- Tim bulu tangkis putra Indonesia pernah merajai Thomas Cup periode 1990-an hingga awal 2000-an.
- Indonesia harus lebih dulu menelan pil pahit sebelum sukses mencetak sejarah di Thomas Cup
- Mantan anggota skuad Merah Putih menyebut momen juara Thomas Cup 1998 paling emosional.
SKOR.id – Seharusnya Thomas Cup 2020 telah menggelar partai finalnya pada 24 Mei lalu. Namun pandemi Covid-19 membuat turnamen bulu tangkis beregu putra paling bergengsi itu ditunda.
Berdasarkan jadwal baru Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF), Thomas Cup tahun ini, yang berlangsung di Aarhus, Denmark, akan digelar 3-11 Oktober mendatang.
Bagi Indonesia, 2020 merupakan kesempatan emas untuk mengakhiri paceklik gelar. Tim Merah Putih belum lagi mampu menjuarainya sejak 2002.
Edisi itu mengakhiri dominasi tim bulu tangkis putra Indonesia di Thomas Cup. Skuad Tanah Air pernah berjaya dalam ajang tersebut pada era 1990-an hingga awal 2000-an.
Indonesia merupakan negara pertama yang mampu menjuarai Thomas Cup lima kali secara berturut-turut. Ini menjadi rekor baru bagi bulu tangkis dunia.
Berita Bulu Tangkis Lainnya: Skorpedia: Empat Pemain Indonesia, Pionir Bulu Tangkis di Olimpiade
Mereka juga mematahkan rekor atas nama sendiri ketika juara dalam empat edisi beruntun pada 1970, 1973, 1976, dan 1979. Saat itu masih digelar tiga tahun sekali
Rexy Mainaky masih ingat jelas periode luar biasa tersebut. Maklum, ia turut menjadi bagian dalam empat dari lima tim juara Thomas Cup.
Menurut Rexy, salah satu alasan Indonesia mampu konsisten pada era 1990-an hingga awal 2000-an adalah komposisi kuat dan lengkap di nomor tunggal serta ganda.
“Sektor tunggal kami punya pemain seperti Ardy B. Wiranata, Alan Budikusuma, Hariyanto Arbi, hingga Joko Suprianto,” ujar Rexy Mainaky mengenang.
“Lalu di nomor ganda juga ada banyak pemain hebat. Ricky (Subagja), Rudy Gunawan, Eddy Hartono, Bambang Suprianto, Candra Wijaya, dan Sigit Budiarto,” ia menambahkan.
Dengan nama-nama yang disebutkan Rexy serta banyak pebulu tangkis hebat lainnya, Indonesia sukses menulis kisah perjuangan panjang terbaik yang pernah terjadi dalam sejarah bulu tangkis.
Dan yang juga perlu diingat, dominasi Indonesia di ajang Thomas Cup juga berhasil melewati tiga babak krusial dalam sejarah kehidupan bangsa.
Penghujung Orde Baru
Indonesia merasakan betapa pahitnya kekalahan tipis 2-3 dalam partai final Thomas Cup dari tuan rumah Malaysia di Stadium Negara, Kuala Lumpur pada 16 Mei 1992.
Namun tim Merah Putih sukses bangkit dengan menuntaskan revans atas Malaysia pada gelaran di Jakarta, Indonesia, dua tahun kemudian.
Ketika itu, dalam pertandingan final Thomas Cup 1994, Hariyanto Arbi dan kawan-kawan tidak memberikan skuad Negeri Jiran “napas”. Indonesia membungkam Malaysia, 3-0.
Di partai puncak, berlangsung pada 21 Mei, tuan rumah meraih angka lewat Hariyanto Arbi dan Ardy B. Wiranata di sektor tunggal serta Rudy Gunawan/Bambang Suprianto di nomor ganda.
Dua andalan Indonesia lainnya, pasangan Ricky Subagja/Rexy Mainaky dan Hermawan Susanto, bahkan tidak perlu turun ke lapangan melawan Malaysia.
