- Filosofi taktik sepak bola bermula sejak era 1870-an.
- Hingga kini hanya ada dua kunci filosofi taktik yang menjadi dasar pengembangan sampai sekarang.
- Dua evolusi itu dilakukan oleh Gustav Sebes dan Johan Cruyff.
SKOR.id - Sepak bola bukan sekadar permainan biasa. Di dalamnya, memuat filosofi taktik serta strategi. Itu pun belum bicara soal micro tactics, yang lebih mendetail.
Menurut Michael Cox dalam artikelnya dalam FourFourTwo(2016), ada enam filosofi taktik sepanjang sejarah sepak bola.
Baca Juga: Analisis Taktik Ini Buktikan Cristiano Ronaldo Tak Menua di Juventus
Masing-masing adalah era kombinasi pada 1870-an, WM pada 1930-an, positioning Hungaria pada 1950-an, Catenaccio pada 1960-an, Total Football pada 1970-an, dan Tiki-Taka pada 2010-an.
Namun sejatinya, lima dari enam filosofi itu --kecuali Catenaccio milik Italia, cuma ada dua-tiga yang menjadi kunci evolusi taktiknya.
Tonggak Gustav Sebes
Evolusi pertama dilakukan oleh Gustav Sebes, orang Hungaria, pada 1930-an. Sebes merombak formasi WM setelah muncul perubahan peraturan offside.
Formasi WM, yang dipopulerkan oleh pelatih legenda Arsenal Herbert Champman, menggunakan skema 3-2-5.
Jadi, ada lima pemain di depan, dua pemain di lini tengah, dan hanya tiga pemain sejajar di pertahanan.
Perubahan aturan offside pada 1925 membuat formasi WM yang super ofensif tak leluasa lagi diterapkan. Sebes merombak dengan menggunakan formasi 4-2-4.
Formasi ini tetap ofensif, tapi tidak membuat penyerangan mudah diperangkap offside. Apalagi, Sebes tak jarang mengembangkan formasinya menjadi 3-2-1-4.
Satu pemain di belakang empat pemain depan adalah penyerang tengah yang memang bergerak vertikal dari sektor gelandang.
Inilah pertama kali ada false position. Sebes menginsipirasi false 9 dengan memainkan deep lying forward.
Jadi, Sebes menggunakan pemain nomor 9 sebagai striker murni tapi bergerak vertikal dari sektor gelandang. Sedangkan pemain nomor 8 atau 10 justru ditempatkan sebagai striker, tapi berperan sebagai sayap.
Baca Juga: Analisis Formasi Favorit Klub Liga 1 2020 dan Fleksibilitas Penerapannya
Bahkan Sebes pula yang menginspirasi istilah gelandang box to box dan gelandang bertahan.
Itu sebabnya, Sebes juga punya formasi pengembangan 2-3-3-2. Filosofi taktik Sebes menghasilkan The Golden Team (Magyars) Hungaria.
Pada kurun 4 Juni 1950 hingga 3 Juli 1954, Hungaria tidak terkalahkan dalam 31 pertandingan. Pada 1952, Hungaria merebut medali emas Olimpiade setelah mengalahkan Yugoslavia 2-0.
Sosok terkenal dari tim emas Hungaria itu tak lain adalah Ferenc Puskas, yang juga populer bersama Real Madrid.
Mendiang legenda Inggris, Sir Bobby Robson, menyebut filosofi taktik Sebes adalah sebuah evolusi. Hal itu disampaikan seusai Inggris kalah 3-6 di Stadion Wembley, London, pada 25 November 1953.
"Kita melihat sebuah gaya permainan dan sebuah sistem bermain yang baru. Awalnya kita berpikir bahwa Inggris akan menghancurkan Hungaria, yang terjadi sebaliknya," ujar Robson setelah laga.
Penyempurnaan ala Bela Guttmann
Pada 1956, Sebes dipecat karena gagal mengantar Hungaria juara Piala Dunia 1954. Asistennya, Bela Guttmann, pun mencuat.
Bahkan Guttmann, orang Hungaria berdarah Yahudi, lebih populer dibandingkan Sebes. Sosoknya kontroversial seperti halnya Jose Mourinho, pelatih Tottenham Hotspur.
Guttmann lebih sering berkarier, baik sebagai pemain atau pelatih, di luar Hungaria. Antara lain di AC Milan, Benfica, Porto, dan bahkan menangani timnas Brasil.
Bahkan Brasil dipaksa memainkan skema 4-2-4, meski gagal memberi gelar juara dunia.
Asisten Guttmann yang naik menjadi pelatih kepala Brasil, Vicente Feola, sukses mengantar Selecao kampiun Piala Dunia 1958 dengan formasi tersebut.
"Kemenangan ini 50 persen karena Guttmann. Saya hanya meniru metodenya," ujar Feola.
Guttmann yang menangani 13 klub berbeda sepanjang kariernya adalah pelatih pertama yang mengungkapkan pentingnya sebuah ruang dalam permainan sepak bola.
"Jika tidak menguasai bola, kita jaga ruang. Jika sedang menguasai bola, kita cari ruang," katanya.
Kontroversi Guttmann adalah ucapannya soal musim ketiga. Menurutnya, seorang pelatih tak boleh menangani sebuah tim lebih dari dua musim.
Ia juga kontroversial karena kerap meminta kenaikan gaji di tengah masa kontrak. Hal itu terjadi di AC Milan dan Benfica.
