SKOR.id - Ketika Ronald Koeman membawa Timnas Belanda tandang lawan Jerman dalam laga uji coba malam ini, dia tentu ingat bagaimana dirinya pernah merasakan betapa puasnya mengalahkan Tim Panser.
Ronald Koeman yang merupakan pelatih timnas Belanda saat ini, adalah salah satu bintang yang membawa The Orange mengalahkan Jerman pada Piala Eropa 1988 di semifinal.
Momen ketika dirinya menggunakan salah satu kaus pemain Jerman untuk mengelap bokongnya, faktanya menjadi salah satu bukti tajamnya persaingan antara Belanda dan Jerman.
Ya, jika ada rivalitas paling tajam dalam sepak bola di level tim nasional, tiada lain adalah antara Jerman dan Belanda.
Jerman vs Belanda atau sebaliknya selalu dibumbui tentang sejarah, bahkan pada masa lalu pertemuan dua negara ini dalam sepak bola selalu diwarnai kebencian.
Karena itu, masih ada yang menilai bahwa laga Jerman vs Belanda bukan hanya sebuah pertandingan untuk meraih kemenangan melainkan juga sebagai "pembalasan" atas dosa-dosa Jerman di masa silam.
Sikap itulah yang pernah ada bagi kebanyakan publik Belanda di masa lalu. Untuk saat ini, sikap tersebut boleh jadi semakin terkikis namun tetap tidak melupakan kisah kelam di balik kedua negeri ini.
Jerman dan Belanda memang akan kembali bertemu, kali ini dalam laga uji coba. Pertandingan Jerman vs Belanda akan digelar pada malam ini atau Rabu (27/3/2024) dini hari WIB.
Keduanya merupakan simbol dari kekuatan sepak bola Eropa. Jerman adalah tim dengan 7 gelar utama yaitu 4 kali juara Piala Dunia dan 3 kali juara Piala Eropa.
Sedangkan Belanda hanya punya satu gelar, Piala Eropa 1988. Namun, mereka pernah berhasil tiga kali ke final yaitu pada 1974, 1978, dan 2010.
Laga Jerman vs Belanda malam ini akan menjadi pertemuan atau duel yang ke-46 kali di antara keduanya.
Dari 45 laga sebelumnya, Jerman meraih 16 kemenangan dan Belanda meriah 12 kemenangan, dengan 17 laga lainnya berakhir imbang.
Insiden Frank Rijkaard dan Rudi Voller
Salah satu momen tidak terlupakan dari persaingan Jerman dan Belanda bisa kembali ke masa lalu, dalam laga 24 Juni 1990 di 17 besar Piala Dunia 1990 yang digelar di Stadion San Siro (Milan).
Dalam laga tersebut, wasit pemimpin petandingan yang berasal dari Argentina, Juan Carlos, mengeluarkan tujuh kartu termasuk dua kartu merah untuk Rudi Voller (Jerman) dan Frank Rijkaard.
Sejak awal-awal menit pertama laga bergulir, penonton menyaksikan pertandingan yang cenderung keras dan kasar di mana pemain kedua tim berusaha saling menghentikan dengan berbagai cara.
Setiap kali itu pula, wasit kerap menjeda pertandingan dan meminta pemain kedua tim untuk tenang.
Lalu, setelah 20 menit keseruan pertandingan berjalan, momen itu pun datang ketika Rudi Voller dengan teknik individunya melewati bek Belanda, Perry van Aerel.
Namun, Rudi Voller kemudian menghadapi adangan Frank Rijkaard. Pemain Belanda ini kemudian memilih untuk menghentikan Rudi Voller dengan sebuah cara yang keras dan kasar.
Wasit kemudian langsung memberikan kartu kuning kepada Frank Rijkaard yang membuat sang pemain protes karena dengan kartu tersebut dia dipastikan tidak dapat tampil di perempat final (jika Belanda lolos) setelah mengoleksi dua kartu.
Frank Rijkaard kemudian berjalan ke arah Rudi Voller dan meludahi dari belakang pemain Jerman tersebut ke arah rambutnya, momen di mana wasit tidak melihat kejadian tersebut.
Setelah beberapa menit laga kembali berjalan, benturan antara Rijkaard dan Rudi Voller semakin intens. Rijkaard menyerang Voller dengan mendorong dan menjatuhkannya.
Wasit pemimpin pertandingan kemudian memberikan keduanya kartu merah. Namun, itu belum berakihr karena kemudian setelah pengusiran tersebut, saat keduanya meninggalkan lapangan Rijkaard kembali meludahi Voller.
"Frank Rijkaard dua kali meludahi saya namun saya malah terkena hukuman juga, padahal saya tidak melakukan apapun," kata Rudi Voller saat itu, setelah laga berakhir.
Kini, tentu saja kedua legenda sepak bola tersebut sudah sama-sama melupakannya. Bahkan, kemudian ada masa ketika keduanya akhirnya bertemu dan makan bersama.
Namun demikian, insiden "ludah" tersebut hingga kini masih selalu diingat sebagai salah satu sisi lain dalam sejarah sepak bola, khususnya yang melibatkan Belanda dan Jerman.
Pengakuan Wim van Hanegem
Insiden tersebut hanya satu di antara contoh panasnya rivalitas Jerman dan Belanda. Sebelumnya, rivalitas tersebut juga terlihat di Piala Dunia 1974.
Ketika itu, Jerman Barat dengan bintang seperti Franz Beckenbauer tampil sebagai juara setelah mengalahkan Belanda yang memiliki gelandang penuh talenta, Johan Cruyff.
Dalam pertandingan tersebut, salah satu pemain Belanda setelah kalah 1-2, Wim van Hanegem, meninggalkan lapangan Stadion Olympic (Munchen), dengan meneteskan air mata.
"Saya membenci mereka, setiap kali saya lawan Jerman, saya sangat marah. Jerman membunuh keluarga saya, ayah saya, saudara perempuan saya, dan dua kakak saya," kata Wim van Hanegem.
Pria kelahiran Februari 1944 tersebut mengingatkan tentang masa kelam ketika tentara Jerman sejak tahun 1944 pada perang dunia kedua menyerang atau menduduki Belanda yang meninggalkan banyaknya korban nyawa orang-orang Belanda, di antaranya adalah keluarga Wim van Hanegem.
Belanda kemudian berhasil membalas kekalahan di final dengan mengalahkan Jerman di semifinal Piala Eropa 1988.
Di mana setelah laga itulah, Ronald Koeman, menggunakan kaus Timnas Jerman (milik Olaf Thon) mengusapkan ke bagian pantatnya dengan gesture yang meledek.
Di sisi lain, rivalitas ini juga diwarnai dengan sentimen dari kebanyakan publik sepak bola Belanda termasuk para pemain di masa lalu bahwa mereka jauh lebih memiliki skill individu.
Mereka memiliki budaya sepak bola yang lebih baik dari aspek teknik, sedangkan para Jerman dinilai sebagai negeri sepak bola yang mengandalkan ketahanan fisik dan kemampuan fisik yang kuat.
Karena itulah, jika Jerman bangga memiliki sang Kaisar Franz Beckenbauer, publik Belanda jauh lebih bangga dengan milik mereka, sang gelandang flamboyan Johan Cruyff.
"Kualitas dari Jerman, adalah mereka sangat kuat, secara fisik mereka sangat kuat. Mereka dapat berlari sampai besok hari.... Kami, lebih unggul dalam teknik, yang berarti dengan teknik kami bisa bertahan (menang)," kata Johan Cruyff, semasa hidupnya tentang Jerman.