SKOR.id – Dalam percakapan apa pun, alur kata yang alami sangat penting agar lawan bicara merasa didengarkan dan dipahami. Namun, sudah umum menemukan orang-orang yang terus-menerus menyela, menimbulkan frustrasi atau kebingungan pada mereka yang mencoba mengungkapkan ide-ide mereka.
Perilaku ini, meskipun tampak seperti kurang sopan, sering kali memiliki akar yang kuat yang melampaui etika sosial. Di balik kebiasaan yang terkesan impulsif ini terdapat berbagai faktor yang telah dipelajari secara rinci oleh psikologi.
Dari karakteristik individu hingga pengaruh budaya dan emosional, alasan untuk menyela percakapan sama rumitnya dengan manusia itu sendiri. Menganalisis fenomena ini tidak hanya membantu Anda memahaminya, tetapi juga mendorong komunikasi yang efektif dan empati.
Faktor-faktor Psikologis dan Emosional di Balik Interupsi Seseorang
Orang yang sering menyela mungkin melakukannya karena adanya tantangan pada fungsi eksekutif otak. Menurut Dr. Sharon Saline dan pakar Russell Barkley, penderita Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) sering kali kesulitan mengatur impuls verbal dan memprioritaskan pikiran.
Hal ini membuat mereka segera mengutarakan idenya, karena takut ide tersebut akan dilupakan jika menunggu giliran. Perilaku ini mencerminkan kesulitan dalam pengendalian diri dan perencanaan, keterampilan penting untuk menjaga keseimbangan percakapan.
Selain itu, kurangnya keterampilan mendengarkan secara aktif juga merupakan penyebab utama. Carl Rogers, pelopor psikologi humanistik, menekankan bahwa mendengarkan melibatkan penangguhan penilaian dan memberikan perhatian penuh kepada lawan bicara.
Namun faktanya, banyak orang yang lebih berfokus pada merumuskan tanggapan mereka dibandingkan mendengarkan, sehingga membuat mereka menyela.
Penting juga untuk disebutkan bahwa emosi seperti kecemasan sosial atau kebutuhan akan validasi dapat memperparah perilaku ini. Beberapa orang merasa bahwa mereka harus mengisi keheningan yang canggung atau memastikan suara mereka didengar, sehingga menimbulkan interupsi yang tidak perlu.
Menurut psikolog Barbara Fredrickson, emosi positif seperti antusiasme yang berlebihan, dapat menyebabkan seseorang menyela karena tidak dapat menahan keinginan untuk berpartisipasi. Meskipun perilaku ini mungkin tampak tidak terlalu bermasalah, namun tetap menghambat alur alami percakapan.
Pengaruh Budaya dan Sosial dalam Komunikasi
Lingkungan budaya dan keluarga tempat seseorang dibesarkan juga memengaruhi pola komunikasinya. Dalam beberapa konteks, menyela mungkin dianggap sebagai praktik yang normal atau bahkan diinginkan, terutama dalam keluarga atau budaya di mana percakapan terjadi secara tumpang tindih.
Namun, kebiasaan ini dapat menimbulkan konflik di lingkungan yang lebih menghargai mendengarkan secara aktif dan menghormati. Mengembangkan pengendalian diri dan meningkatkan kesadaran akan norma-norma sosial adalah langkah kunci untuk mengurangi kebiasaan ini dan meningkatkan kualitas percakapan Anda.
Di sisi lain, perbedaan gender juga memberikan dampak. Studi yang dilakukan oleh peneliti Joanna Wolfe menunjukkan bahwa pria cenderung lebih banyak menyela wanita dalam percakapan yang campur aduk.
Hal ini mencerminkan norma-norma sosial yang masih bertahan dalam komunikasi interpersonal, menyoroti bagaimana faktor gender dapat memengaruhi cara orang berinteraksi.
Interupsi yang terus-menerus dapat memiliki akar psikologis, budaya, dan emosional. Memahami penyebab di balik perilaku ini dapat membantu mendorong komunikasi yang lebih saling menghormati dan efektif.