SKOR.id - Mantan pelatih Timnas U-16 Indonesia, Fakhri Husaini, angkat bicara mengenai peluang Timnas U-17 Indonesia di Piala Dunia U-17 2023. Seperti diketahui, Timnas U-17 Indonesia akan menjalani laga perdana mereka di Grup A Piala Dunia U-17 2023 dengan menghadapi Ekuador di Stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya, Jumat (10/11/2023).
Kemudian, eks kapten Timnas Indonesia ini juga berbicara tentang pembinaan usia muda di Indonesia yang masih belum ideal. Selain itu, pelatih yang membawa Timnas U-16 Indonesia juara Piala AFF U-16 2018 ini juga bicara soal Timnas Indonesia di bawah pelatih Shin Tae-yong yang banyak diperkuat pemain naturalisasi.
Simak wawancara selengkapnya dengan mantan pemain PKT Bontang itu di bawah ini:
Menurut Anda, Timnas U-17 Indonesia sekarang potensinya seperti apa dan bakal berbicara sejauh mana di Piala Dunia U-17 2023?
Kalau soal penampilan tim ini seperti apa, ini tim kan tidak pernah kita lihat persiapannya seperti apa. Kita enggak tahu nih, tim ini uji cobanya kita enggak pernah lihat juga. Artinya tidak terpublikasi sebagaimana timnas-timnas usia muda sebelumnya. Kemudian, bagaimana peluang mereka di Piala Dunia U-17 ini, kita sama-sama tahu bahwa timnas kita bisa tampil di Piala Dunia itu karena fasilitas sebagai tuan rumah. Bahkan di penyisihan grup pun untuk lolos ke Piala Asia U-16 kita kalah.
Tapi saya tetap masih bisa menaruh harapan kepada coach Bima (Sakti) dan teman-teman, karena tim pelatih pasti seoptimal mungkin untuk membentuk tim yang kuat apalagi kita bermain di rumah. Kita pun sudah melakukan seleksi, saya juga tidak tahu dari 12 kota itu seleksi terbuka berapa pemain yang masuk.
Tapi saya yakin dengan persiapan yang beberapa bulan di Jerman, tentu dengan adanya tambahan beberapa pemain diaspora, mudah-mudahan tim ini bisa memberikan yang terbaik.
Hanya saja, yang menjadi lawan tim ini adalah tiga negara yang tidak familiar juga dengan sepak bola usia muda kita. Ekuador, Panama, Maroko. Bukan dari kawasan Asia yang mungkin bisa kita ukur kekuatan mereka. Tapi tetap seperti yang saya sampaikan tadi, karena ini sepak bola usia muda, biasanya kita di sepak bola usia muda masih sanggup untuk berkompetisi minimal memberikan perlawanan.
Bagaimana pendapat Anda tentang pembinaan usia muda kita sekarang?
Ini kita bicara youth development yang dilakukan oleh PSSI. Ada Piala Suratin, ada EPA. EPA itu singkatannya Elite Pro Academy. Saya enggak tahu elitenya di mana, profesionalnya di mana. Kalau kita lihat setiap persiapan tim itu harus melakukan seleksi terbuka dulu, berbayar lagi. Kemudian setelah masuk pun mereka mesti bayar lagi uang macam-macam.
Kebetulan tesis A Pro saya itu terkait dengan youth development kita. Jadi saya sudah mewawancarai semua pelatih juara EPA tahun kemarin. Pelatih Bhayangkara, Persib, Dewa United, mereka sudah memberikan semua kegelisahan mereka. Bahkan ada satu pelatih yang mengatakan, enggak ada ilmu sepak bola yang mereka dapatkan waktu kursus pelatih yang bisa dipakai ketika mereka menyiapkan tim itu.
Bagaimana bisa mengimplementasikan ilmunya kalau 45 hari, ketika kompetisi itu berjalan mereka harus bermain 17 pertandingan. Siapa pelatih yang bisa menyiapkan tim itu, menjaga kebugaran pemain itu biar bisa tampil maksimal di setiap pertandingan. Siapa yang bisa?
Dan sekarang pemain-pemain mereka itu bubar lagi. Karena bukan binaan mereka juga, karena seleksi kan.
Kemudian Piala Suratin. Kalau kita kembali ke zaman ketika Perserikatan dan Galatama masih terpisah, itu masih kelihatan ada kompetisinya di Perserikatan-Perserikatan itu kan. Sekarang siapa yang bertanggung jawab yang menggelar kompetisi di daerah? Tidak semua Asprov PSSI yang menggelar kompetisi usia mudanya. Tiba-tiba muncul Piala Suratin, dan itu mainnya hanya beberapa pertandingan. Jadi Piala Suratin dan Elite Pro Academy ini, oke enggak masalah jalan saja. Tapi kompetisi ini kalau bisa dilakukan dan dikelola dengan baik. Terintegrasi dan berkelanjutan.
