SKOR.id - Ketika menyaksikan para atlet yang bertanding di Olimpiade, apa yang muncul di benak Skorer? Apakah bertanya seperti apa latihan mereka? Seperti apa kekuatan pukulan atau kekuatan otot inti mereka? Atau apa yang sedang mereka pikirkan? Atau mungkin muncul sebuah pertanyaan, mengapa harus ke Olimpiade?
Untuk pertanyaan terakhir, maka artikel ini sangat tepat untuk Skorer. Mengapa atlet harus ke Olimpiade? Mengapa Olimpiade penting untuk terus digelar? Dua pertanyaan inilah yang akan dibahas dalam Skor Special kali ini. (Skor Special adalah artikel yang akan memberikan perspektif berbeda setelah Skorer membacanya dan artikel ini bisa ditemukan dengan mencari #Skor Special atau masuk ke navigasi Skor Special pada homepage Skor.id.)
Untuk jawaban sederhana dari kedua pertanyaan penting di atas adalah Olimpiade merupakan ajang tertinggi bagi para atlet untuk menunjukkan kemampuannya dan bersaing dengan atlet-atlet dari negara lain. Tentu saja yang lolos ke Olimpiade adalah para atlet elite. Jadi, Olimpiade adalah puncak dari persaingan ini.
Jika ditelaah lebih jauh lagi, maka terdapat empat hal yang menjadi alasan mengapa Olimpiade itu penting untuk terus digelar dan mengapa atlet harus ke Olimpiade. Berikut penjelasannya:
1. Sejarah
Olimpiade adalah salah satu kompetisi olahraga tertua di dunia. Pertama kali digelar di Athena, Yunani, pada tahun 1896. Terhitung 128 tahun yang lalu ajang multievent ini telah digelar dan masih bertahan hingga saat ini.
Awalnya, ajang olahraga ini untuk menghormati Zeus, dewa penguasa Olimpus, pada 8-4 SM dan pesertanya adalah para "jagoan" dari kota-kota kuni Yunani. Cabang yang digelar pun atletik, gulat (pertarungan jarak dekat), dan lomba kereta.
Para juaranya pun dianggap sebagai idola Yunani kala itu. Bahkan, mereka dibuatkan puisi dan patung. Banyak sekali ditemukan catatan dan artefak dari para juara ini dalam mitologi dan legenda Yunani.
Kemudian pada 1894, Baron Pierre de Coubertin membentuk IOC (Komite Olimpiade Internasional) yang akhirnya menjadi salah satu cikal bakal dibuatnya Olimpiade modern pertama di Athena pada 1896.
Sejak saat itu, Olimpiade modern terus digelar hingga saat ini dan para peraih emas juga menjadi idola di negara masing-masing serta beberapa meraih ketenaran internasional.
2. Kompetisi Level Dunia
Jika ada yang bertanya, apa bedanya Olimpiade dan Kejuaraan Dunia? Maka secara umum, Kejuaraan Dunia adalah single event yang hanya menggelar satu cabang. Misalnya, Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis atau Kejuaraan Dunia Surfing.
Olimpiade adalah ajang multievent yang menggelar banyak cabang dalam satu waktu penyelenggaraan.
Soal gengsi, keduanya memiliki gengsi yang berbeda. Olimpiade merupakan ajang yang sangat bergengsi karena multievent ini membatasi cabang-cabang olahraga yang bisa masuk dalam penyelenggaraan.
Karate, surfing, dan skateboard adalah beberapa cabang olahraga yang baru masuk dalam Olimpiade.
Dengan adanya cabang-cabang Olimpiade ini maka level kompetisi akan semakin ketat. Hanya yang terbaik yang bisa bermain di Olimpiade. Belum lagi, kualifikasi yang sangat ketat dilakukan oleh setiap cabang menuju pelaksanaan Olimpiade.
Memang selalu ada wildcard menuju Olimpiade. Namun, meraih tiket ke Olimpiade melalui kualifikasi dipastikan sudah menunjukkan level dan kelas atlet atau tim tersebut sebelum ajang ini digelar.
Selain itu, atlet yang bertanding di Olimpiade dipastikan adalah atlet elite.
Ya, dari 8,1 miliar penduduk dunia, hanya 10.500 atlet yang bisa ke Olimpiade Paris 2024 yang mengikuti 329 event dari 32 cabang olahraga yang digelar pada 26 Juli hingga 11 Agustus.
Dari jumlah penduduk dunia tersebut hanya sekitar 0,0000013 persen penduduk dunia yang bisa ke Olimpiade. Dengan kata lain, para juara itu hanya orang-orang yang sangat luar biasa, disiplin, dan fokus untuk mengejar mimpinya meraih emas Olimpiade.
