SKOR.id - Serangan bertubi-tubi dilancarkan Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto. Tercatat, 15 kali ganda putra nomor satu Indonesia ini mencecar pasangan Korea Selatan Kim Won-ho/Seo Seung-jae dalam pengujung poin kritis laga semifinal Indonesia Open 2025.
Namun, sebuah smash dari Rian yang tak berhasil menyeberang net akhirnya menuntaskan perjuangan satu-satunya wakil tersisa dari Pelatnas PBSI Cipayung dalam waktu 79 menit.
Fajar/Rian pun tertunduk. Dukungan ribuan penonton di Istora Senayan, Jakarta pada Sabtu, 7 Juni 2025, harus berakhir dengan kekecewaan. Duet peraih medali perak Asian Games 2018 ini kalah 18-21, 19-21 dan 21-23.
Esoknya, pasangan nonpelatnas Sabar Karyaman Gutama/Mohamad Reza Pahlevi Isfahani juga gagal menjadi pemenang. Pada partai final, Sabar/Reza juga harus mengakui lawan yang menundukkan kompatriot mereka sehari sebelumnya.
Indonesia tanpa gelar. Ini kali keempat secara beruntun wakil tuan rumah tak naik podium tertinggi di Indonesia Open.
Ini bukan satu-satunya hasil buruk yang didapat para pemain Indonesia di sejumlah turnamen bulu tangkis tahun ini. Enam bulan sudah berjalan, Indonesia baru meraih dua gelar juara level Super 300 BWF. Dua gelar itu diraih ganda putri Lanny Tria Mayasari/Siti Fadia Silva Ramadhanti di Thailand Masters (28 Januari - 2 Februari) dan ganda campuran di Taipei Open (6-11 Mei) oleh Jafar Hidayatullah/Felisha Alberta Pasaribu.
Dalam sejumlah turnamen di atas Super 300 yang sudah berlangsung tahun ini, tak ada gelar yang bisa dibawa pulang ke Tanah Air. Tak satu pun pemain Indonesia yang juara dalam tiga dari empat turnamen BWF level paling tinggi Super 1000, yaitu Malaysia Open, All England, dan Indonesia Open.
Hanya tersisa China Open yang akan digelar 22-27 Juli. Namun biasanya, para pebulu tangkis tuan rumah tak membiarkan para tamunya berjaya di kandang mereka. Ambil contoh tahun lalu, China hanya gagal juara di ganda putra. Gelar itu jatuh ke ganda putra Malaysia Goh Sze Fei/Nur Izzuddin.
Namun, empat nomor lainnya dimenangkan oleh para pebulu tangkis China. Jadi, berharap menang di China Open akhir bulan ini tampak seperti panggang jauh dari api.
Tahun lalu, kita masih mendapat gelar tunggal putra dan ganda putra All England 2024, meskipun babak belur di Malaysia, Indonesia, dan China Open. Setidaknya, masih ada kebanggaan bagi para penggemar fanatik bulu tangkis, biasa dipanggil BL atau badminton lovers, Tanah Air. Tahun ini, hanya keajaiban yang bisa membuat gelar itu datang.
Pada turnamen di bawahnya, yakni Super 750, kita juga gagal. Para pebulu tangkis kita tak mampu menaklukkan India Open dan Singapore Open. Setali tiga uang dengan turnamen bulu tangkis Super 500, yakni Indonesia Masters, Thailand Open, Malaysia Masters, di mana kita juga gagal total.
Ketua Umum PP PBSI Muhammad Fadil Imran tak menutup mata dengan torehan buruk ini. Dia menyebut kondisi bulu tangkis Indonesia saat ini sedang tak baik-baik saja, alias lampu kuning.
Tak heran kapabilitas Pelatnas PBSI yang terletak di Cipayung, Jakarta Timur untuk memproduksi pebulu tangkis kelas dunia seperti masa lalu jadi sorotan. Suara-suara sumbang datang silih berganti. Ada yang menyoroti pengurus yang dinilai tak cakap, lainnya membicarakan kemampuan pelatih. Tak sedikit yang menuding atlet.
Pengamat bulu tangkis Daryadi menilai kesuraman prestasi yang dialami Indonesia saat ini sudah diperkirakannya sejak tiga tahun lalu. Dalam beberapa kesempatan, ia juga sudah mengingatkan pengurus PBSI untuk cepat berbenah. Daryadi mengidentifikasi sejumlah akar penyebabnya.
