- Dalam rangka peringatan Hari Olahraga Nasional (Haornas) 2021, redaksi Skor.id menyajikan kisah inspiratif atlet-atlet putri Indonesia.
- Artikel kali ini membahas perjuangan lima atlet putri Indonesia yang berhasil bangkit dari keterpurukan.
- Kelima atlet itu adalah Dea Salsabila Putri, Triyaningsih, Greysia Polii, Lindswell Kwok, dan Sri Wahyuni Agustiani.
SKOR.id - Tak selamanya karier seorang atlet dapat berjalan dengan mulus. Ada kalanya mereka menjalani suatu periode buruk.
Periode buruk seorang atlet bisa disebabkan berbagai hal. Mulai dari faktor teknis seperti cedera hingga non-teknis di luar arena pertandingan.
Bangkit dari keterpurukan bukanlah hal mudah bagi seorang atlet. Butuh ketangguhan fisik dan mental untuk bisa kembali ke performa terbaik.
Kali ini, redaksi Skor.id telah memilih sejumlah nama atlet putri Indonesia yang dinilai telah menunjukkan tekad kuat bangkit dari keterpurukan.
Lima atlet yang dipilih berasal dari sejumlah cabang olahraga dan punya kisah bangkit dari periode buruk yang berbeda-beda.
Artikel ini merupakan bagian dari laporan spesial Hari Olahraga Nasional (Haornas) 2021 yang membahas kiprah tokoh perempuan dalam olahraga Indonesia.
Berikut adalah lima atlet putri Indonesia yang berhasil bangkit dari keterpurukan:
Dea Salsabila Putri
Dea Salsabila Putri sukses mencuri perhatian usai menyabet tiga keping medali emas dari cabor modern pentathlon dalam ajang SEA Games Filipina 2019.
Dara asal Surabaya itu sukses jadi yang terbaik dalam nomor women's beach laser, women's beach triathle, dan mixed beach triathle relay (bersama Frada Saleh Harahap).
Menariknya, SEA Games Filipina 2019 merupakan momen debut Dea dalam pesta olahraga terbesar di Asia Tenggara tersebut.
Sebelum mengukir sejarah dengan meraih tiga keping medali emas dalam satu edisi SEA Games, Dea ternyata sempat mengalami beberapa momen keterpurukan.
Salah satunya bahkan terjadi hanya sebulan sebelum SEA Games Filipina 2019, tepatnya dalam Kejuaraan Modern Pentathlon yang dihelat di Wuhan, Cina.
Dea tampil buruk dalam ajang itu dan berada di bawah kompatriot maupun kontestan asal Thailand yang bakal dihadapinya di SEA Games. Hal itu jelas membuatnya terpuruk.
"Saya merasa kecewa. Saya sudah latihan tetapi hasilnya kok enggak maksimal, padahal ini sudah menjelang SEA Games," ujarnya saat dihubungi Skor.id pada Selasa (7/9/2021).
"Terus saya telepon orang tua, mereka memberi support dan berkata bahwa targetnya bukan di lomba ini tetapi di SEA Games. Masih ada waktu walau hanya satu bulan."
Dea lantas mulai berupaya bangkit, dimulai dari memperbaiki hubungan dengan Sang Pencipta. Ia kemudian meminta restu orang tua dan berkonsultasi dengan pelatih.
Dara 23 tahun itu pun menambah porsi latihan dan mengoptimalkan satu bulan masa persiapan jelang SEA Games 2019.
Upaya Dea pada akhirnya membuahkan hasil. Ia dengan luar biasa berhasil menyabet tiga medali emas SEA Games 2019 sekaligus.
"Sampai sekarang, saya masih antara percaya dan enggak percaya bisa dapat tiga medali emas. Akan tetapi, saya juga merasa bangga," ujarnya dengan antusias.
"Saya memang punya cita-cita pengin mengibarkan bendera Merah Putih dan menyanyikan Indonesia Raya di negara orang. Kemarin saat bisa tiga kali sekaligus, saya menangis."
Tiga medali emas SEA Games 2019 tak membuat Dea Salsabila Putri berpuas diri. Ia kini memasang target bisa tampil kompetitif di Asian Games 2022 dan ikut Olimpiade 2024.
Triyaningsih
Membahas soal atletik Indonesia, khususnya pada nomor lari jarak jauh putri, nama Triyaningsih dipastikan akan muncul.
Ya, Triyaningsih adalah pelari jarak jauh putri Indonesia yang saat ini memiliki empat rekor nasional, yakni dalam nomor lari 5.000 meter, 10.000 meter, half-marathon, dan maraton.
Triya, sapaan akrabnya, pun terus menekuni cabang yang telah digelutinya sejak 2002 itu dan belum ada kata berhenti.
Dalam menjalani kariernya yang hampir 20 tahun itu, Triya menceritakan kepada Skor.id apa tantangan terbesarnya sebagai seorang atlet putri.