Menjadi juara dunia adalah pencapaian dan menjadi peraih emas atau medali Olimpiade adalah impian para atlet.
Selain menunjukkan kualitasnya, naik podium dalam salah satu ajang tertua di dunia sekaligus membuat para peraih medali ini merasa sejajar dengan para idola Yunani kuno yang kisahnya diabadikan di dalam puisi atau patung yang ada di Negeri Para Dewa itu.
3. Warisan dan Inspirasi
Jika mengacu pada jumlah penduduk di atas, maka jumlah penduduk suatu negara tak pernah berbanding lurus dengan prestasinya. Hal ini pengecualian untuk Amerika Serikat, Rusia, dan Cina.
Contoh nyata adalah Indonesia. Sejak meraih emas pertama kali pada Olimpiade Barcelona 1992 melalui Susy Susanti dari bulu tangkis nomor tunggal putri, Indonesia telah mengoleksi delapan emas. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk 281 juta jiwa, maka jumlah medali ini memang masih minim.
Karena itu, jumlah penduduk bukanlah jaminan. Yang menjadi jaminan utama adalah para atlet yang tampil di Olimpiade itu menunjukkan bahwa mereka memberikan warisan atau legacy kepada seluruh penduduk Indonesia.
Hal ini sekaligus menempatkan Indonesia dalam konstelasi persaingan perebutan emas di level Olimpiade.
Tak hanya soal emas, melainkan juga medali lainnya. Bulu tangkis memang menjadi satu-satunya cabang yang berhasil mempersembahkan emas bagi Indonesia.
Namun, panahan menjadi pembuka jalan pada Olimpiade Seoul 1988 saat Trio Srikandi Panahan, Nurfitriyana, Lilies Handayani, Kusuma Wardhani, meraih perak dari nomor tim.
Trio ini menunjukkan level Indonesia dalam Olimpiade yang sekaligus memberikan warisan dan inspirasi untuk para atlet dan penduduk Indonesia.
Setelah itu, angkat besi melanjutkan jalan yang dibuat oleh trio tersebut melalui almarhumah Lisa Rumbewas yang meraih perak dalam Olimpiade Sydney 2000 melalui angkat besi kelas 48 kg putri.
Sejak saat itu, bulu tangkis dan angkat besi menjadi cabang yang selalu memberikan medali untuk Indonesia.
Khusus untuk angkat besi, lifter putra Eko Yuli Irawan mencatat sejarah dengan menjadi satu-satunya atlet Indonesia yang terus meraih medali dalam keikutsertaannya di Olimpiade.
Ya, Eko meraih perunggu kelas 56 kg putra dalam Beijing 2008, merebut perunggu kelas 62 kg di London 2012, mendapatkan perak kelas 62 kg di Rio de Janeiro 2016, dan perak 61 kg di Tokyo 2020.
Catatan ini menjadikan Eko sebagai lifter terbaik Indonesia dan Olimpian dengan raihan baik selama dia mengikuti Olimpiade. Eko kembali turun di Paris 2024 dan tentu saja berharap kali ini bisa meraih emas.
Warisan dari para Olimpian tersebut jelas menjadi inspirasi untuk para atlet muda, penduduk Indonesia, dan para orang tua yang ingin mendorong anaknya menjadi atlet.
Selain itu, hal ini juga sejalan tentunya dengan keinginan Georgios Averoff saat dia merenovasi Stadion Panathinaiki untuk digunakan sebagai venue Olimpiade pertama pada 1896. Warisan dan inspirasi Averoff ini dianggap sebagai salah satu hal penting untuk memberikan wadah bagi para atlet untuk bersaing dan bisa menjadi inspirasi serta memberikan warisan bagi seluruh dunia.
4. Faktor Ekonomi
Penyelenggaraan Olimpiade memang sering dikritisi dari sisi pembiayaan. Akan tetapi, negara penyelenggara dianggap seringkali mendapatkan keuntungan yang cukup sebagai host.
Selain itu, para atlet juga memiliki keuntungan yang sama.
Menjadi atlet berprestasi jelas menjadi awal mula untuk masuknya sponsor yang akan berguna untuk perkembangan prestasi.
Selain itu, para atlet peraih medali juga biasanya akan mendapatkan bonus yang cukup melimpah dari pemerintah masing-masing atau dari sponsor ataupun dari pihak lain.
Secara keseluruhan, Olimpiade sangat penting untuk digelar karena olahraga adalah salah satu cara untuk mempersatukan dunia dan lebih dari 8 miliar penduduk dunia bisa belajar bagaimana bangun dari kekalahan, mendapatkan inspirasi, dan yang terakhir adalah memulai hidup sehat, agar paling tidak, memiliki kebugaran selayaknya seorang atlet.