"Tak ada pemain pelapis bagi pemain senior. Pemain muda tak banyak mendapatkan jam terbang mengikuti turnamen luar negeri. Ada juga ego klub yang tinggi meskipun sudah berada dalam Pelatnas. Pelatih dan pemain didominasi klub tertentu," kata Daryadi menjelaskan sejumlah permasalahan pada masa lalu yang dampak buruknya dirasakan sekarang.
Kabar baiknya, ia sudah melihat adanya perubahan yang dibuat kepengurusan baru PBSI. Menurut dia, para pelatih yang punya rekam jejak bagus kembali ke Cipayung. Juga, tak ada lagi anak emas dari klub tertentu.
Model pelatnas masih relevan
Kegagalan demi kegagalan membuat efektivitas pelatnas sepanjang tahun yang digelar oleh PBSI mulai dipertanyakan. Namun, menggugat model pelatnas sekarang ini tampaknya bukan hal bijak. Sebab, China dan Malaysia juga menggunakan format pelatnas sentralisasi sepanjang tahun yang sama seperti kita.
India memakai pelatnas desentralisasi yang terbagi ke beberapa wilayah. Ada juga negara yang pelatnasnya tak bergulir sepanjang tahun seperti Korea Selatan. Saat pelatnas tak berjalan, pemain kembali berlatih ke klubnya. Model serupa Korea digunakan Jepang, yang menjadikan klub sebagai ujung tombak pembinaan atlet.
Sisanya, ada pemain dunia yang tidak bergantung kepada negaranya untuk meraih prestasi. Mereka menyewa pelatih dan tempat berlatih sendiri karena didukung sponsor besar. Untuk kategori ini, salah satunya adalah Viktor Axelsen.
Ronny Agustinus mantan pemain dan pelatih di Pelatnas Cipayung berbagi cerita soal model pembinaan atlet ini. Rony menilai, program pengembangan pemain secara garis besar kurang lebih sama pada hampir semua negara yang menerapkan sistem pelatnas.
"Kualitas dari pemainnya itu sendiri yang mungkin membuat (hasil) beberapa negara berbeda," kata sosok yang menjadi pelatih tunggal putri Korea Selatan ini.
Ronny mengaku beruntung, saat ini Korea Selatan punya pemain dengan skill dan talenta mumpuni. Pemain terbaik yang ditanganinya saat ini adalah An Se-young, tunggal nomor satu dunia.
"Para pemain Korea juga punya nasionalisme tinggi, semangat juangnya tangguh. Kalau secara program, saya rasa semua sama," ujarnya.
Ronny menjelaskan, pelatnas bulu tangkis di Korea Selatan bercampur dengan pelatnas untuk cabang olahraga lain. Namun justru karena bergabung dengan cabang olahraga lain, fasilitas yang dimiliki pelatnas bulu tangkis Korea Selatan menjadi sangat mumpuni. Semua fasilitas sport science tersedia. Namun, ia tak bisa mengungkapkannya dengan detail karena dilarang dalam kontraknya sebagai pelatih.
Mengenai perekrutan pemain, ia menilai Korea Selatan mirip dengan Indonesia. Ada semacam sirkuit nasional ataupun kejuaraan nasional untuk mencari bibit-bibit baru.
"Bila program pelatnas libur, mereka kembali ke klub, tetapi ada koordinasi dengan pelatih nasional seperti apa kondisi atlet selama di klub. Ada laporan ke kami selaku pelatih nasional," ungkapnya.
Para atlet yang bertanding dalam suatu turnamen selama masa pelatnas didukung tim pelatih yang komplet. Selain pelatih teknik, ada pelatih fisik, dan fisioterapis. Uniknya, tak ada psikolog.
"Setiap negara mungkin beda-beda tapi kalau kami meminta kehadiran psikolog pun mungkin disediakan di tempat Pelatnas kami di Korea, tapi tidak masuk dalam keberangkatan tim," ujar Ronny.
Ronny juga pernah melatih di Malaysia pada periode 2013-2019. Dia menjelaskan Pelatnas Asosiasi Bulu Tangkis Malaysia (BAM) kurang lebih sama dengan Indonesia, yang bergulir sepanjang tahun. Fasilitasnya juga hampir sama.
"Yang berbeda adalah budayanya, punya ciri khas masing-masing. Ini sangat berpengaruh terhadap mental pemain dan juga prestasi atlet," ungkapnya.
Fasilitas lumayan, tapi perlu ditambah
Irwansyah, mantan pelatih tunggal putra di Pelatnas Cipayung yang kini melatih India, menyampaikan perbedaan dalam pelatnas negara-negara yang dilatihnya. Ia sebelumnya juga pernah melatih di Siprus, Irlandia, dan Inggris.