Keberhasilan itu menandai superioritas para pebulu tangkis putra Indonesia di ajang Thomas Cup. Mereka sukses mempertahankan gelar hingga empat edisi berikutnya.
Berita Bulu Tangkis Lainnya: Nasib Taufik Hidayat, Pahlawan Bulu Tangkis Indonesia yang Terseret Kasus Korupsi
Rexy Mainaky bersama Ricky Subagja termasuk dalam skuad saat dikalahkan Malaysia pada 1992. Kala itu Ricky/Rexy takluk dari Cheah Soon Kit/Soo Beng Kiang, 12-15, 15-10, 8-15.
Dalam Thomas Cup 1992, Rexy mengakui tim lawan lebih kuat dari Indonesia. “Cina juga kuat, tetapi mereka pun dibuat tak berkutik oleh Malaysia.”
Namun Indonesia belajar dan pengalaman pahit tersebut. Saat membalas kekalahan dari tim Negeri Jiran di Jakarta, Ricky/Rexy tidak sempat tampil.
Pasalnya, mereka diplot untuk partai keempat. Keduanya tidak perlu turun bertanding karena Indonesia mampu menyapu kemenangan di tiga laga awal.
“Atmosfer Istora Senayan kala itu luar biasa. Kami sangat senang bisa meniru jejak pendahulu seperti Rudi Hartono atau Liem Swie King untuk mengangkat trofi Thomas Cup,” ujar Rexy.
Keberhasilan di Jakarta tersebut sekaligus memutus paceklik gelar Indonesia dalam 10 tahun sejak Liem Swie King dan kawan-kawan meraih trofi Thomas Cup 1984.
Selang dua tahun pasca-euforia di Istora Senayan, skuad Merah Putih tak kesulitan mempertahankan titelnya dalam Thomas Cup 1996 di Hongkong. Indonesia menang 5-0 atas Denmark.
Di Tengah Pergolakan
Pada final Thomas Cup 1998, yang kembali digelar di Hongkong, Indonesia bertemu lagi dengan rival beratnya, Malaysia. Kali ini, Rexy dan kawan-kawan harus bekerja keras.
Dalam partai pertama, Hariyanto Arbi kalah dari Ong Ewe Hock (14-18, 7-15). Ricky/Rexy menyamakan kedudukan dengan menundukkan Cheah Soon Kit/Yap Kim Hock (15-3, 18-15).
Hendrawan membawa Indonesia berbalik unggul sebelum ganda kedua, Candra Wijaya/Sigit Budiarto, memastikan hat-trick gelar Thomas Cup untuk tim Merah Putih.
“Indonesia menjuarai Thomas Cup lima kali berturut-turut dan saya bersama empat tim di antaranya. Namun saya bisa bilang bahwa edisi 1998 paling emosional,” kata Rexy.
Tak hanya di dalam lapangan, ketika itu, sepanjang Mei, kondisi sosial, politik, ekonomi di Tanah Air memanas. Mahasiswa se-Indonesia turun ke jalan menuntut Presiden Soeharto mundur.
Karena situasi keamanan di dalam negeri yang tidak kondusif, Rexy Mainaky mengungkapkan Indonesia nyaris memutuskan untuk menarik diri atau mundur dari Thomas Cup 1998.
Namun Chef de Mission (CdM) tim Indonesia Agus Wirahadikusuma, yang saat itu juga menjabat sebagai petinggi militer, meyakinkan pebulu tangkis nasional untuk tetap berangkat.
“Dia menjamin bahwa keluarga kami akan aman. Dia memerintahkan anak buahnya (tentara) untuk menjaga keluarga dan lingkungan rumah kami,” ungkap Rexy.
Diakuinya, jaminan dari Agus Wirahadikusuma itu melegakan skuad Merah Putih. Mereka bisa tampil lebih tenang untuk mengukuhkan Indonesia sebagai raja Thomas Cup.
Rexy ingat semua rekan-rekannya bertarung dengan luar biasa. Keinginan untuk membawa trofi demi meredakan ketegangan membuat mereka tampil “kesetanan”.
