- Italia menelan kekalahan menyakitkan di final Piala Dunia 1994.
- Gli Azurri disingkirkan Brasil di adu penalti setelah Roberto gagal menjadi eksekutor terakhir.
- Hingga saat ini, kegagalan tersebut masih menghantui Baggio.
SKOR.id - Tanggal 17 Juli 1994 mungkin menjadi hari yang sulit dilupakan publik Italia, terutama pemain legendaris mereka, Roberto Baggio.
Hari itu, Italia merasakan salah satu tragedi yang hingga saat ini masih terasa menyakitkan. Mereka kehilangan gelar Piala Dunia setelah kalah adu penalti dari Brasil.
Dan Baggio menjadi aktor kegagalan Italia setelah tampil luar biasa di sepanjang turnamen akbar tersebut. Dia secara mengejutkan gagal melakukan eksekusi penalti yang merupakan salah satu kemampuan terbaiknya.
Hingga sekarang, kegagalan tersebut bahkan diakui sang pemain yang terkenal dengan rambut kuncir kuda itu masih terus menghantui hidupnya.
"Saya tidak pernah melepaskan penalti di atas mistar dalam hidup saya, hanya sekali itu. Berkali-kali sebelum tidur, momen itu masih muncul di pikiran saya," kata Baggio dalam wawancaranya pada 2019.
Baggio memang dalam puncak kariernya saat itu. Dia datang sebagai pemenang Ballon d'Or dan Pemain Terbaik FIFA di tahun sebelumnya.
Saat ditunjuk menjadi algojo penalti terakhir Italia, Baggio melakukan strategi sama seperti saat melawan Nigeria, kala ia mencetak gol penentu kemenangan dari titik putih.
Baggio berlari menjauh ke belakang, sekitar 16 meter di luar garis, memperlambat langkahnya saat menembak lalu melepaskan tembakan ke kanan gawang, sisi favoritnya.
Sepanjang kariernya, Baggio tidak pernah melepaskan bola tinggi saat adu penalti. Mereka selalu ditendang rendah, terkendali, dan terukur. Namun, kali ini bolanya terlalu tinggi.
Saat melayang di atas mistar gawang kiper Brasil, Claudio Taffarel, Roberto Baggio menatap lurus ke arah sasaran yang luput. Dia meletakkan tangan di pinggul dan menundukkan kepala. Tidak percaya dengan apa yang terjadi.
Selama bertahun-tahun setelahnya, kegagalan Baggio mengeksekusi penalti masih menjadi pembahasan publik Italia. Mereka masih tidak percaya dengan yang dialami sang pemain.
Sepak Bola Italia di Puncak
Italia datang ke PD 1994 di Amerika Serikat dengan kepercayaan diri tinggi. Saat itu, sepak bola mereka sedang berada di puncaknya. Tiga pemain termahal di dunia - Gianluigi Lentini, Jean-Pierre Papin dan Gianluca Vialli - semuanya bermain di Serie A.
Pada bulan Mei tahun itu, Milan asuhan Fabio Capello memenangkan Scudetto ketiga berturut-turut. Pada bulan yang sama, di Stadion Olimpiade di Athena, Milan menghancurkan Barcelona asuhan Johan Cruyff 4-0 di final Liga Champions.
Tulang punggung tim Milan itu juga menjadi tulang punggung timnas Italia. Franco Baresi, Paolo Maldini, Roberto Donadoni, Demetrio Albertini, dan Daniele Massaro semuanya ikut ke Piala Dunia 1994.
Italia juga membawa Beppe Signori, bomber tajam Lazio, top score dua musim beruntun Liga Italia. Pun ada Gianfranco Zola yang tampil impresif di Napoli.
Namun, keduanya harus puas menjadi pilihan kedua Sacchi karena sang pelatih sudah menunjuk Baggio sebagai penyerang utamanya.
Kendati dihuni para pemain terbaik, Gli Azzurri asuhan Arrigo Sacchi mengawali turnamen dengan lambat. Mereka kalah 0-1 di pertandingan pertama saat melawan Republik Irlandia.
Italia lalu kembali ke jalur kemenangan setelah mengalahkan Norwegia 1-0 dan kemudian bermain imbang melawan Meksiko.
Keempat tim menyelesaikan babak penyisihan grup dengan empat poin, tetapi Meksiko, Irlandia, dan Italia yang berada di urutan ketiga melaju ke babak berikutnya karena statistik gol yang lebih baik.
Di babak sistem gugur itulah Italia menemukan alurnya, sebagian besar berkat penampilan Baggio.
Di babak 16 besar pertandingan melawan Nigeria, pemain berusia 27 tahun itu mencetak gol penyeimbang di akhir pertandingan. Dia kemudian juga mencetak gol kemenangan dari titik penalti di babak tambahan.