Di India, pelatnas bulu tangkis terbagi ke beberapa tempat, sementara di Eropa juga mirip. Persamaannya adalah pengembangan atlet benar-benar menggunakan sport science. Namun menurut dia, Indonesia juga sudah mulai mengembangkan ini.
"Saya sekarang melatih di Prakash Padukone Akademi seperti klub kalau di Indonesia. Fasilitas memang bagus tetapi tidak hanya bulu tangkis saja, ada sepak bola, renang, dan kriket. Jadi memang banyak fasilitasnya dan sudah menggunakan sport science," ungkapnya.
Ia mencontohkan adanya ruangan dengan temperatur tertentu untuk atlet. Di Eropa, kata dia, juga hampir sama fasilitas latihannya, sudah menerapkan teknologi olahraga yang maju.
"Yang membedakan adalah dalam mencari pemain berbakat, kami harus lebih keras. Sebab, bakatnya tak sebanyak di Indonesia," ujarnya.
Irwansyah menilai, fasilitas Pelatnas Cipayung sudah cukup komplet. Menurut dia, usaha Ketua Umum PP PBSI Fadil Imran menyediakan sejumlah penambahan fasilitas untuk para atlet penghuninya bisa terlihat.
"Ada kolam air hangat dan air dingin juga. Pak Fadil sudah buat itu semua kemarin, itu sudah termasuk lengkap. Namun memang mungkin kalau yang saya lihat gym-nya harus diperbesar lagi karena pemain Indonesia (di Pelatnas) kan banyak," kata pelatih asal Sumatera Utara ini.
Hendra Setiawan, legenda bulu tangkis Indonesia yang menghuni Cipayung sejak 2002, juga menyampaikan penilaian serupa terhadap pelatnas bulu tangkis di Indonesia. Menurut dia, fasilitas di Cipayung semakin komplet belakangan ini. Bukan hanya infrastruktur, melainkan juga tenaga pendukungnya.
"Jadi kalau dulu mungkin sudah ada fisioterapis, tapi jumlahnya nggak sebanyak sekarang ini. Sekarang alatnya juga sudah semakin komplet, terus dari segi fasilitas pun sudah makin bagus. Kalau dulu gym-nya juga asal ya, istilahnya alat-alatnya masih kuno lah, sekarang sudah banyak," kata Hendra yang kini menjadi pelatih Sabar/Reza selepas memutuskan gantung raket pada awal tahun ini.
Hanya, kata Hendra, dibandingkan dengan negara lain, soal penerapan sport science ini, Pelatnas Cipayung masih tertinggal. Ia mengambil contoh Jepang yang punya fasilitas dan program mumpuni berdasarkan sport science mutakhir.
"Asrama, makannya, sudah benar-benar untuk atlet. Jadi, gizinya itu benar-benar diperhatikan," kata Hendra memberi contoh sederhana.
Untuk model Pelatnas Cipayung seperti saat ini, Hendra mengusulkan para pemain top yang masuk 5 atau 10 besar dunia, bisa mendapatkan prioritas. Misalnya, satu pemain didampingi satu fisioterapis, masseur, dan satu pelatih fisik. Menurut dia, perlakuan ini juga bisa memotivasi pemain. Jika ingin diprioritaskan, mereka harus menunjukkan kerja kerasnya dengan prestasi.
Mengenai sulitnya pemain meraih gelar juara belakangan ini, Hendra tak semata menyoroti aspek teknik. Menurut dia, faktor nonteknis juga tak kalah penting untuk mengantarkan pemain berprestasi.
"Mungkin lebih diperhatikan untuk kenyamanan atlet. Kadang mereka itu butuh curhat. Jadi ya mungkin ke mana lagi kalau bukan ke pelatih karena mereka yang paling dekat (dengan pemain)," kata Hendra.
Ia tak menafikan bisa ada muncul konflik antara pemain dan pelatih di selama bergabung di Cipayung. Menurut dia, kunci penyelesaiannya adalah saling berkomunikasi, kemudian mengambil jalan tengah untuk hasil terbaik.
Hendra tak bisa mengomentari soal rotasi pelatih yang berlangsung cepat di Pelatnas Cipayung pada kepengurusan baru ini. Sebab, selama menjadi penghuni Cipayung, Hendra mengaku jarang merasakan rotasi pelatih.
"Rotasi pelatih kebetulan waktu saya itu jarang banget jadi saya tak bisa komen banyak. Kalau ada rotasi pelatih, ya harus saling nyocokin antara pelatih dan pemain," ujarnya.