- Eko Yuli Irawan mengenang momen tampil dalam Olimpiade.
- Lifter andalan Indonesia tersebut mampu menyumbang medali dalam Olimpiade 2008, 2012, dan 2016.
- Eko Yuli Irawan akan tampil di kelas baru pada Olimpiade 2020.
SKOR.id - Eko Yuli Irawan merupakan lifter kebanggan Indonesia yang menanti Olimpiade XXXII Tokyo, Jepang, tahun depan.
Ini akan jadi kali keempat Eko Yuli Irawan turun dalam Olimpiade. Sepanjang tampil dalam pesta olahraga terbesar dunia itu, dia selalu sukses menyumbangkan medali.
Satu medali perak dan dua perunggu telah dibawa pulang Eko Yuli ke Tanah Air dari Olimpiade. Menariknya, itu diraih dari dua kelas berbeda.
Saat berlaga di Oimpiade 2008 Beijing dan 2012 London, Eko Yuli meraih perak masing-masing dari nomor 56 kg dan 62 kg putra.
Empat tahun kemudian, Eko Yuli menyumbang medali perak pada nomor 62 kilogram putra. Tepatnya dalam Olimpiade 2016 Rio de Janeiro, Brasil.
Namun, tersimpan cerita dibalik sukses tersebut. Dalam perjalanan meraih medali dalam pesta olahraga empat tahunan itu, Eko Yuli kerap dibebat cedera.
Kepada Skor.id, Eko Yuli berbagi pengalaman soal persiapannya menuju Olimpiade 2020 di Tokyo, Jepang, 23 Juli-8 Agustus 2021. Berikut petikannya:
Sebelum bercerita soal Olimpiade 2020 yang mundur, bagaimana pengalaman Anda pada Olimpiade sebelumnya?
Persiapan untuk Olimpiade sebenarnya sama. Walaupun dalam perjalanannya ada SEA Games dan Asian Games. Tujuannya utamanya adalah Olimpiade. Jadi, tak ada perubahan.
Nah, pada 2008 memang saya tampil di PON (Pekan Olahraga Nasional) dulu. Ketika itu, satu bulan sebelum PON, saya mengalami masalah hamstring.
PON sebenarnya hanya buat tes tanding. Namun, kondisi waktu itu lagi cedera. Saya harus memastikan emas di PON dan cedera tak tambah parah.
Waktu di Olimpiade, sudah sembuh, tapi persiapannya kurang. Kalau dihitung, persiapan setelah sembuh dari cedera hamstring ke Olimpiade tak sampai satu bulan.
Pengalaman apa yang Anda dapat ketika debut di Olimpiade 2008?
Mungkin karena kali pertama tampil, suasananya berbeda. Ketika bertanding, sebenarnya sama dengan Kejuaraan Dunia dan yang lain.
Tapi, suasananya beda. Kalau di Olimpiade, ada athlete village, semuanya ada. Makanan pun berbeda.
Di sana, fokusnya ingin bertanding. Jadi enggak mikir untuk menikmati (suasana) di sana.
Apakah ada perasaan gugup karena ini merupakan debut di Olimpiade?
Ngga sih karena memang sama panggungnya ketika bertanding. Cuma memang antusias penonton, berbeda.
Kalo nasional mungkin teman-teman atlet saja yang nonton. Kalau di sana (Olimpiade) orang awam juga nonton.
Kami terbiasa dengan kondisi sepi, tak ada penonton. Itu udah biasa. Tapi, di sana banyak yang nonton dan bukan hanya atlet.
Menariknya, penonton hadir datang untuk mendukung semua. Jadi tidak ada keberpihakan dukung tuan rumah. Kami seperti punya pendukung juga.
Kemudian, ketika Anda tampil di Olimpiade London…
Saya malah punya pengalaman cedera lebih parah waktu (tampil) di London. Ketika itu, saya tampil dengan kondisi tulang kering yang sudah retak.
Posisi saya waktu itu harus bisa minimal mempertahankan pencapaian pada Olimpiade sebelumnya dengan meraih perunggu.
Tapi, kondisi tulang kering saya sudah retak. Mau gimana coba? Namun, saya tetap berusaha.
Bagaimana cara Anda mengatasi masalah itu ketika bertanding?
Berpikir positif aja. Saya tidak berpikir kalau nanti patah bagaimana. Pokoknya, tampil seakan-akan tidak ada cedera. Bermain sugesti.