"Tantangan terbesar, kendalanya pasti hal-hal yang berkaitan dengan hal kewanitaan. Untuk menghadapinya, saya tetap harus latihan, fokus, dan rileks," kata pelari berusia 33 tahun ini.
"Saat ini, saya dilatih kakak saya sendiri, Ruwiyati. Sebagai sesama perempuan, bisa berbagi hal lebih banyak dan paham semuanya," kata pelari yang tampil dalam Olimpiade 2012 ini.
Dilatih oleh sang kakak membuat pelari peraih 11 emas SEA Games ini mendapat dukungan penuh dari seorang pelatih, kakak, dan tentu saja sosok yang lebih dewasa.
Hal ini sangat diperlukan Triya yang menyatakan bahwa dia tengah menghadapi titik terendah dalam kariernya sebagai atlet.
"Saya gagal di SEA Games (2019) dan hanya finis pada posisi keempat. Untuk bangkit, saya perlu usaha keras," kata Triya.
Triya pun berharap bisa meraih hasil terbaik dalam PON XX Papua 2021 dan diharapkan bisa menjadi titik kebangkitannya.
"Usaha lagi untuk podium dan mengatur pola pikir tampil lepas. Harus bisa tanpa beban saat tanding karena apa pun yang terjadi adalah yang terbaik dan pasti ada hikmahnya."
Selalu mengambil hikmah dari segala kejadian menjadi cara Triya untuk bangkit dan tetap mengejar prestasi.
PON 2021 pun akan menjadi pekan olahraga nasional kelima bagi perempuan kelahiran Semarang, 15 Mei 1988 ini.
"Untuk Haornas kali ini, saya berharap olahraga bisa jadi gaya hidup masyarakat Indonesia dan juga berharap olahraga saat ini bisa lebih nyaman untuk semua gender," kata Triya.
Greysia Polii
Berkarier sebagai atlet bulu tangkis sejak usia dini menjadikan Greysia Polii sosok yang sarat pengalaman. Momen jatuh-bangun pun sudah kerap dirasakan perempuan 34 tahun itu.
Salah satu momen yang sempat membuat Greysia Polii terpuruk adalah diskualifikasi pada Olimpiade London 2012. Kala itu, ia masih berduet dengan Meiliana Jauhari.
Greysia Polii/Meiliana Jauhari didiskualifikasi bersama Wang Xiaoli/Yu Yang (Cina) serta dua wakil Korea Selatan, Jung Kyung-eun/Kim Ha-na dan Ha Jung-eun/Kim Min-jung.
BWF menghukum empat ganda putri di atas karena dinilai sudah mencederai sportivitas dengan sengaja bermain untuk kalah pada laga terakhir fase grup.
Sekitar sembilan tahun berselang usai skandal itu, Greysia Polii bangkit dengan menyabet medali emas Olimpiade Tokyo 2020. Kali ini, ia berpasangan dengan Apriyani Rahayu.
Dalam wawancara untu BWF, Greysia Polii menyebut peristiwa Olimpiade London 2012 telah memberi banyak pelajaran. Sejak saat itu, ia bertekad bangkit dari keterpurukan.
"Begitu banyak orang, bukan hanya saya, telah melalui kesulitan dan momen tak terlupakan. Olimpiade London mengajari saya untuk tidak pernah menyerah pada impian," katanya.
"Saya tidak hanya mengatakannya, saya ingin bersungguh-sungguh berjuang setiap hari dalam hidup saya. Bisa berada di sini (medali) hanya bonus dari Tuhan."
Selain peristiwa London 2012, Greysia juga mengalami sejumlah momen keterpurukan. Mulai dari cedera, kepergian kerabat terdekat, hingga tak punya pasangan bermain.
Momen yang disebut terakhir terjadi kala Nitya Krishinda Maheswari, yang jadi duet Greysia Polii saat meraih medali emas Asian Games 2014, diterpa cedera parah pada 2016.
Saat itu, Greysia sempat berpikir untuk pensiun tetapi pelatih dan keluarga meyakinkan untuk tetap bertahan. Pada pertengahan 2017, ia pun diduetkan bersama Apriyani Rahayu.
"Ini merupakan perjalanan panjang bagi saya. Dia (Apriyani) datang entah dari mana secara tiba-tiba pada 2017 ketika saya hendak pensiun usai Rio 2016," ujarnya.
Siapa sangka, kombinasi ganda putri yang berbeda usia 11 tahun ini langsung tampil moncer pada tahun pertama dipasangkan dengan menjuarai Korea Open dan Thailand Open.
Sejak saat itu, Greysia/Apriyani konsisten menempatkan diri dalam persaingan papan atas ganda putri dunia hingga akhirnya meraih medali emas Olimpiade Tokyo 2020.
Lindswell Kwok
Berbicara soal prestasi cabang olahraga wushu di Indonesia, nama Lindswell Kwok tentu tak bisa dilewatkan.