Bahkan usai dipecat Benfica yang dua kali diantarnya juara Piala Eropa pada 1961 dan 1962, Guttmann mengeluarkan kutukan: Benfica tak akan pernah lagi juara Eropa dalam 100 tahun.
Total Football ala Johan Cruyff
Filosofi taktik Sebes dan Guttmann benar-benar mengubah wajah permainan sepak bola. Misalnya memicu kehadiran filosofi taktik bertahan catenaccio yang diciptakan Helenio Herrera untuk Italia.
Orang Argentina itu menciptakan catenaccio untuk Italia setelah melihat permainan ofensif ala Sebes dan Guttmann. Pertahanan gerendel dalam formasi super defensif 5-3-2 itu antara lain digunakan oleh Inter Milan dan AC Milan.
Namun dua tahun beruntun, 1972 dan 1973, tembok catenaccio diruntuhkan oleh Ajax Amsterdam. Inter menyerah 0-2 dan Milan terkulai 0-6 dalam partai final Eropa.
Persepakbolaan Italia pun mulai jengah pada catenaccio. Sudah bertahan rapat, tetap kalah.
Baca Juga: Inter Milan, Barcelona, dan Real Madrid Berencana Potong 30 Persen Gaji Pemain
Itu sebabnya muncul filosofi Zona Mista, yang lebih cair antara kombinasi pertahanan zona dan man to man. Ini digunakan Italia hingga berbuah trofi Piala Dunia 1982 dan 2006.
Sementara dunia juga mulai menyaksikan sebuah evolusi taktik baru dalam sepak bola menyerang, total football.
Keberhasilan Ajax mengalahkan dua tim asal kota Milan tak lepas dari tangan dingin Rinus Michels dengan skema 4-4-2 atau 4-3-3.
Secara umum, total football mirip dengan cara bermain Uni Soviet yang mengandalkan permainan mengalir dan pertukaran posisi secara horisontal.
Michels menambahkan sebuah dinamika yang radikal, di semua posisi permainan. Dalam filosofi taktiknya, Michels menetapkan semua pemain harus bisa bermain di semua posisi.
Itulah cetak biru filosofi total football.
Jika seorang gelandang maju ke depan, seorang penyerang harus mundur dan mengisi tempat yang ditinggalkan. Pergerakan ini yang membingungkan lawan, terutama bagi seorang bek. Siapa harus dijaga?
Total football ala Michels, yang membawa Belanda juara Piala Eropa 1988, digubah dan disempurnakan oleh mantan pemainnya sekaligus muridnya, Johan Cruyff.
Cruyff bukan cuma meneruskan filosofi Michels, tapi juga turut mengikuti jejaknya di Amsterdam dan Barcelona. Bahkan di tangan Cruyff, filosofi total football mendapat pengakuan lebih besar --melebihi penghormatan terhadap Sebes, Guttmann, dan Michels.
"Bagi saya, evolusi filosofi taktik hanya ada satu; total football," ujar Arrigo Sacchi, pelatih legendaris AC Milan, pada 1984.
Total Football ala Cruyff jauh lebih detail. Misalnya ruang bermain bagi setiap pemain yang lebih fleksibel. Cruyff juga menyempurnakan pressing dan pertukaran posisi ala Michels.
Kemudian saat mulai menangani Barcelona pada 1988, Cruyff membawa skema baru 3-4-3. Tiga pemain di belakang, empat pemain di tengah, dan dua sayap mengapit seorang penyerang.
"Apa ini? Saat itu era 4-4-2 atau 3-5-2. Kami tak percaya berapa banyak penyerang dan sedikit pemain bertahan di dalam tim.
"Cruyff benar-benar memperkenalkan filosofi permainan baru di Spanyol. Ini revolusi," ujar Eusebio Mena, pemain Barcelona yang tampil lebih dari 250 kali di bawah Cruyff.
Skema 3-4-3 diadaptasi Cruyff dari skema 4-3-3 ala Michels di Ajax Amsterdam. Skema tiga bek sejajar itu sempat menuai kritik, tapi Cruyff menyebut para pengkritiknya; idiot!.
"Jika Anda punya empat pemain bertahan melawan dua striker, Anda hanya cuma punya enam lawan delapan di lini tengah. Anda tak mungkin bisa memenangi pertarungan, kami harus menaruh satu orang lagi di depan," ujar Cruyff menjelaskan filosofinya.
Satu lagi filosofi permainan yang mendasari total football ala Cruyff adalah membangun serangan dari belakang. Filosofi ini dipicu aturan yang melarang kiper untuk menangkap bola yang datang dari kawannya menjelang Piala Eropa 1992.
Baca Juga: Sejenak Lupakan Covid-19, Vittinghus Ungkap Kekaguman Terhadap Legenda Indonesia
Kehadiran Cruyff di Barcelona, termasuk membangun akademi La Masia, membuat kiper Andoni Zubizarreta harus mengasah dirinya. Sebagai kiper ortodoks yang hanya berada di bawah mistar, Zubizareta diminta Cruyff untuk bermain hingga mendekati garis tengah.
"Cruyff tidak mengubah saya sebagai kiper, tapi mengubah posisi bermain," ujar Zubizarreta dalam buku Michael Cox, Zonal Marking (2019).
Cruyff benar-benar meninggalkan investasi dan warisan yang hebat, sepak bola menyerang, pergerakan cair, dan pressing kuat.
Total football-nya menginspirasi tiki-taka ala Pep Guardiola di Barcelona, permainan ofensif ala Marcelo Bielsa, dan pelatih-pelatih lain masa kini yang beredar.