“Benar-benar emosional bagi kami. Ketika naik podium untuk menerima trofi, setiap pemain membawa bendera dan menyanyikan Indonesia Raya dengan lantang. Kami semua menangis haru,” kenangnya.
“Saat kami kembali, situasi di Indonesia mulai tenang. Kami melakukan selebrasi keliling kota dan semua orang bersorak senang. Saya melihat mereka turut bangga pada kami.”
Hendrawan menambahkan bahwa Thomas Cup 1998 menjadi momen yang tak terlupakan karena tim harus berjuang di luar negeri saat situasi di Tanah Air mencekam.
Seperti diketahui, selain unjuk rasa mahasiswa, sepanjang Mei kerusuhan juga marak terjadi. Menurut Hendrawan, itu membuat mereka sulit fokus karena cemas soal keamanan keluarga.
“Dengan suasana hati dan secara fisik yang tidak 100 persen, kita (Indonesia) kalau dipikir-pikir nggak mungkin juara waktu itu,” Wawan, sapaan Hendrawan, menuturkan.
“Namun kami ingin berjuang untuk memberi semangat bagi masyarakat. Dan hiburan terbaik (untuk mereka) saat itu adalah dengan melihat Piala Thomas balik ke Tanah Air.”
Yang menarik, skuad Thomas Cup Indonesia 1998 merasakan dua presiden berbeda. Ketika berangkat mereka dilepas oleh Soeharto, saat pulang disambut B.J. Habibie.
Fase Awal Reformasi
Selang dua tahun, Rexy Mainaky dan Hendrawan kembali membantu tim Merah Putih mempertahankan trofi Thomas Cup di di Kuala Lumpur, Malaysia. Mereka menang 3-0 atas Cina.
Rexy, berpasangan dengan Tony Gunawan, dan Wawan sukses menyumbangkan poin. Kemenangan Indonesia ketika itu dipastikan oleh atlet muda berusia 18 tahun bernama Taufik Hidayat.
Edisi 2000 menjadi penampilan terakhir Rexy Mainaky bersama timnas di Thomas Cup. Sementara Hendrawan masih terlibat pada gelaran 2002 di Guangzhou, Cina.
Sebagai sosok senior membuktikan kapasitasnya. Turun pada partai terakhir, pebulu tangkis asal Malang itu memastikan Indonesia meraih trofi Thomas Cup kelima secara beruntun.
Di Guangzhou, Wawan menjadi satu-satunya tunggal yang mampu menyumbangkan poin bagi skuad Merah Putih. Dua lainnya, Marleve Mainaky dan Taufik Hidayat kalah.
Berita Bulu Tangkis Lainnya: Indonesia Jadi Unggulan Pertama Thomas Cup 2020
Beruntung dua ganda Indonesia, Candra Wijaya/Sigit Budiarto dan Halim Haryanto/Tri Kusharyanto sukses mengamankan kemenangan atas Malaysia.
Ironisnya, rekor yang ditorehkan tim Merah Putih sekaligus menutup perjalanan era keemasannya di ajang Thomas Cup. Sejak 2002, Indonesia tak pernah lagi mampu juara.
Dalam delapan Thomas Cup berikutnya, skuad Tanah Air hanya dua kali mampu menembus final. Pada 2010 kalah melawan Cina, lalu takluk dari Denmark enam tahun kemudian.
Seperti yang telah diutarakan di atas, Thomas Cup tahun ini, Oktober nanti, menjadi kesempatan ideal Indonesia untuk membuktikan sejarah bisa terulang.
Tim Merah Putih memiliki pemain berkualitas dan berpengalaman. Anthony Sinisuka Ginting, Jonatan Christie, serta Shesar Hiren Rhustavito di sektor tunggal.
Sementara Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya dan Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan di nomor ganda. Berkat mereka, Indonesia menjadi unggulan pertama Thomas Cup.
Tentu itu bukan jaminan. Kenyataannya bisa sangat berbeda di dalam lapangan. Namun fan bulu tangkis Tanah Air akan berharap status unggulan bisa membuat para atlet termotivasi.