SKOR.id - Zahra Musdalifah yang menjalani latihan dengan klub Liga Jepang, Cerezo Osaka Sakai Ladies selama beberapa bulan terakhir baru saja kembali ke Indonesia pada Kamis (18/5/2023).
Skor.id berkesempatan bertemu dengan Zahra di kawasan Senayan pada Selasa (23/5/2023) dan sempat melakukan wawancara singkat yang dilakukan dalam sesi Workshop Live Commentary Women in News and Sports ABC Australia yang dihadiri oleh para jurnalis perempuan Indonesia.
Berikut wawancara Skor.id bersama penyerang berusia 22 tahun yang membela timnas di Asian Games 2018 itu.
Apa jalur terberat yang kamu lalui sebagai pesepak bola profesional?
Konsistensi dan disiplin, itu yang paling sulit. Menjaga itu paling sulit karena banyak godaan dari teman-teman dan sulit untuk menolak. Apalagi jika mulai banyak yang kenal dan banyak yang mulai suka, kita bisa terbawa.
Tapi, saya bersyukur banyak mendukung saya. Saya memiliki small cicrle yang selalu mendukung dan saya lebih memilih small circle, termasuk juga dukungan dari keluarga. Mereka mengerti apa yang saya lakukan. Mereka yang juga mengingatkan saya ketika saya melakukan sesuatu.
Apa pesan kamu untuk gadis-gadis kecil yang ingin menjadi pesepak bola.
Just do it (lakukan saja). Kebanyakan orang berpikir sepak bola adalah olahraga laki-laki. Banyak yang (mengirim) DM (direct message Instagram) dan menceritakan bahwa orang tuanya tak mendukung karena sepak bola itu olahraga laki-laki.
Saya mau mau ubah stigmanya karena (contoh) basket, cewek dan cowok juga main. Sepak bola juga, semua sama, bedanya basket pakai tangan, sepak bola pakai kaki. Kalau kalian benar-benar suka dan ingin lanjut main sepak bola, just do it (lakukan saja).
Bagaimana kemampuan Bahasa Jepang kamu?
Konnichiwa, arigatou gozaimasu, sumimasen (tertawa). Ini seru kalau diceritakan. Saya di Jepang tinggal sendiri, orang asing sendiri di klub, dan harus membangun chemistry dengan tim.
Padahal membangun chemistry adalah yang paling susah karena diperlukan komunikasi sementara komunikasi tak jalan karena (kendala) bahasa.
Beberapa bulan di sana, saya menemukan jalan untuk berkomunikasi. Kalau tak bawa smart phone, saya memakai body gesture.
Saya menggunakan papan lapangan untuk menjelaskan posisi saya dan mereka, menggunakan Bahasa Jepang dan Inggris agar kami bisa berkomunikasi (tertawa). Saya berusaha menjelaskan posisi saya dengan bahasa campuran dan body gesture dan mereka mengerti.
Setelah Jepang, apa cita-cita berikutnya yang lebih tinggi?
Saya memiki cita-cita ingin main di Eropa, tapi pelan-pelan (menuju ke sana). Saya sempat main di Inggris (South Shields) dan namaku masih di sana. Tapi di sana itu di divisi lima. Saat di Jepang, meski di Asia, tapi saya bermain di divisi satu. Jika saya sudah merasa nyaman, saya pasti ingin lebih lagi.