- PBSI mendapat kritikan pedas dari sejumlah alumni pelatnas Cipayung terkait sistem degradasi yang tak transparan.
- Susy Susanti pun angkat bicara dengan mengatakan PBSI memiliki prosedur dan tidak asal mendegradasi atlet.
- Sejumlah mantan atlet pelatnas menilai PBSI tidak menghargai atlet dengan mengumumkan degradasi via media massa.
SKOR.id – Keputusan Tontowi Ahmad untuk gantung raket alias pensiun nyatanya berbuntut polemik antara PP PBSI dengan sejumlah mantan atlet penghuni pelatnas Cipayunh.
Semula, Tontowi Ahmad membeberkan keluhannya kepada awak media terkait statusnya di pelatnas Cipayung yang berubah menjadi atlet magang.
Pria yang akrab disapa Owi itu merasa keberatan dengan status tersebut karena ia bukan atlet yang baru masuk skuad Cipayung.
Baca Juga: PP PBSI Jelaskan Status Magang Tontowi Ahmad
Komentar Tontowi Ahmad itu ternyata memicu dua alumni pelatnas Cipayung, yang juga merasa mendapat perlakukan kurang adil dari PBSI, buka suara.
Dua mantan penghuni pelatnas Cipayung itu adalah Sony Dwi Kuncoro dan Ricky Karanda Suwardi.
Keduanya merasa dicampakkan oleh PBSI meski telah berkontribusi untuk olahraga bulu tangkis Indonesia.
Baik Sony Dwi Kuncoro maupun Ricky Karanda Suwardi menilai PBSI dinilai tidak menghargai atlet dengan mengumumkan degradasi via media massa.
Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi (Kabid Binpres) PP PBSI, Susy Susanti, pun akhirnya angkat bicara pada Rabu (20/5/2020).
Menurut Susy Susanti, PBSI sudah lebih dulu memberi tahu ke pelatih, untuk kemudian diteruskan ke atlet, sebelum mempublikasikan nama-nama yang terkena degradasi.
“Saya rasa semua pelatih sudah menginfokan. Tidak mungkin kami tak melibatkan pelatih atlet yang bersangkutan. Semuanya pasti diinfokan,” ujar Susy Susanti.
Perempuan 49 tahun itu menegaskan jika PBSI memiliki prosedur tersendiri dan tidak asal mendegradasi atlet.
Baca Juga: 2 Alumni Pelatnas Cipayung Sayangkan Sistem Degradasi PBSI
“Kami tidak mungkin berbohong. Semua (keputusan promosi-degradasi) berdasarkan data yang dimiliki PBSI, seperti prestasi terakhir hingga target ke depan,” ia mengungkapkan.
“Misal, atlet ini sudah 13 tahun di pelatnas, usia baru 27 tahun, prestasi terakhirnya apa? Kalau tidak ada, ya tidak masuk (pelatnas),” peraih emas Olimpiade 1992 itu menegaskan.
Susy juga mengungkapkan bahwa sistem promosi dan degradasi dilakukan untuk memberi kesempatan kepada atlet muda sebagai bentuk dari regenerasi.
“Daripada anggarannya diberikan ke atlet yang belum mempunyai target, lebih baik dialokasikan ke generasi berikutnya,” ucap Susy.
“Saya juga pernah jadi atlet, pasti punya target ke depan. Kalau tidak punya, ya buat apa."
"PBSI juga punya target, punya tanggung jawab. Pendegradasian juga bukan mutlak keputusan Kabid Binpres, semua dirumuskan dengan pengurus,” Susy Susanti melanjutkan.
Baca Juga: Tontowi Ahmad Serahkan Tongkat Estafet ke Pebulu Tangkis Muda
Menyoal status magang, Susy Susanti menuturkan bahwa atlet penghuni pelatnas Cipayung akan tetap mendapat jatah bermain ke berbagai turnamen.
Namun yang membedakan antara pemain magang dan tetap adalah soal pemberangkatan.
Atlet magang harus membiayai sendiri keberangkatannya, mulai dari tiket, akomodasi, hotel, dan lainnya. Sementara atlet tetap ditanggung PBSI.
Akan tetapi, jika atlet magang itu mampu meraih prestasi maka biaya pemberangkatan akan diganti PBSI.
“Kami menghargai sekali. Jika mereka juara, pasti kami ganti, minta bonus ke Menpora. Sumua sudah ada aturannya,” kata Susy Susanti.