknik Tinggi di Heckelenburg, Jerman, dan menyelesaikan studinya pada 1927.
Setelah kembali ke Indonesia, ia bekerja pada sebuah perusahaan konstruksi milik Belanda, Sizten en Lausada, yang pusatnya ada di Yogyakarta.
"Rumah ini didirikan oleh Pak Soeratin, kurang lebih tahun 1930. Beliau menempati rumah ini sampai tahun 1945," kata Praharso Sosrosoegondo.
Adapun bangunan rumah seluas 500 m2 itu dibangun di atas tanah seluas 1.200 m2. Meski luas, tidak dibutuhkan waktu lama jika ingin mengitarinya.
Saat melewati teras yang menghubungkan rumah induk dan dapur, pandangan Skor.id tertarik pada bangunan yang menyerupai cerobong asap. Hal itu bisa jadi menjadi kekhasan Ndalem Soeratin.
Cerobong asap tersebut merupakan tiruan dari rumah-rumah di Eropa. Namun di rumah yang diarsitekturi Soeratin ini, cerobong asap digunakan untuk jalur pembuangan asap tungku di dapur.
Penginapan
Lebih lanjut, Praharso menjelaskan, jauh sebelum Ndalem Soeratin menjadi sebuah penginapan, rumah itu sudah sering digunakan untuk tempat tinggal sementara saudara-saudara maupun orang yang berhubungan dengan Soeratin.
Pada masa kepemimpinan Soeratin di PSSI, tepatnya pada 1930-1940, rumah itu sempat digunakan untuk penampung para pemain sepak bola yang bertanding di Yogyakarta.
Sebagai tuan rumah yang baik, istri Soeratin berupaya untuk menyediakan tempat tidur yang layak bagi para pesepak bola tersebut. Adapun sumber utama pendanaannya berasal dari kantong pribadi keluarga Soeratin.
Lalu, setelah Soeratin meninggal dunia pada 1 Desember 1959, rumah itu dibuka sebagai kos-kosan. Sri Wulan, istri Soeratin, membutuhkan pemasukan tambahan untuk membiayai hidup.
"Ibu Soeratin menggunakan rumah ini sebagai kos-kosan karena Pak Soeratin sudah meninggal dunia. Jadi Ibu Soeratin harus bisa menghidupi ketiga anaknya," kata Praharso Sosrosoegondo.
Lebih lanjut ia menuturkan, uang sewa yang dibayarkan anak-anak indekos pada masa itu tidak digunakan untuk keuntungan pribadi Sri Wulan dan ketiga anaknya.
Uang sewa hanya pas untuk kehidupan sehari-hari. Apalagi Sri Wulan juga tetap memerhatikan kebutuhan makan anak-anak kosnya. Hubungan Sri Wulan dan anak-anak kos pun melebur seperti seorang ibu dan anak.
"Kalau dulu, anak kos itu bukan komersil, tapi untuk menemani yang punya rumah biar tidak sendiri. Suasana pun kekeluargaan, seperti bisa makan bareng," ujar Praharso.
"Kalau kos sekarang, mungkin, udah bayar tapi tidak kenal sama ibu kosnya. Dulu enggak gitu. Uang kos itu bukan untuk bisnis, tapi dinikmati bareng-bareng sama yang punya rumah."
"Jadi enggak ada keuntungan untuk investasi kos-kosan. Semua murni untuk menemani si ibu ini biar punya teman dan bisa membiayai operasional rumahnya," ia menambahkan.
Kekeluargaan
Ciri kekeluargaan inilah yang masih coba dipertahankan dalam pengelolaan Ndalem Soeratin, sekalipun saat ini telah dikelola secara lebih profesional.
Praharso tak terlalu ketat dalam mengatur jadwal keluar tamu-tamunya. Ia masih bisa memberi toleransi apabila telat satu atau dua jam, yang penting ada komunikasi yang baik.
Tak hanya itu, pihaknya juga tidak ketat membatasi makanan atau minuman yang disiapkan bagi tamu-tamu Ndalem Soeratin. Khusus untuk kopi dan teh, tamu bisa membuat sendiri sesukanya.
Praharso juga menyebut tak jarang ada tamu yang masuk ke dapur Ndalem Soeratin untuk menikmati tempe goreng saat sedang hangat. Hal itu memang coba dipertahankan untuk memberi kesan bahwa Ndalem Soeratin itu rumah.
Orang-orang tentu dapat menginap di hotel yang lebih bagus dan mewah, tapi mereka tidak akan mendapatkan pelayanan yang begitu cair dengan nuansa seperti tinggal di rumah.
Guest House Ndalem Soeratin dibuka untuk umum pada 2010. Jumlah kamar yang dapat ditempati ada 17, dengan harganya yang bervariasi.
View this post on Instagram
Berita Soeratin Lainnya:
Kisah Ndalem Soeratin, Rumah Bersejarah yang Diarsiteki oleh Ketua PSSI Pertama
PSSI Ingin Soeratin Sosrosoegondo Jadi Pahlawan Nasional
Usia PSSI Hampir Seabad tapi Soeratin Belum Pahlawan Nasional