SKOR.id - Pada momen Hari Perempuan Internasional kali ini Skor.id mencoba membahas perjuangan Khalida Popal demi kesetaraan untuk tim nasional sepak bola wanita di Afghanistan.
Sejak terbebas dari rezim Taliban pada tahun 2004, nyatanya masih banyak hal yang harus diperjuangkan di Afghanistan.
Termasuk mengenai kesetaraan untuk kaum perempuan, yang pada kasus Khalida Popal kali ini adalah di bidang olahraga, khususnya sepak bola.
Dilansir dari Huffingtonpost Khalida Popal mengenal sepak bola sejak ia masih kecil melalui sang ibu.
Namun, sepak bola yang mulanya hanya untuk kesenangan, justru mengubah hidup Khalida Popal.
Kesenangannya itu mulai mendapatkan penolakan di lingkungan sekitarnya, tak hanya dari para laki-laki, tetapi juga sesama wanita.
"Guru saya mengeluarkan saya dari kelas mereka karena saya bermain sepak bola. Tetapi jika pria bisa bermain sepak bola, mengapa wanita tidak?" ujar Khalida Popal.
Di Afghanistan, sepak bola dianggap sebagai olahraga kaum adam, jika kaum hawa memainkannya, mereka akan dianggap seperti pelacur.
Wanita kelahiran Kabul, Afghanistan, itu memang memiliki alasan khusus mengapa tetap bermain sepak bola meski mendapat berbagai penolakan.
"Saya memilih sepak bola sebagai alat untuk membela hak-hak saya, dan untuk membantu wanita lain membela hak-hak mereka," ujar Khalida.
"Di negara saya, wanita tidak dihormati. Mereka bahkan tidak dipandang sebagai manusia. Ini penting untuk terlebih dahulu bekerja dengan perempuan untuk membangun kapasitas dan kepercayaan diri mereka," ujar Khalida menambahkan.
Pada tahun 2004 ibu Khalida membentuk sebuah klub sepak bola wanita di sekolahnya dan mengkampanyekan pembentukan sekolah sepak bola lainnya.
Setahun kemudian klub-klub yang sudah terbentuk meminta Federasi Sepak Bola Afghanistan (AFF) untuk membentuk komite sepak bola wanita.
Keramuddin Karim yang merupakan presiden AFF, mencoba mengakomodasi permintaan tersebut, dengan mengadakan turnamen sepak bola wanita pada tahun 2005.
AFF kemudian memilih pemain terbaik sebagai pondasi pembentukan tim nasional wanita.
Hanya ada empat pemain yang terpilih, termasuk Khalida. Mereka kemudian dilatih oleh Klaus Stark, pelatih asal Jerman yang juga menangani tim nasional sepak bola putra Afghanistan.
Meski begitu, perjuangan belum berakhir, berbagai cacian dan tindakan ancaman masih diterima Khalida dan teman seperjuangannya.
"Kami adalah empat gadis di tim. Orang-orang melemparkan batu dan sampah ke arah kami. Saya menerima banyak ancaman pembunuhan," ujar Khalida.
Penolakan-penolakan tak membuat Khalida terpengaruh, ia terus menekuni olahraga si kulit bundar hingga pada tahun 2007 menjadi kapten tim pertama tim nasional sepak bola wanita Afghanistan.
Dilansir dari Hummel, tim sepak bola wanita Afghanistan ini bahkan sempat bermain di sebuah turnamen kecil di Pakistan pada tahun 2008.
Ancaman terus datang, sisa-sisa rezim Taliban, dan orang-orang yang tak suka sepak terjang Khalida, makin sering mengganggu ketenangan keluarganya dan memberikan ancaman pembunuhan.
Khalida akhirnya memilih meninggalkan Afghanistan, setelah mendapat suaka dari Denmark.
Meski meninggalkan negaranya, hal tersebut bukan akhir perjuangannya. Ia terus memikirkan nasib tim sepak bola wanita di Afghanistan.
Ia tak jarang menjadi pembicara mengenai perkembangan olahraga sepak bola wanita di Afghanistan.
Pada momen Hari Perempuan Internasional 2017 Khalida Popal menerima penghargaan berkat perjuangan untuk kaumnya.
Meski belum sepenuhnya bebas, sepak bola wanita di Afghanistan telah mengalami perkembangan.
Sekarang wanita pun dilegalkan menonton sepak bola, bahkan menyuarakan dukungan di media sosial, setelah sempat dilarang.
Tim nasional sepak bola wanita Afghanistan juga tak jarang mengadakan pertandingan internasional, meski harus digelar di luar negara mereka.
Alasanya tidak ada jaminan keamanan jika mereka menggelar sepak bola di Afghanistan.
Perjuangan Khalida Popal pun belum behenti, bahkan melalui PBB ia juga pernah berkesempatan menyarakan permasalahan kesetaraan gender.