SKOR.id - Format sprint race yang dihadirkan MotoGP pada musim ini membuat Yamaha mengalami kemunduran. Pasalnya, dengan hanya dua motor, para engineer kehilangan data penting.
Setelah delapan Grand Prix MotoGP 2023 bergulir Ducati sukses memenangi tujuh di antaranya. Jika juara dunia bertahan Francesco Bagnaia tidak crash di Austin, mereka mungkin akan sapu bersih.
Dengan total delapan motor di grid, pabrikan Borgo Panigale mengokupasi kejuaraan dan punya data yang jauh lebih banyak daripada kompetitor mereka.
Perbedaan paling signifikan terlihat dibanding dengan Yamaha, yang memiliki data jauh lebih sedikit, dengan cuma dua pembalap bersaing musim ini. Itu pun diakui pabrikan Jepang.
"Ini kerugian besar. Pada akhirnya, kami melakukan semua pekerjaan 100 persen sendiri. Yang lain bisa membaginya, mungkin masing-masing tim bisa mengambil alih 25 persen," ujar Team Manager Massimo Meregalli, menyayangkan Yamaha tak lagi punya tim satelit.
"Bahkan jika kita bicara soal ban, mereka mungkin dapat berbagi tugas memilihnya, sedangkan kami tidak bisa. Itu hanya satu contoh, tetapi sayangnya memang seperti itu kondisinya."
Setelah RNF menyeberang ke Aprilia musim ini Yamaha berharap bisa kembali punya tim satelit pada MotoGP 2025, karena mustahil untuk tahun depan mengingat semua sudah punya kontrak hingga 2024.
"Kami tak ingin kehilangan tim satelit, dan di masa depan kami pasti akan mendapatkan lagi tim satelit kami," ujar Meregalli penuh percaya diri.
"Tidak untuk 2024, karena semua tim sudah ada kesepakatan untuk tahun depan. Tetapi begitu musim baru bergulir, kami akan mulai membicarakannya."
Tanpa tim satelit dan dengan format baru akhir pekan MotoGP 2023 membuat kemunduran terjadi di kubu Yamaha, sebab para rider harus tampil di sesi latihan Jumat untuk lolos ke Q2. Akibatnya, tim hanya memiliki waktu terbatas untuk pekerjaan koordinasi.
"Ya, itu benar, namun kami tidak mau menggunakannya sebagai alasan. Tetapi Anda tahu, kami tidak punya tim satelit dan kami harus mengandalkan dua pembalap kami untuk mengumpulkan data dan informasi dalam waktu singkat," pria asal Italia itu menjelaskan.
"Dan bagi kami itu selalu, katakanlah, lebih sulit. Kadang Anda mungkin ingin membandingkan setelan yang berbeda, namun tidak ada waktu karena FP1 kini jadi satu-satunya para rider melakukannya, membiasakan diri dengan lintasan."
"Ditambah lagi, trek tak pernah benar-benar dalam kondisi baik (pada FP1). Sesi yang perfek mungkin FP2, tetapi di FP2 Anda harus mencoba mempersiapkan untuk balapan dan kemudian harus melakukan time attack demi lolos otomatis ke Q2. Jadi sangat rumit."
"Jadi format baru (dengan sprint race hari Sabtu) jelas sangat bagus untuk pertunjukkan. Namun, kurang ideal bagi tim yang bekerja," Meregalli menyimpulkan.