- Citius, Altius, dan Fortius adalah frasa latin yang berarti "lebih cepat, lebih tinggi, dan lebih kuat."
- Olimpiade memperkenalkan moto itu pertama kali pada Olimpiade 1924 di Paris, Prancis.
- Citius, Altius, dan Fortius bukan sekadar moto, tapi juga filosofi.
SKOR.id - Olimpiade punya moto abadi yang merupakan trio frasa latin; Citius, Altius, dan Fortius. Artinya adalah "lebih cepat, lebih tinggi, dan lebih kuat."
Citius, Altius, dan Fortius adalah sebuah inspirasi dan motivasi. Olimpiade menggunakannya sebagai panggilan (kepada para atlet) untuk berupaya menjadi yang terbaik.
Semboyan Citius, Altius, dan Fortius diajukan oleh Pierre de Coubertin menjelang pembentukan Komite Olimpiade Internasional (IOC) pada 1894.
Namun, tiga kata itu bukan hasil pemikiran Coubertin. Aristokrat Prancis ini mengutipnya dari kawannya, Henri Didon, seorang pendeta asal Dominika yang antusias terhadap atletik.
"Tiga kata itu menggambarkan kecantikan moral. Keindahan olahraga bukan cuma soal fisik," ujar Coubertin, ahli sejarah dan seorang guru, saat upacara pembentukan IOC pada 1894.
Semboyan itu kemudian diperkenalkan pertama kali dalam Olimpiade Paris 1924 di Prancis. Coubertin kemudian melengkapi Citius, Altius, dan Fortius dengan sebuah pernyataan.
"Yang paling penting dalam olimpiade adalah bukan untuk menang, tapi ambil bagian. Seperti juga dalam kehidupan bahwa intinya bukan kejayaan tapi perjuangan," kata Coubertin yang juga disebut sebagai Bapak Olimpiade.
"Jadi yang terpenting adalah bukan untuk menang, tapi bertanding dengan baik," Coubertin menambahkan.
Uniknya, pernyataan itu juga tidak murni buatan Coubertin. Dia terinspirasi oleh khotbah Pendeta Ethelbert Talbot dalam sambutannya dalam Olimpiade London 1908 di Inggris.
Jadi; Citius, Altius, dan Fortius bukanlah semboyan untuk menjadi juara. Gelar juara hanya sebuah efek setelah atlet berjuang untuk lebih cepat, lebih tinggi, dan lebih kuat.
Ini pula yang disampaikan secara tersirat oleh Henri Didon di sebuah kelas yang dihadiri oleh Coubertin pada 7 Maret 1891. Didon menegaskan nilai olahraga adalah pengembangan diri dan disiplin.
Ketika menyatakan hal itulah Didon menyebut "Citius, Altius, Fortius." Coubertin menyukainya dan mengadopsinya untuk olimpiade.
Apapun ide Coubertin untuk meramu pemikiran Didon dan Talbot sungguh berpengaruh.
Apalagi Coubertin menggunakan Citius, Altius, dan Fortius untuk membangkitkan olimpiade klasik serta menjadikannya festival olahraga internasional.
Upaya Coubertin pun terbayarkan oleh penyelenggaraan olimpiade modern edisi pertama di Athena, Yunani, pada 1896 --dua tahun setelah IOC terbentuk.
Perwujudan Citius, Altius, dan Fortius pun makin luas dalam edisi kedua olimpiade musim panas di Paris pada 1900.
Sebab di sana untuk pertama kalinya ada olympian kulit hitam, pemain rugby Prancis keturunan Haiti bernama Constantin Henriquez de Zubiera, dan para olympian putri yang bermain dalam cabang olahraga tenis, golf, dan layar.
Citius, Altius, dan Fortius kemudian terwujud pula dalam rekor kecepatan dan kekuatan yang terus pecah. Meski begitu, statistik menunjukkan bahwa tren penajaman rekor menunjukkan kelambatan.
Misalnya dalam lomba lari jarak menengah 800 meter yang selisih antarrekor tercepatnya terus menurun 0,82 detik sejak 1981. Padahal 26 tahun sebelum itu, jarak antarrekor masih empat detik.
Semangat Citius, Altius, dan Fortius tentu akan menghadapi keterbatasan kemampuan manusia. Apalagi menurut kalkulasi Mark Denny dari Universitas Standford, kebanyakan manusia maksimal cuma menggunakan 3 persen potensi terbaiknya.
Namun, seperti disebutkan Coubertin, filosofi Citius, Altius, dan Fortius tidak semata-mata untuk mengejar rekor atau juara. Melainkan adalah usaha dan perjuangan.
Ikuti juga Instagram, Facebook, YouTube dan Twitter dari Skor Indonesia.
Tim Catur Putri Indonesia Sukses Amankan Tiket Delapan Besar Asian Online Nations Chess Cup https://t.co/QiIUbtrNTK— SKOR Indonesia (@skorindonesia) October 19, 2020
Baca Fitur Lainnya:
Senin Adrenalin: Mengenal High Diving
Selasa Bahasa: Mengapa Sepak Bola Disebut Football dan Soccer