- Widodo Cahyono Putro sebut sosok Endang Witarsa dan Andi Teguh sebagai pelatih yang pengaruhi kariernya.
- Rocky Putiray dan Bima Sakti merupakan rekan setim yang paling sering satu kamar dengan Widodo Cahyono Putro.
- Iswadi Idris adalah pelatih pertama yang memanggil Widodo Cahyono Putro untuk membela timnas Indonesia.
SKOR.id - Sebagai pemain, Widodo Cahyono Putro termasuk striker Indonesia yang kiprahnya disegani, tak hanya di pentas nasional tetapi juga internasional.
Perjalanan lelaki yang kini menjadi pelatih Persita Tangerang ini bersama timnas Indonesia dimulai saat usianya masih 20 tahun, yakni pada 1990.
Sebagai pemain timnas, kariernya tidak bergelimang trofi. Tapi paling tidak, ia mennjadi bagian dari generasi emas yang meraih medali emas SEA Games 1991.
Berita Lain Timnas Indonesia: Kilas Balik Piala Tiger 1998: Gerakan Reformasi Muluskan Persiapan Timnas Indonesia
Setelah itu, dalam ajang Piala Tiger atau Piala AFF, yang ia ikuti pada edisi 1996, 1998, tak satu pun yang berbuah trofi juara. Pada 2000, Widodo pensiun dari timnas.
Bagaimana perjalanan Widodo bersama timnas Indonesia? Siapa saja sosok yang memengaruhi karier Widodo? Berikut wawancara Skor.id:
Masih ingat kapan kali pertama dipanggil tim nasional?
Pertama kali dipanggil untuk ajang Pra Olimpiade 1992 pada tahun 1990-1991 untuk timnas U-21. Saat itu usia saya sekitar 20-an.
Pelatihnya saat itu adalah Iswadi Idris. Tapi saat itu ada beberapa pelatih lainnya yang membantu, seperti Ronny Pattinasarany dan Risdianto.
Tapi seingat saya, pelatih kepalanya adalah Iswadi Idris. Lalu yang kedua dipanggil untuk SEA Games 1991.
Bisa ceritakan proses pemanggilannya saat itu?
Mungkin saya dilihat dari kompetisi Galatama waktu itu. Saya di tim Warna Agung, tim kami posisinya buncit, juru kunci.
Karena saya striker yang terdaftarnya di situ, jadi biarpun di papan bawah secara permainan setiap bermain saya selalu cetak gol walaupun kalah. Mungkin dari situ.
Bagaimana reaksi Anda saat dipanggil timnas?
Waktu itu Pra-Olimpiade kan memang khusus U-21, saya tidak begitu kaget. Justru yang kaget itu waktu nama saya ada dalam skuad senior untuk SEA Games 1991.
Saya tak menyangka sama sekali saat itu bisa tembus ke timnas senior, padahal usia saya yang bisa dibilang sangat muda saat itu.
Apa momen favorit Anda bersama timnas?
SEA Games 1991. Waktu itu saya debut di senior dan saya bisa cetak gol, dua gol lawan Malaysia. Terus bisa membawa pulang medali emas.
Dan yang kedua waktu cetak gol salto di Piala Asia 1996.
Itu gol favorit Anda?
Hanya salah satunya. Sebetulnya setiap gol bagi striker itu berkesan. Saya hampir 10 tahun di timnas, mungkin yang paling berkesan dan bersejarah, ya itu gol salto di Piala Asia.
Rekan di timnas yang paling sering satu kamar dengan Anda?
Kalau saya sama siapa saja. Tapi rata-rata waktu di timnas itu kalau ada Rochi (Putiray) saya sama dia. Pada SEA Games 1997 di Jakarta, saya sama Bima Sakti.
Siapa tandem favorit Anda?
Saya kan orangnya justru penyuplai. Saya lebih mengutamakan bagaimana tim ini bisa menang. Bukan bagaimana saya mencetak gol.
Apa artinya baju merah putih, garuda di dadaku? Artinya ketika sudah memakai baju itu, bukan bagaimana mencetak gol, tapi bagaimana bisa membantu tim menang.
Itu dulu yang harus tertanam. Tapi memang itulah dulu yang kami pemain timnas tanamkan saat memperkuat timnas. Pemain selalu all out.
Kapan terakhir kali Anda mengenakan seragam timnas?
Tahun 1999 di SEA Games Brunei Darussalam. Kami juara ketiga. Saya main rutin. Kami terakhir adu penalti untuk memperebutkan perunggu.
Semifinal kita kalah sama Vietnam. Sepanjang karier di SEA Games sih sudah komplet, ada Emas (1991), Perak (1997), dan Perunggu (1999).
Lawan di Asia Tenggara yang paling ngeyel?
Waktu jaman saya ya Thailand. Pemain yang saya ingat itu salah satunya Kiatisuk Senamuang. Juga ada Therdsak Chaiman.
Itu dia (Therdsak Chaiman) yang sering "berantem" sama Fakhri Husaini kalau sudah bertemu. Bawaanya berantem kalau sama Thailand.
Pelatih yang paling berperan bagi karier Anda?
Tentunya pada awal adalah keluarga yang paling berperan. Kalau pelatih pertama di klub itu (almarhum) Endang Witarsa di Warna Agung.
Terus berjalan waktu ada (almarhum) Andi Teguh. Ke sininya mah banyak. Ya yang paling membekas tentu almarhum Endang dan Andi Teguh.
Kalau Endang, ya beliaulah yang membentuk fondasi saya sebagai pemain. Bagaimana dari nol dari Warna Agung tim papan bawah, bisa memunculkan seorang Widodo.
Pelatih dengan metode paling berat atau berkesan?
Pada zaman dulu itu ya Anatoly Polosin. Jadi waktu sama dia latihan itu satu hari tiga kali. Bisa dibayangkan itu selama tiga bulan.
Tapi ya kami pemain ambil sisi positifnya saja. Akhirnya ada hasilnya, Juara, pada zaman itu. Mungkin sekarang tidak bisa diterapkan saat ini.
Sepak bola kan berkembang, berubah. Metode kepelatihannya itu pasti berbeda.
Pesepak bola Asia Tenggara yang paling Anda kenal?
Ya salah satunya Fandi Ahmad. Dia striker bagus dan Varadaraju Sundramoorthy.
Striker lokal favorit saat masih muda?
Ya kebetulan saya itu main di kampung jarang publikasi, jadi sampai saya sekolah SMEA itu terakhir kurang mengikuti kompetisi.
Berita Lain Timnas Indonesia: Kilas Balik Piala Tiger 1998: Tragedi Sepak Bola Gajah dan Mursyid Effendi Kambing Hitam
Jadi ya tahu-tahunya ya pas masuk di Warna Agung. Oh ini striker dulu. Waktu zaman dulu, seperti mas Risdianto. Awalnya juga jarang sekali saya lihat permainan dia.
Ricky Yakobi juga, karena memang kan susah, televisi juga dulu jarang yang punya.