SKOR.id - Di balik karakternya yang kuat, ada tragedi-tragedi yang membentuk karakter diri Erik ten Hag menjadi seperti sekarang.
Menjadi pelatih Manchester United tak mudah, tanya saja pada Erik ten Hag.
Meski begitu, pria 54 tahun berkepala plontos itu punya mental kuat untuk menghadapi segala tantangan, hujatan, ekspektasi, dan juga tekanan yang muncul bersama dengan pekerjaan ini.
Apalagi, setiap pelatih Manchester United pastilah dibanding-bandingkan dengan kesuksesan era Sir Alex Ferguson, era yang belum pernah bisa dikembalikan pelatih-pelatih sebelum Erik ten Hag.
Meski begitu, nyatanya Erik ten Hag menjelma menjadi pelatih terlama yang menangani Setan Merah sepeninggal Sir Alex.
Apa yang membuat pria Belanda ini punya mental baja untuk menjadi pelatih Man United?
Tiga tragedi yang ia alami saat masih muda mungkin adalah kuncinya. Artikel Skor Special kali ini akan coba membahasnya.
(Skor Special adalah artikel yang akan memberikan perspektif berbeda setelah Skorer membacanya dan artikel ini bisa ditemukan dengan mencari #Skor Special atau masuk ke navigasi Skor Special pada homepage Skor.id.).
Tragedi Suriname
Pada akhir 1980-an, nama Andy Scharmin, mulai terkenal di Belanda. Dia adalah kapten Timnas U-21 Belanda dan diproyeksikan akan menjadi bintang baru Tim Oranye dan sepak bola Eropa dalam beberapa tahun berikutnya.
Scharmin dan Erik ten Hag adalah rekan setim di FC Twente saat itu, keduanya hanya berselisih usia tiga tahun dan berasal dari desa yang sama.
Semua harapan tentang Scharmin ini sirna pada 7 Juni 1989.
Saat itu, Scharmin dan 16 pemain muda lainnya terbang ke Suriname di Amerika Selatan untuk sebuah laga eksibisi.
Tim ini diberi nama "Tim Penuh Warna" (Bahasa Belanda: Kleurrijk Elftal), berisi pemain-pemain Belanda berdarah Suriname.
Mereka ke Suriname untuk melawan SV Robinhood, juara Liga Suriname saat itu, dalam rangka meningkatkan kesadaran akan ada dan banyaknya orang-orang keturunan Suriname di Belanda.
Sayangnya tak semua pemain keturunan Suriname bisa ikut. Ruud Gullit dan Frank Rijkaard contohnya, tak mendapat restu dari klub masing-masing untuk ikut dalam laga persahabatan ini.
Akan tetapi, laga ini akhirnya tak terwujud.
Pesawat Surinam Airways Flight 764 yang membawa para pemain terbang dari Amsterdam, jatuh saat hendak mendarat di Bandara Paramaribo-Zanderij, Suriname.
Sebanyak 176 dari 187 penumpang tewas. Ini adalah kecelakaan pesawat terbesar dalam sejarah Suriname.
Scharmin dan 13 rekannya serta sang pelatih termasuk di dalam daftar korban meninggal dunia, sebuah tragedi besar untuk sepak bola Belanda, Suriname, dan Erik ten Hag.
Ini sebabnya tanggal 7 Juni selalu dijadikan Hari Berkabung oleh Ten Hag setiap tahunnya.
"Scharmin adalah atlet yang luar biasa dan dia adalah teman saya," ujar Ten Hag beberapa tahun lalu.
"Saya tak akan pernah lupa saat rekan setim saya Edwin Hilgerink datang ke rumah untuk mengatakan bahwa sebuah pesawat jatuh dengan Scharmin dan ibunya berada di dalamnya."
Kematian, Lagi
Ten Hag mengawaki kariernya sebagai pemain di FC Twente pada 1989, setelah menimba ilmu di akademi klub.
Bermain selama dua tahun di sini, ia kemudian pindah ke De Graafschap pada 1990 yang bermain di kasta kedua.
Di musim panas yang sama, Twente merekrut gelandang potensial berusia 23 tahun, Tom Krommendijk, dari Feyenoord.
Setelah laga pertama musim itu, Tom Krommendijk mengalami kecelakaan mobil saat pulang ke rumah dan meninggal dunia.
Artinya, hanya dalam 14 bulan, ada dua pemain muda potensial di klub FC Twente yang meninggal dunia.
Meski baru saja meninggalkan klub, Ten Hag memang punya hubungan spesial dengan Twente, klub yang kembali ia bela mulai 1992 setelah dua musim di De Graafschap.
Kematian demi kematian ini tentu meninggalkan luka di hati Ten Hag.
"Twente memberi saya banyak hal, ada banyak sejarah besar di sana," ujar Ten Hag.
"Twente adalah tim yang paling saya ikuti perkembangannya. Saya menonton mereka sebagai fans, bukan sebagai analis."
Bencana Kembang Api
Setelah kembali ke Twente pada 1992, Ten Hag kembali hijrah pada 1994, kali in ke RKC Waalwijk. Ia sempat membela Utrecht sebelum kembali bermain untuk Twente pada 1996.
Pria yang dulu berposisi sebagai bek tengah ini kemudian membela Twente hingga pensiun pada 2002.
Sebuah tragedi mengerikan terjadi pada 13 Mei 2000 di Enschede, Belanda, kota kandang FC Twente.
Sebuah gudang kembang api mengalami ledakan. Sebanyak 23 orang meninggal dunia, 950 orang luka-luka, dan distrik setempat harus dibangun ulang karena kerusakan yang luar biasa dengan 400 rumah hancur dan 1.500 bangunan rusak.
Ada banyak ledakan yang terjadi, yang terbesar bahkan terdengar hingga 60 kilometer jauhnya.
Saat itu, Erik ten Hag menjabat sebagai kapten FC Twente yang harus menghadapi NAC Breda tiga hari berselang.
Dalam laga emosional ini, FC Twente bermain imbang 2-2 dengan luka ledakan ini masih sangat terasa di hati dan muka para pemain serta fans yang hadir.
Luka ini terus mereka bawa hingga 12 bulan kemudian Ten Hag memimpin FC Twente menjadi juara Piala Belanda alias KNVB Cup, gelar perdana FC Twente dalam 24 tahun lamanya.
"Gelar ini membawa begitu banyak kebahagiaan untuk kota ini," ujar rekan Ten Hag di Twente saat itu, Theo Snelders.
"Tragedi-tragedi ini yang membuat mengapa Twente saat ini terasa memiliki hubungan yang sangat erat. Ada kata dalam Bahasa Belanda Noaberschap yang artinya Anda selalu peduli dengan tetangga, membantu satu sama lain, memeprhatikan satu sama lain. Ini adalah nilai yang dibawa di bagian Timur dari Belanda dan itu adalah nilai dari FC Twente."