Perempuan yang bakal genap berusia 30 tahun pada 24 September 2021 itu bahkan mendapat julukan sebagai Ratu Wushu Indonesia.
Julukan tersebut memang layak disandang oleh Lindswell Kwok berkat prestasi yang pernah diukir selama masih aktif sebagai atlet wushu.
Lindswell pernah menyabet medali emas dari berbagai ajang, mulai dari SEA Games (lima keping), Islamic Solidarity Games (dua keping), dan Kejuaraan Dunia (lima keping).
Sedangkan dalam ajang Asian Games, istri dari Achmad Hulaefi ini tercatat "hanya" pernah meraih satu medali emas.
Akan tetapi, satu keping medali emas itu sangat berarti bagi Lindswell karena diraih setelah melewati salah suatu periode keterpurukan dalam kariernya.
Pasalnya, Lindswell mengaku sempat berniat untuk pensiun pada 2015. Cedera yang dimiliki di kedua lutut menjadi salah satu penyebab.
Niat itu akhirnya diurungkan usai Lindswell mendapat kepercayaan untuk tampil dalam Asian Games 2018 yang dihelat di Indonesia. Ia diharapkan mampu meraih medali emas.
Sosok asal Binjai ini pun kembali menjalani program latihan meski tak bisa semaksimal dulu karena cedera. Meski demikian, hal itu tak menghalangi semangat juangnya.
Lindswell Kwok yang turun pada nomor Taijiquan/Taijijian akhirnya sukses menyabet medali emas setelah membukukan nilai total 19,50.
Asian Games 2018 pun menjadi penutup manis dalam karier Lindswell Kwok yang memilih pensiun setelah pesta olahraga itu tuntas digelar.
Pada sisi lain, medali emas itu juga menghadirkan momen kebangkitan bagi Lindswell yang sebelumnya meraih hasil buruk pada Asian Games Guangzhou 2010.
Lindswell Kwok yang masih 19 tahun pada saat itu harus pulang tanpa medali meski sempat memimpin perolehan poin. Rasa gugup disebut sangat memengaruhi performanya.
Ia pun menyebut Asian Games 2010 sebagai kejuaraan yang paling memilukan. Namun, ia bangkit dengan medali perak pada Asian Games 2014 dan emas pada Asian Games 2018.
Sri Wahyuni Agustiani
Angkat besi Indonesia memiliki prestasi yang sangat luar biasa dalam Olimpiade. Para lifter putri Indonesia juga menjadi penyumbang medali yang cukup banyak.
Mulai dari Lisa Rumbewas, hingga Sri Wahyuni Agustiani. Khusus nama terakhir, perempuan mungil berpembawaan ceria ini adalah peraih perak Olimpiade Rio 2016 kelas 48 kg putri.
Dalam perjalanan kariernya, Sri yang merupakan lifter kelahiran 13 Agustus 1994 ini memiliki banyak sekali prestasi luar biasa.
Juara dunia level junior pada 2014, juara SEA Games, hingga meraih emas dalam Islamic Solidarity Games.
Namun, perjalanan karier Sri bukan tanpa badai. Pada Asian Games 2018 saat Indonesia menjadi tuan rumah, Sri harus puas meraih perak.
Padahal perempuan dengan tinggi 155 cm ini ditargetkan mendapatkan medali emas pada saat itu.
Kala itu, Sri mengalami kegagalan mencapai target dan tentu saja merasakan kesedihan yang luar biasa.
Selanjutnya, Sri memilih rehat sejenak dari angkat besi pada 2019 untuk menikah dan memiliki anak.
Pada pertengahan 2020, Skor.id sempat berbincang-bincang dengan Sri. Ibu satu anak ini rupanya sudah siap untuk kembali ke angkat besi.
"Saya ingin memperbaiki angkatan dulu," kata Sri yang memiliki putri pada September 2019 ini.
Sang putri pun menjadi salah satu alasan untuk bisa kembali bangkit dari kegagalan dan comeback.
Menjadi ibu dan tetap berprestasi serta bisa bangkit dari kegagalan mencapai target dalam Asian Games 2018 akan segera dibuktikan Sri dalam waktu dekat pada turnamen nasional.
Yang pasti, kemampuannya untuk bisa bangkit dan keluar dari efek gagal mencapai target sangat layak diapreasi. Belum lagi, dia harus menurunkan berat badan setelah melahirkan.
"Untuk menurunkan atau menaikkan berat badan, sangat mudah karena hal itu sudah biasa dilakukan oleh para lifter," kata Sri kala itu.
View this post on Instagram
Artikel Spesial Haornas 2021 Lainnya:
Spesial Haornas 2021: 5 Atlet Putri Disabilitas yang Inspiratif
Spesial Haornas 2021: 5 Legenda Atlet Putri Indonesia di Pentas Olahraga Dunia