SKOR.id – Max Verstappen telah dua kali sukses menjadi pembalap juara dunia Formula 1 bersama Red Bull Racing. Tetapi, jelang debutnya di ajang jet darat, pemuda Belanda itu hampir gabung ke Mercedes.
Jauh sebelum muncul sebagai nama top dalam F1, Mercedes-AMG Petronas telah mengamati performa Verstappen di Kejuaraan F3 Eropa dan tertarik memasukkannya ke akademi pembalap muda mereka.
Ia dengan sang ayah, Jos Verstappen, pun telah mengunjungi markas Mercedes di Brackley, Inggris pada 2014 dan bertemu Toto Wolff, bos tim Silver Arrows. Sayangnya kedua pihak tak mencapai kesepakatan.
Max Verstappen kemudian akhirnya merapat ke Red Bull dan akan melakoni tes untuk Toro Rosso, sister team atau tim 'B' mereka, dalam Grand Prix Jepang, akhir 2014 silam, ketika usianya masih 17 tahun.
Selang tujuh tahun, Super Max berhasil mematahkan dominasi Mercedes di Formula 1. Ia merebut gelar juara dunia dari tangan bintang Silver Arrows, Lewis Hamilton, pada race final F1 2021 di Abu Dhabi.
Musim berikutnya, Verstappen melanjutkan suksesnya. Tak cuma mampu mempertahankan titel, ia juga membantu Red Bull meraih gelar juara dunia konstruktor untuk kali pertama sejak 2013.
Meski melihat progres luar biasa Max Verstappen, Wolff tidak menyesal membiarkan talenta sebesar itu lepas dari genggaman mereka. Ia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi sembilan tahun yang lalu.
Toto Wolff mengakui bahwa Verstappen berada dalam radar Mercedes selama beberapa lama. Resume pembalap yang kini berusia 25 tahun itu diajukan ke mereka, tapi Red Bull juga ingin mengontraknya.
Pada 2014, kedua belah pihak bertemu untuk pertama kali dalam sebuah diskusi formal. Jos Verstappen, ayah sekaligus manajer Max, bersikeras putranya harus mendapatkan kursi F1, yang tak bisa ditawarkan Mercedes saat itu.
“Saya tidak punya kursi untuk diberikan kepadanya. Kami memiliki kontrak jangka panjang dengan Lewis (Hamilton) dan Nico (Rosberg),” kata Wolff mengonfirmasi pertemuannya dengan Jos dan Max, dalam wawancara dengan Motorsport.
Mercedes sukses merengkuh gelar konstruktor dan pembalap, lewat Hamilton, tahun itu. Makanya, Toto Wolff, sebagai prinsipal, tidak merasa perlu mengganti salah satu bintangnya dengan seorang rookie.
Sebaliknya, Red Bull berhasil menjanjikan Max Verstappen dengan menawarkan kursi F1 asalkan mampu menyelesaikan tes. Proposal ini cukup meyakinkan ayah dan anak itu untuk berkomitmen pada skuad Milton Keynes.
“Kami cuma dapat menawarkan Max kursi di GP2 (sekarang F2) dan kemudian mungkin kontrak F1. Sedangkan Helmut Marko (kepala program pengembangan pembalap Red Bull) dapat menawarinya slot F1. Pada akhirnya saya pun menyarankan dia mengambil rute itu,” ungkap Wolff.
Selama sesi latihan bebas pertama (FP1) GP Jepang 2014, Verstappen menjadi pembalap termuda yang menguji mobil F1. Musim 2015 ia menjalani debut penuh bersama Toro Rossi (kini AlphaTauri). Sisanya adalah sejarah.
Red Bull diuntungkan tim ‘B’
Max Verstappen hanya mau gabung ke Red Bull dengan syarat dapat langsung balapan di Formula 1. Tim yang dipimpin Christian Horner bisa mengakomodasi itu karena memiliki kursi kosong di Toro Rosso.
Red Bull adalah satu-satunya tim di grid F1 yang punya tim ‘B’ bonafide. Toro Rosso, kini bertransformasi menjadi AlphaTauri, telah menjadi batu loncatan bagi segudang talenta muda mereka.
Untuk bisa promosi ke tim ‘A’ yakni Red Bull Racing, seorang pembalap harus terlebih dulu menunjukkan bakatnya dengan skuad kedua. Pembalap sekelas Sebastian Vettel dan Daniel Ricciardo pun melaluinya.
Verstappen melalui 23 Grand Prix sebelum dapat tempat di tim utama Red Bull. Menurut Toto Wolff, itu adalah keunggulan sang rival atas Mercedes. Pria Austria tersebut tidak menampiknya.
“Tidak diragukan lagi merupakan satu keuntungan bisa punya tim ‘B’ seperti yang dimiliki Red Bull untuk mengevaluasi (performa) para pembalap di trek,” kata sang prinsipal.
Tetapi, Wolff juga menyebut bahwa memiliki tim ‘B’ di Formula 1 adalah pekerjaan serius, terutama dari segi finansial. Jadi, prinsipal 51 tahun itu tidak dapa memaksa Mercedes untuk melakukan hal serupa.
“Anda harus mampu membayar 100 juta dolar setiap musimnya untuk dapat menilai para pembalap. Itu (punya tim ‘B’) adalah cara terbaik melakukannya, namun juga merupakan opsi yang paling mahal.”