SKOR.id - Mari melihat lebih dekat bagaimana revolusi sepak bola Jepang terjadi secara lebih dekat lewat artikel Skor Special berikut ini.
(Skor Special adalah artikel yang akan memberikan perspektif berbeda setelah Skorer membacanya dan artikel ini bisa ditemukan dengan mencari #Skor Special atau masuk ke navigasi Skor Special pada homepage Skor.id.).
Timnas Jepang saat ini adalah salah satu negara terkuat di Asia dan bahkan dunia. Per Ranking FIFA 19 September 2024, Jepang adalah negara nomor 1 di Asia dan nomor 16 di dunia.
Hal ini tak terbayangkan tiga dekade lalu. Sebelum mulai tampil di Piala Dunia 1998, Jepang bukanlah tim sekuat sekarang.
Setelah itu, Negeri Sakura tak pernah absen di gelaran empat tahunan tersebut.
Tak hanya tim nasional mereka saja, Liga Jepang alias J.League juga merupakan salah satu liga terbaik di Asia, tim-tim mereka juga tak jarang menjuarai Liga Champions Asia.
Untuk melihat bagaimana revolusi ini berjalan, sepertinya kita harus kembali ke masa lebih dari tiga dekade silam.
1. Mulai dengan Anime
Tak seperti kebanyakan negara, Jepang pertama kali memperkenalkan pengetahuan sepak bola mereka justru lewat manga dan anime kepada khalayak luas.
Tahun 1981, Jepang memutuskan untuk melakukan reformasi sepak bola. Mereka juga menyadari bahwa anak-anak akan jadi kunci sepak bola ke depannya.
Tahun itu, sebuah manga berjudul "Captai Tsubasa" mulai terbit, tiga tahun kemudian manga ini diadaptasi menjadi anime dan disiarkan di TV nasional.
Tak hanya menyampaikan soal teknik dan strategi dasar sepak bola, Captain Tsubasa juga menunjukkan bagaimana harusnya mindset pemain, teamwork, hingga semangat berjuang.
Saat Captain Tsubasa mulai terbit pada 1981, hanya ada 68.900 pesepak bola yang terdaftar di Jepang.
Saat manga ini tamat pada 1988, jumlah ini meningkat menjadi 240.000 pesepak bola.
Hanya kurang dari satu dekade, tim sepak bola SD dan SMP di Jepang meningkat hampir tiga kali lipat.
Jumlah pemain sepak bola di usia SD yang terdaftar saat itu meningkat dari 110.000 menjadi 260.000.
Pentingnya hal ini terlihat jelas saat Jepang jadi tuan rumah Piala Dunia 2002 lalu. Dari 23 pemain Timnas Jepang, 16 di antaranya mengaku bahwa mereka mulai mencintai sepak bola setelah menonton Captain Tsubasa.
2. Integrasi Sepak Bola dengan Komunitas Lokal
Setelah itu, Jepang juga membentuk liga profesional bernama J.League dengan tujuan agar sepak bola mereka lebih berkembang.
Akan tetapi, mereka juga tak ingin sepak bola ini lepas dari hubungannya dengan komunitas lokal.
Digodoklah sebuah ramuan. Salah satunya soal penamaan klub-klub J.League.
Mereka menghindari penamaan klub dari sponsor ataupun pihak yang mendirikan klub, dan mengadopsi format nama "Daerah + Julukan" untuk tim-tim mereka.
Hal ini dengan harapan semua fans lokal akan merasa memiliki dan merasa terwakili dengan adanya klub tersebut.
J.League percaya bahwa hal ini akan lebih mudah membuat klub terintegrasi dengan komunitas lokal.
Mulai dari fauna lokal, flora, makanan, atau lambang daerah, semua bisa digunakan di nama-nama klub tersebut.
"Detak Jantung Shimizu", "Sakura Osaka", hingga "Bunga Matahari Kitakyushu" menjadi beberapa terjemahan literal nama klub-klub di Jepang, dengan nama julukan dipilih biasanya menggunakan bahasa asing.
Tak hanya itu, stadion juga tak hanya digunakan untuk bertanding, tetapi juga untuk komunitas lokal berkumpul.
Setiap tahun, harus ada kegiatan dan aktivitas yang dilakukan klub-klub untuk komunitas lokal, apapun bentuknya tergantung masyarakat setempat, dan hal ini diwajibkan oleh J.League kepada setiap klub anggotanya.
Di Akita misalnya yang ada banyak penduduk berusia lanjut, Blaubitz Akita melakukan kegiatan jalan santai bersama pemain, dan staf medis klub menyediakan makanan yang bergizi.
Lain halnya dengan Yamagata yang kerap terkena banjir, Montedio Yamagata berkolaborasi dengan pemadam kebakaran untuk membuat sistem anti banjir.
3. Sepak Bola dan Sekolah
Tak seperti di negara lain, Jepang juga punya sistem sepak bola sekolah yang tak kalah bersaing dengan akademi pemain muda klub.
Pemain bisa memilih bersekolah di SMP, SMA, bahkan kuliah, bergabung dengan klub sekolah tersebut, dan tetap bisa mengejar cita-citanya sebagai pesepak bola.
Selain itu, anak-anak bisa mengejar impian sepak bola mereka tanpa harus meninggalkan pelajaran sekolah, hal yang membuat orang tua juga jadi tenang.
Bahkan tak jarang, para pemain Jepang baru menjalani debut pro setelah usia 20 tahun setelah mereka bermain di tim universitas.
Keuntungannya, jika mereka gagal jadi pemain pro, mereka punya kesempatan besar bekerja di dunia profesional karena memiliki gelar, hal yang tak terjadi di belahan dunia lain.
Kaoru Mitoma contohnya, ia bahkan menolak kontrak pro dari Kawasaki Frontale untuk bergabung dengan Universitas Tsukuba.
Tak hanya soal sekolah, di tim universitas ia akan mendapat lebih banyak menit bermain, hal yang penting untuk pemain muda, dibandingkan mengisi bangku cadangan tim-tim pro.
Mitoma tak sendiri, banyak pemain-pemain Timnas Jepang saat ini yang juga mengambil jalur serupa.
4. Filosofi Latihan Pemain Muda
Jepang membagi latihan sepak bola usia muda menjadi lima bagian:
A. Usia 8-9 Tahun: Masa permulaan, mulai mengenal sepak bola secara keseluruhan
B. Usia 10-15 Tahun: Masa belajar teknik, taktik, dan transisi dasar sepak bola
C. Usia 16-17 Tahun: Masa belajar lewat pertandingan sungguhan
D. Usia 18-21 Tahun: Masa pendewasaan pemain
E. Usia 21 Tahun ke atas: Masa penyempurnaan pemain
Dengan cara ini, Jepang memastikan pada awalnya para anak kecil akan ditanamkan kesukaannya dengan sepak bola.
Setelah itu, diajarkan teknik dan taktik dasar dengan ditunjang pertandingan yang sesuai dengan usia pemain.
Setelah memasuki masa SMA, baru para pemain digembleng melalui kompetisi sesungguhnya lewat pertandingan-pertandingan berat, untuk melihat pemain mana yang bisa bertahan di dunia pro.