Kalau PSSI itu mampu menyusun, dua tahun kah, tiga tahun kah rencana strategisnya kapan Piala Suratin, EPA, tentu akan lebih mudah semua pelatih menyusun program kerjanya, termasuk juga menyusun rencana anggarannya. Ini yang enggak terlihat. Jadi semua yang penting formalitas. Kalau saya melihat masih sebatas formalitas sepak bola usia muda kita.
Hadirnya banyak pemain naturalisasi, apakah sudah berdampak bagi Timnas Indonesia?
Ini ada beberapa argumentasi atau diskusi. Ketika mengukur indikator kinerja pelatih, pertama adalah berapa gelar yang bisa didapatkan. Berapa gelar, berapa medali, yang bisa didapatkan. Yang kedua, statistik.
Kalau saya statistik itu penting. Contoh saja, ketika timnas kita lawan Thailand, Vietnam. Coba dibedah saja statistik itu seberapa dominan jumlah passing kita. Seberapa dominan ball possession kita. Itu dulu.
Kalau yang lain ada juga yang ngomong juara AFF itu enggak penting, lebih penting lolos ke Piala Asia. Lolos ke Piala Asia kita sudah berkali-kali, pelatih lokal juga yang bawa tanpa pemain naturalisasi juga. Dan kalau mengukur bagaimana penampilan timnas kita di level ASEAN, jangan lihat ketika kita lawan Brunei, Laos. Indikatornya sederhana saja, lihat saja kita lawan Vietnam lawan Thailand. Itu saja cara mengukurnya. Sudahlah itu menjawab semua pertanyaannya.
Sejauh mana Indonesia bakal melangkah di Kualifikasi Piala Dunia 2026 dan Piala Asia 2023?
Sekarang kan tuntutan masyarakat semakin tinggi. Ketika Shin Tae-yong (STY) di-supportsedemikian rupa oleh PSSI, bahkan negara ikut membantu memfasilitasi semua kebutuhan STY yang tidak didapatkan pelatih-pelatih nasional lain. dia harus berprestasi. Tidak ada lagi ceritanya, semua keinginan dia kan sudah terpenuhi. naturalisasi sudah diberikan semua. Timnas kita sudah harus siap untuk berprestasi. Tidak ada lagi yang bisa dijadikan alasan. Apalagi yang mau dijadikan alasan ketika semua yang kamu inginkan sudah diberikan oleh PSSI dan negara.
Mana pelatih timnas yang mendapatkan dukungan seperti Shin Tae-yong? Makanya itu yang saya bilang tadi, kalau soal peringkat, peringkat itu kan bisa kita pilih lawannya. Kemudian bisa juga tim yang tidak bertanding itu bisa naik, kalau tim yang di atasnya kalah. Jadi yang sering dijadikan indikator keberhasilan itu peringkat FIFA kita naik.
Sekarang coba cek statistik saja. Tanya ke PSSI punya enggak statistik penampilan timnas kita sekarang. Dan statistik itu ASEAN saja, lawan Vietnam, lawan Thailand. Saya punya. Coba lihat statistik kita waktu kalah Piala AFF yang main home and away lawan Thailand, coba lihat saja statistik itu. Kalau pun tidak berhasil tapi minimal kita mendominasi, misalnya. Kita bisa kuasai bola, ball possession lebih banyak, oke itu capaian yang bisa kita banggakan karena itu sudah jelas catatannya. Tinggal menunggu waktu saja kan itu.
Melihat perkembangan mantan anak didik Anda banyak yang hilang dan tersisa hanya beberapa yang konsisten?
Sekarang ada Dewa (Alfeandra Dewangga), tapi kadang dipanggil kadang enggak. Ernando (Ari Sutaryadi), Rizky Ridho. Ya, ini wajar kalau menurut saya. Mereka masih muda, kemudian kemampuan mereka mengelola emosi perasaan ketika begitu banyak orang yang sekarang mungkin seumur hidupnya enggak pernah menendang bola sekali pun tapi bisa menilai pemain itu tampil bagus atau nggak itu begitu hebatnya.
Pemain-pemain muda ini ketika membuat satu kesalahan, mereka mendapat hukuman dari suporter. Bahkan ketika mereka sedang bertanding itu orang sudah menilai mereka. Tidak semua pemain itu punya kemampuan bisa mengelola perasaannya itu. Mentalnya Ridho dia main di klub besar juga sekarang. Dia harus membagi penampilannya sama-sama harus tampil maksimal.
Kemudian untuk Bagas (Kaffa), Bagus (Kahfi), ada beberapa pemain yang tidak mampu bersaing juga karena regulasi pemain asing sekarang 5+1. Enam pemain asing. Kalau enggak buka sekalian sudah, bebaskan sekalian sudah. Tapi kan kita belum seperti negara Inggris yang isinya satu tim bisa pemain asing semua. Tapi kan kita negara yang masih berkembang sepak bolanya, masih sedang membangun sepak bolanya.