SKOR.id – Banyak orang belum mengetahui bahwa hari ini, tanggal 5 April 2023, diperingati sebagai Hari Berjalan Kaki Internasional.
Dari sisi olahraga, berjalan kaki merupakan salah satu jenis olahraga paling murah dan mudah untuk dilakukan.
Dan rupanya, berjalan kaki juga mengandung nilai seni. Setidaknya, itulah yang ada dalam pikiran para seniman di Eropa.
Dikutip dari JSTOR Daily, Berjalan sebagai Seni (The Art of Walking) memiliki sejarah yang dalam.
Dengan memandu peserta, atau tubuh mereka sendiri, dalam perjalanan, para seniman mendorong kita untuk melihat hal-hal luar biasa di dunia.
Pada 1967, seniman Inggris Richard Long mengaktualisasikan The Art of Walking dengan berjalan bolak-balik di lapangan Wiltshire, hingga ke sebuah jalan setapak yang dihiasi rerumputan.
Disebut sebagai "A Line Make by Walking (Garis yang Dibuat dengan Berjalan)", karya ini adalah bagian dari seni pertunjukan yang muncul pada 1960-an dan 70-an.
Seniman Amerika, Vito Acconci, mewujudkannya dengan berjalan sambil mengejar orang asing di New York pada tahun 1969 untuk menciptakan karya “Following Piece”-nya.
Kemudian seniman Polandia, Teresa Murak, berkeliaran di Warsawa tahun 1974 sambil diselimuti oleh biji selada yang berkecambah untuk menggabungkan tubuh perempuan dan alam.
Berjalan bisa jadi kehilangan kendali dan memperbesar ruang publik. Ini adalah tindakan pencarian jalan yang sangat individual yang dipandu oleh lanskap atau rencana kota yang ada.
Apakah peziarah atau flaneur, penjelajah atau kaum migran, pejalan kaki mengamati dunia dengan cara yang berbeda dibanding mengemudi, bersepeda, atau berlari.
Pameran bertajuk Wanderlust: Actions, Traces, Journeys 1967-2017 (Nafsu Berkeliaran: Aksi, Jejak, Perjalanan 1967-2017), diselenggarakan oleh kampus di Galeri Seni Buffalo dan Pusat Seni Des Moines.
Pameran ini mengisahkan tentang setengah abad pergerakan dalam seni. Judulnya merujuk pada buku karya Rebecca Solnit berjudul Wanderlust: A History of Walking.
Dalam buku tersebut Solnit menulis, “Berjalan adalah keadaan di mana pikiran, tubuh, dan dunia selaras, seolah-olah mereka adalah tiga karakter yang akhirnya berbicara bersama."
Beberapa di antara karya terbaru dalam pameran tersebut adalah “Blind Field Shuttle” karya Carmen Papalia tahun 2017.
Itu merupakan sebuah proyek partisipatif yang dibuat setelah sang seniman kehilangan penglihatannya.
Sebanyak 50 orang bergabung dengannya di rute perkotaan dan pedesaan dengan mata tertutup.
Dan karya Roberley Bell tahun 2015 “Still Visible, After Gezi”, di mana sang seniman kembali ke Istanbul setelah demonstrasi Taman Gezi untuk menemukan kembali pepohonan dalam perjalanan hariannya.
Menulis tentang berjalan dalam seni kontemporer untuk Geografi Budaya, sarjana seni visual Andrea Phillips memiliki pendapat tersendiri.
Dijelaskan Phillips, sebagian besar karya pada suatu saat telah dideskripsikan sebagai “seni publik”.
“Meski demikian, sengaja atau tidak, menggambarkan mitologi berjalan kuno dan modern, dari ziarah dan diaspora ke flaneurisme dan turunan, sebagai bagian dari pengaruhnya,” kata Phillips.
Dengan melangkah ke jalan, pejalan kaki menyerahkan diri mereka ke jalur yang dirancang dan kebetulan.
Berjalan kaki sebagai seni memiliki sejarah yang dalam. Ekskursi dadaisme di Paris tahun 1920-an mengikuti jejak seniman Prancis abad ke-19.
Yakni, dengan melukis pejalan kaki setelah rekonstruksi perkotaan Baron Haussmann yang mencakup taman, alun-alun, dan jalan raya baru.
Kepada The Art Bulletin, sejarawan seni Nancy Forgione mengatakan dalam merekam tampilan kota yang berubah, pelukis juga bertujuan menggambarkan praktik sehari-hari.
“Yakni di mana kehidupan manusia menegosiasi ulang hubungannya dengan kota,” ujar Forgione.
“Tematisasinya dalam seni berfokus tidak hanya pada perjalanan khusus flaneur tetapi pada aktivitas pejalan kaki sebagai modalitas pengalaman hidup yang luas.
Dalam Ecumene, ahli geografi perkotaan dan budaya David Pinder mempertimbangkan perjalanan audio oleh seniman Kanada Janet Cardiff yang disebut "Suara yang Hilang (Studi Kasus B)."
Peserta berjalan di London Timur sambil mendengarkan 40 menit suara di CD (pekerjaan dari tahun 1999).
Diceritakan oleh suara wanita, dunia fiksi dengan atmosfer film noir berlapis-lapis di tempat-tempat nyata di Whitechapel dan Spitalfields.
“Ini menekankan sensasi berjalan sebagai cara memahami kota yang taktil, aural dan penciuman serta visual,” demikian tulis Pinder.
“Ini adalah aktivitas yang menyatakan dan memberi bentuk pada ruang kota; yang tidak dilokalkan tetapi yang 'meruangkan.'”
Hubungan indrawi dengan kota tidak ada di benak setiap pejalan kaki saat mereka bepergian, menjalankan tugas, atau sekadar berkelok-kelok.
Namun dengan melangkah ke jalan, pejalan kaki menyerahkan diri mereka ke jalur yang dirancang dan kebetulan.
Dengan memandu peserta, atau tubuh mereka sendiri, dalam perjalanan, para seniman mendorong kita untuk melihat hal-hal luar biasa di dunia.