Baggio terus tampil menawan di perempat final, mencetak gol kemenangan di menit ke-88 saat Italia mengalahkan Spanyol 2-1 untuk melaju ke semifinal.
Di semifinal itulah Baggio menunjukkan mengapa dia menjadi salah satu pemain terbaik saat itu. Bermain melawan Bulgaria yang diperkuat Hristo Stoichkov, Baggio mencetak dua gol untuk mengalahkan mereka.
Gol pertama Baggio bahkan sangat berkelas, memanfaatkan lemparan ke dalam, lolos dari jebakan offside dan melepaskan tembakan melengkung yang indah.
Pada akhirnya, penampilan Baggio di fase-fase krusial tersebut yang dianggap banyak kalangan membawa Italia lolos ke final Piala Dunia 1994.
Mimpi Buruk Baggio Dimulai
Namun, 20 menit jelang laga melawan Bulgaria berakhir, Baggio dipaksa keluar karena cedera. Hamstringnya terlihat bermasalah.
Baggio sangat ingin berada di final tapi ia ragu bisa pulih tepat waktu. Dia hanya punya waktu empat hari untuk memulihkan kondisinya.
Pada hari final menghadapi Brasil, ratusan umat Buddha dikabarkan berkumpul di kuil Bangladesh dan berdoa agar Baggio sehat.
Baggio memang telah membayar renovasi kuil setelah beberapa biksu lokal pergi ke Italia untuk menemuinya.
Doa para biksu itu ternyata terjawab. Baggio akhirnya tetap bermain di final tetapi dengan bandage besar di pahanya.
Di laga pamungkas yang berlangsung di Rose Bowl di Pasadena, California, Italia menantang tim fenomenal, Brasil.
Brasil kala itu diperkuat pemain top seperti Romario, Bebeto, dan Dunga. Pertandingan berakhir tanpa gol setelah perpanjangan waktu, meski kedua tim menciptakan beberapa peluang.
Laga pun harus ditentukan lewat tos-tosan. Italia tertinggal 3-2 setelah Franco Baresi dan Daniele Massaro gagal menceploskan bola ke gawang Taffarel.
Namun, situasi itulah yang membuat Baggio tertekan sebagai penendang terakhir penalti. Dia kehilangan ketenangannya dan melesakkan bola tinggi di atas mistar gawang.
Saat para pemain dan fans Brasil bersuka cita merayakan kemenangan mereka, Baggio terpaku di tempatnya, menundukkan kepala dengan tidak percaya, ia meninggalkan lapangan sambil menangis.
Baggio hancur. Setelah pertandingan, saat rekan satu timnya pergi makan, dia mengunci diri di kamarnya.
Karier Baggio Terpuruk
Sejak saat itu, antara Juli 1994 dan Juni 1998, Roberto Baggio hanya bermain empat kali untuk Gli Azzurri.
Sacchi tidak pernah memilihnya untuk Euro 1996 dan Italia gagal. Karier klub Baggio juga seolah terhenti. Dia menghabiskan satu musim lagi dengan Juventus sebelum Marcelo Lippi menjualnya ke Milan.
Roberto Baggio mengalami masa sulit di San Siro dan ketika Sacchi tiba di sana sebagai manajer, dia benar-benar membeku.
Di usia 30 tahun, Baggio memutuskan memperkuat klub medioker Bologna dan Brescia dan ternyata tampil luar biasa. Tapi dia tidak pernah berhasil dengan tim-tim besar.
Baggio pensiun pada tahun 2004, dalam usia 37, dan tidak melakukan banyak hal sejak itu.
Lonceng Kematian Sepak Bola Italia
Sementara, kegagalan di Piala Dunia 1994 seolah menjadi lonceng kematian untuk periode kejayaan sepak bola Italia.
Delapan tahun berikutnya negara itu hanya akan memenangkan satu gelar Liga Champions.
Sepanjang tahun sembilan puluhan, liga top Eropa lainnya mengeluarkan banyak uang dan memecahkan rekor transfer dengan sangat cepat.
Spanyol menjadi tujuan para pemain terbaik dunia. Inggris mengembangkan liga yang bisa dibilang paling menarik di benua itu.
Liga Jerman pun kembali kompetitif, tapi Italia justru tertinggal hingga akhirnya kini mulai menggeliat menyusul kedatangan Cristiano Ronaldo ke Juventus.
Ikuti juga Instagram, Facebook, dan Twitter dari Skor Indonesia.
Sepak Bola dan Politik: 3 Eks-pemain yang Jadi Pemimpin Negara https://t.co/2j1CiDfDMZ— SKOR Indonesia (@skorindonesia) October 9, 2020
Berita Timnas Italia Lainnya:
3 Catatan Laga Italia vs Moldova: Pembuktian Roberto Mancini dan Pemain Sassuolo
Pelatih Timnas Italia: Sepak Bola Sama Pentingnya dengan Sekolah