Kalau sugestinya saya takut kenapa-kenapa, ya habis. Saya akan ketakutan mau ngangkat berat. Sugestinya udah takut, akhirnya ngangkat enggak akan beres.
Seperti normal saja, ngangkat (beban) semampunya. Seakan-akan tidak ada cedera sama sekali. Sakit, pasti, tapi mau gimana lagi?
Apakah tidak terbebani?
Saya harus bertanding dan di sisi lain, prestasi Olimpiade sudah (pernah dapat) medali. Minimal, saya harus mengulang. Beban saya disitu.
Bersyukur saya bisa meraih medali. Intinya, bermain sugesti, saya pikirkan di luar cedera. Meskipun ada rasa sakit, apalagi setelah bertanding.
Pulang dari Olimpiade London, saya ke ortopedi dan dibilang enggak boleh tanding lagi, enggak boleh ngangkat beban.
Kalau keberatan dan tambah lebar sedikit saja, kaki saya bisa patah. Padahal, ketika itu masih ada PON Riau.
Saya tidak melakukan operasi, disuruh istirahat total dan minum vitamin untuk tulang.
Apa penyebab tulang kering Anda nyaris patah?
Mungkin karena terbentur. Tapi, waktu itu saya pikir bengkak biasa. Saya paksakan untuk latihan berat dan ketika di MRI baru keliatan sudah retak.
(Waktu itu) saya tengah berjuang menuju Olimpiade, masa tidak ada persiapan. Jadi, saya tetap berlatih. Sepulang dari Olimpiade, saya kembali MRI, ternyata tambah parah.
Setelah PON 2012 Riau, selama 4-5 bulan, saya benar-benar off. Setelah itu, normal lagi. Kata dokter, kalau sudah sembuh, malah tambah kuat.
Empat tahun kemudian, Anda tampil di Olimpiade Rio de Janeiro…
Saya mengalami cedera juga tapi waktu itu posisinya di lutut. Itu terjadi pada April sampai Juni 2016.
Selama latihan saya enggak bisa jongkok. Persiapan tetap dilakukan, tetapi menghindari posisi jongkok. Jadi setengah berdiri.
Mulai bisa jongkok full satu bulan sebelum Olimpiade. Kasusnya hampir sama dengan (Olimpiade) 2008.
Satu bulan sebelum tampil, mau engga mau saya paksain buat jongkok. Training camp (TC) di Cape Town (Afrika Selatan).
Tenaga masih gede karena berlatih terus. Hanya, posisi dan gerakannya tidak pas. Ada posisi yang tekniknya kurang mateng.
Jadi, dari segi power, siap tapi teknik, kurang. Keseimbangannya kurang pas.
Meski persiapan terganggu, prestasi di Rio meningkat dengan meraih perak…
Maunya pasti (dapat) emas. (Apalagi) saat tanding, atlet Cina (Chen Lijun) cedera di panggung. Itu kesempatan untuk meraih emas.
Tapi, (Oscar Figueroa) dari Kolombia lebih kuat. Di sisi lain, dengan persiapan minim, saya sudah berusaha sebaik mungkin. Tetap bersyukur dapat perak.
Pelajaran apa yang bisa dipetik dari tiga kali tampil di Olimpiade?
Intinya, jangan sampai cedera ketika menjalani persiapan karena sebelum Olimpiade (saya) selalu mengalami cedera.
Kenapa cedera? Karena persiapan minim, anggaran minim, sementara kami ditarget emas. Mau tidak mau, kami habis-habisan saat latihan.
Badan jadi rusak semua. Pemerintah atau yang lain tahunya hanya 'bisa emas ya'. Tapi, dari segi persiapan, tidak selayaknya untuk medali emas.
Kalau ditanya soal emas, kami pasti ingin emas. Siapa yang tidak mau emas di Olimpiade.
Cuma, semenggebu-gebunya kami sebagai atlet, kalau tidak dipersiapkan dengan baik, tidak akan jadi, tidak akan siap.
Tanggapan dengan mundurnya Olimpiade?
Saya mengambil sisi positifnya. Jadi, lebih punya banyak waktu untuk mempersiapkan diri. Semoga prestasi di sana dapat meningkat dan semua persiapan berjalan dengan baik.
Ikuti juga Instagram, Facebook, YouTube, dan Twitter dari Skor Indonesia.
Berita Eko Yuli Irawan Lainnya:
Ikut RDPU, Eko Yuli Irawan Sebut Persiapan Angkat Besi Sudah 95 Persen
Eko Yuli Irawan Ambil Sisi Positif Penundaan Olimpiade 2020