- Mantan petenis Robin Soderling mengungkapkan dirinya menderita serangan panik dan kecemasan selama bertahun-tahun.
- Meski begitu, latar belakang keputusannya untuk pensiun awal pada 2015 adalah penyakit mononucleosis.
- Keberhasilan menyingkirkan Rafael Nadal dan Roger Federer di French Open 2009 dan 2010 justru memicu kecemasan bagi Soderling.
SKOR.id – “Saya mencari tahu bagaimana cara bunuh diri di Google,” kata mantan petenis Robin Soderling, seperti dilansir dari situs Mundo Deportivo pada hari Minggu (5/7/2020).
Lebih dari satu dekade silam, Robin Soderling menjadi petenis pertama dunia yang berhasil mengalahkan Rafael Nadal dan Roger Federer di turnamen French Open.
Pada tahun 2009, Robin Soderling secara mengejutkan menyingkirkan Rafael Nadal, yang tidak pernah kalah di turnamen itu sejak debutnya pada 2005 dan merupakan juara bertahan empat kali.
Setelahnya tidak ada petenis lain yang sanggup mengikuti sukses Robin Soderling tersebut hingga Novak Djokovic berhasil melakukannya pada 2015.
Tahun berikutnya, di French Open 2010, giliran Roger Federer, yang memenangkan trofi juara di final tahun sebelumnya, yang merasakan keperkasaan Soderling.
Soderling menghentikan langkah Federer di perempat final, sekaligus menghentikan rekor kemenangan petenis Swiss itu dalam 23 pertandingan semifinal Grand Slam.
Sayangnya, Soderling gagal juara setelah dikalahkan Rafael Nadal di final.
Terlepas dari kegagalan di dua final itu, dua kemenangan beruntun atas Nadal dan Federer telah mengangkat Soderling ke peringkat keempat ATP pada November 2010.
Itu menandai prestasi tertinggi yang pernah dicapai oleh Soderling dalam kariernya.
Siapa sangka, ada “penyakit” yang menggerogoti hidup Soderling yang akhirnya memicu keputusannya untuk pensiun dini pada 2015 di usia 31 tahun.
Serangan Panik
Berada di puncak kariernya, petenis asal Swedia ini justru menderita serangan panik dan kecemasan yang cukup serius.
Awalnya, Soderling menyatakan alasannya meninggalkan tenis professional adalah karena ia mengidap mononucleosis.
Mononucleosis atau demam kelenjar adalah infeksi yang disebabkan virus Epstein-Barr (EBV), yang penyebarannya terjadi melalui cairan tubuh, terutama air liur.
Pada kenyataannya, Robin Soderling mengaku kepada stasiun radio Radio Sweden bahwa ia dihantui kecemasan selama bertahun-tahun sebelum didiagnosis dengan mononucleosis.
"Saya selalu cemas. Itu menggerogoti saya di dalam. Saya duduk di apartemen dan menatap kosong. Suara paling kecil pun membuat saya panik.”
Ia memberi contoh, sebuah surat jatuh di atas keset bisa memicu perasaan paniknya sehingga dia terjatuh ke lantai. Dan, tak mampu bergerak.
“Menelepon pun dengan gemetar ketakutan," kata Soderling dalam program "Verano en P1".
Soderling mengaku mulai merasakan panik untuk pertama kalinya setelah bermain di final Ronald Garros - sebutan lain French Open - pada 2009.
Itu final pertama dari dua final Roland Garros berturut-turut yang berhasil dicapainya.
Tetapi, menyusul keberhasilan itu, tekanan dirasakannya terus meningkat.
"Waktu itu saya hanya boleh kalah dari tiga pemain, yang lainnya harus saya kalahkan. Jika tidak, saya akan merasa buruk, gagal, kalah," kata Soderling.
Niat Bunuh Diri
Segalanya memuncak pada Juli 2011 setelah Soderling menang atas David Ferrer di final Swedia Open, yang ternyata jadi pertandingan profesional terakhirnya.
Soderling pulang ke rumahnya di Monte Carlo dan mulai terjatuh ke "jurang hitam yang tak berdasar".
Kondisinya terus memburuk hingga sebulan kemudian, sebelum ia tampil di US Open.
"Saya panik. Saya mulai menangis, menangis, dan menangis. Saya kembali ke hotel dan menenggelamkan diri saya di atas tempat tidur.”
Tanpa tahu penyebabnya, Robin Soderling akan merasakan kepanikan yang hebat setiap kali berpikir untuk pergi ke lapangan.
Dan, untuk pertama kalinya pula Soderling merasakan keinginan yang sangat kuat untuk melepaskan diri dari penderitaannya itu. Dia ingin bunuh diri.
Tetapi, dia tidak tahu caranya.
“Saya sangat menginginkannya, tetapi saya tidak bisa, bahkan jika mereka menodongkan pistol ke pelipis saya."
Ia membuka laptop, lalu browing lewat Google untuk mencari tahu metode-metode yang umum dilakukan orang untuk bunuh diri.
Soderling menyatakan, meskipun dia yakin dia benar-benar tidak ingin mati, tapi itu akan lebih baik “daripada hidup dalam neraka."
Diagnosis mononucleosis sempat memaksanya untuk pensiun. Namun, kurang dari setahun kemudian, pada 2016, Soderling mengumumkan rencana comeback.
Saat ini Soderling adalah kapten tim Swedia di Piala Davis. Dan, yang pasti,
"Kita jarang berbicara tentang masalah kesehatan mental di dunia olahraga elite, itu sebabnya saya ingin menceritakan kisah saya untuk membantu yang lain.”
Dalam beberapa tahun terakhir Soderling sering bertemu para atlet tenis junior dan orangtua mereka untuk berbagi pengalamannya.
“Saya selalu mengatakan kepada mereka untuk berlatih keras, tetapi tetap tenang.”
“Bermainlah olahraga dan terus bermimpi. Jika Anda sukses, pertahankan perspektif itu dan jalani kehidupan Anda, yang belum saya lakukan sampai sekarang,” ujar Robin Soderling.
Ikuti juga Instagram, Facebook, YouTube, dan Twitter dari Skor Indonesia.
Berita Tenis Lainnya:
Amanda Anisimova Tersanjung Dijuluki ''The Next'' Maria Sharapova