SKOR.id – Hari ini, Minggu (10/11/2024), bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan yang dirayakan di seluruh Indonesia.
Hari Pahlawan sejatinya ditetapkan melalui Keppres No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959 untuk memperingati pertempuran Surabaya yang terjadi pada 10 November 1945.
Namun seiring berjalannya waktu, peringatan Hari Pahlawan kini tidak hanya untuk mengenang pahlawan yang gugur dalam pertempuran Surabaya.
Melainkan juga seluruh pahlawan yang telah berjuang demi merebut maupun mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Menariknya, beberapa di antara mereka yang pernah berjuang ini juga memiliki latar belakang sebagai pemain sepak bola.
Kontribusi mereka juga besar dalam sepak bola Tanah Air, baik sebagai pemain maupun pengurus. Siapa saja mereka? Simak pembahasannya dalam Skor Special edisi kali ini.
(Skor Special adalah artikel yang akan memberikan perspektif berbeda setelah membacanya dan artikel ini bisa ditemukan dengan mencari #Skor Special atau masuk ke navigasi Skor Special pada homepage Skor.id.).
1. R. Maladi
Raden Maladi (lebih dikenal sebagai R. Maladi) tertarik dengan sepak bola sejak usia muda, dan bermain sebagai penjaga gawang.
Pada 1930 ia memulai kariernya di PSIM Yogyakarta, lalu pindah ke Persebaya Surabaya tiga tahun kemudian dan akhirnya jadi salah satu pemain papan atas di klub tersebut.
Maladi juga bermain di Timnas Indonesia (versi kubu PSSI) dengan menggunakan beberapa nama samaran serta sempat beberapa kali menjadi wasit.
Laga debut Maladi bersama Timnas Indonesia (PSSI) terjadi pada 1937 silam di Semarang.
Ketika itu tim yang dihadapi adalah Nan Hwa, tim asal Cina yang sedang menjalani tur Pulau Jawa.
Nan Hwa didatangkan untuk bermain melawan Timnas versi NIVU/NIVB (federasi buatan Belanda) dan Timnas versi PSSI sebagai seleksi jelang Piala Dunia 1938 di Prancis.
Hasilnya pada 7 Agustus 1937 Timnas PSSI mampu menahan Nan Hwa dengan skor 2-2.
Tapi FIFA ketika itu lebih mengakui NIVB, hingga akhirnya Timnas Hindia Belanda versi NIVB-lah yang mengikuti seleksi ke Piala Dunia 1938.
Maladi tidak masuk dalam tim tersebut, ia kemudian menjadi Ketua Umum PSSI periode 1950-1959.
Pada 4 Agustus 2003, pemerintah Kota Solo mengubah nama Stadion Sriwedari menjadi Stadion R. Maladi sebagai penghormatan atas jasa-jasa mantan Menteri Olahraga yang juga desainer stadion tersebut.
Terkait perjuangannya melawan Belanda, saat revolusi fisik Maladi bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Ia menjadi salah satu komandan sektor tentara republik saat pertempuran empat hari di Solo pada Agustus 1949.
Ketika itu, Maladi turut angkat senjata menghadapi tentara Belanda di wilayah Sukoharjo, Bekonang, dan Karanganyar.
Mendiang Kolonel CPM (Purn.) H. Maulwi Saelan, SIP merupakan seorang tentara, administrator sepak bola, dan salah satu pemain sepak bola legendaris Indonesia.
Maulwi juga pejuang kemerdekaan Indonesia dan pernah menjadi salah satu ajudan pribadi Presiden Soekarno. Selain itu ia dikenal juga sebagai pendiri Taman Siswa di Makassar.
Maulwi bergabung dengan Timnas Indonesia antara 1954-1958 dan berkontribusi besar atas keberhasilan Indonesia menembus empat besar Asian Games 1954 dan meraih medali perunggu Asian Games 1958.
Salah satu penampilan heroik Maulwi adalah ketika menghadapi raksasa sepak bola dunia, Uni Soviet, pada Olimpiade Panas 1956 di Melbourne, pada 29 November 1956.
Indonesia kala itu berhasil menahan imbang Uni Soviet yang merupakan salah satu tim terkuat Eropa dan dunia.
Maulwi Saelan berjibaku menahan gempuran Igor Netto, Sergei Salnikov, dan Boris Tatushin. Skor 0-0 bertahan hingga akhir pertandingan.
Sedangkan dari sisi kepahlawanannya sebagai pejuang kemerdekaan, Maulwi memilih untuk ikut berjuang dalam usia masih sangat muda.
Saat masih menjadi pelajar SMP Nasional, ia dan pelajar-pelajar lainnya mengorganisasi penyerbuan Empress Hotel, yang saat itu berfungsi sebagai markas NICA.
Maulwi kemudian ditahan karena kejadian itu,dan kemudian bertemu Wolter Monginsidi, tokoh pemuda yang kelak menjadi salah satu pemimpin perlawanan rakyat di Makassar.
Ia bersama Wolter Monginsidi membentuk laskar gerilya yang diberi-nama “Harimau Indonesia”.
Setelah perjanjian Linggarjati pada maret 1947, Maulwi Saelan meneruskan perjuangan di Pulau Jawa.
3. Ir. Soeratin
Ir. Soeratin Sosrosoegondo merupakan seorang insinyur dan administrator sepak bola Indonesia.
Soeratin merupakan salah satu pendiri sekaligus Ketua Umum PSSI yang pertama pada periode 1930-1940.
Meski lebih dikenal sebagai organisatoris, Soeratin pada masa mudanya juga pernah menjadi pemain sepak bola meskipun sekadar hobi.
Melalui hobinya inilah ia kemudian berinisiatif berjuang melalui olahraga dengan membentuk organisasi sepak bola pertama di Tanah Air.
Soeratin kemudian melakukan pertemuan dengan tokoh sepak bola pribumi di Solo, Yogyakarta, Magelang, Jakarta, dan Bandung.
Pertemuan itu diadakan secara sembunyi untuk menghindari sergapan Intel Belanda (PID).
Pada 19 April 1930, beberapa tokoh dari berbagai kota berkumpul di Yogyakarta untuk mendirikan PSSI (Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia).
Istilah "sepakraga" diganti dengan "sepak bola" dalam Kongres PSSI di Solo pada 1950.
PSSI kemudian melakukan kompetisi secara rutin sejak 1931, dan ada instruksi lisan yang diberikan kepada para pengurus, jika bertanding melawan klub Belanda tidak boleh kalah.
Soeratin menjadi ketua umum organisasi ini 11 kali berturut-turut. Setiap tahun ia selalu terpilih kembali (1930-1940).
Kegiatan mengurus PSSI menyebabkan Soeratin keluar dari perusahaan Belanda dan mendirikan usaha sendiri.
Setelah Jepang menjajah Indonesia dan perang kemerdekaan terjadi, kehidupan Soeratin menjadi sangat sulit. Rumahnya diobrak-abrik Belanda.
Ia aktif dalam Tentara Keamanan Rakyat dengan pangkat letnan kolonel. Setelah penyerahan kedaulatan, ia menjadi salah seorang pemimpin Djawatan Kereta Api.
Jasanya dalam persepak bolaan nasional diabadikan dalam nama trofi yang diperebutkan dalam kompetisi sepak bola junior tingkat nasional, Piala Soeratin.