- Salah satu kasus match fixing di dunia tenis yang cukup menggemparkan menimpa petenis Mesir, Karim Hossam, pada Juni 2017.
- Deddy Tedjamukti memastikan petenis Indonesia bersih dari match fixing.
- Karena setiap pemain mengejar prestasi, bukan sekadar uang.
SKOR.id - Seperti halnya siang dan malam, atlet dan dunia olahraga pun memiliki sisi terang dan gelap.
Penggemar bisa melihat sisi terang olahraga dari prestasi, hadiah melimpah, gengsi turnamen, hingga gaya hidup para atlet tersohor.
Namun, tak sedikit yang terjebak dalam gelapnya olahraga hingga menghalalkan segala cara untuk menjadi atlet kaya raya.
Baca Juga: Charles Leclerc Sukses Juarai Seri Kedua GP Virtual F1 2020
Match fixing atau pengaturan pertandingan menjadi salah satu cara instan meraih uang berlimpah di antara para atlet dan ahli judi.
Apalagi untuk cabang olahraga dengan gengsi turnamen yang begitu besar, seperti tenis dengan turnamen grand slam-nya.
Salah satu kasus match fixing di dunia tenis yang cukup menggemparkan pernah menimpa petenis Mesir, Karim Hossam, pada Juni 2017.
Karim Hossam, yang saat itu masih 24 tahun, terlibat pengaturan pertandingan dengan broker judi yang membuatnya harus menerima hukuman larangan bertanding seumur hidup.
Dilansir dari BBC, kali pertama Karim Hossam terlibat perjudian terjadi saat Qatar Open 2017. Ia diiming-imingi 1.000 dolar Amerika Serikat jika mengalah pada babak pertama.
Bukannya kapok, Hossam justru makin tenggelam dalam perjudian. Apalagi ia merasa tidak ada peningkatan prestasi tetapi membutuhkan uang untuk hidup.
Selama empat tahun Hossam melenggang ke berbagai turnamen tenis internasional bukan untuk mengejar gelar juara melainkan uang dari perjudian.
Baca Juga: GBK Tutup karena PSBB, Timnas Tenis Libur 2 Pekan
Kapten timnas tenis Indonesia untuk Fed Cup 2020, Deddy Tedjamukti, pun memberi komentar tentang kemungkinan match fixing di dalam tenis Indonesia.
"Kalau di Indonesia enggak mungkin (ada match fixing tenis)," ujar Deddy Tedjamukti kepada Skor.id.
Menurut Deddy Tedjamukti, para petenis Indonesia memiliki fokus yang berbeda. Bukan sekadar mengejar uang seperti yang dilakukan Hossam.
"Kebanyakan yang match fixing enggak untuk cari prestasi tetapi cari uang. Nah, kalau di Indonesia ini kan masih dalam kategori mencari prestasi," Deddy menjelaskan.
Petenis Indonesia, seperti Aldila Sutjiadi, dinilai masih memiliki mimpi untuk berprestasi di kancah internasional. Sehingga perjudian hanya akan menghancurkan karier mereka.
Deddy pun menjelaskan, jika Federasi Tenis Internasional (ITF) sudah makin ketat mengawasi potensi pengaturan pertandingan.
"Dari ITF juga sudah dicegah. Kalau ada yang telepon di pinggir lapangan, langsung dilarang," pria 55 tahun ini menambahkan.
Selama mendampingi timnas tenis Indonesia dan wara-wiri ke berbagai turnamen internasional, Deddy yakin bahwa anak didiknya bersih dari match fixing.
Deddy menyebut mereka yang melakukan match fixing adalah orang-orang dengan uang bawah tangan yang besar.
"Sejauh ini saya tidak pernah melihat (match fixing oleh pemain Indonesia)."
"Istilahnya kalau dia mau mengalah untuk dapat sejumlah uang, jadi uang hadiah di bawah tangannya lebih gede," Deddy Tedjamukti memungkasi.
Baca Juga: Pelatnas Bertentangan dengan PSBB, Kemenpora Bakal Konsultasi ke Gugus Tugas
Meski satu per satu kasus pengaturan laga mulai terungkap, tetapi masih saja ada kasus perjudian pertandingan olahraga. Tidak hanya di tenis tetapi juga cabang olahraga lain.
Selain berupaya untuk memberantas pihak yang terlibat langsung, perlu ada kesadaran dari atlet untuk membentengi dan tak melibatkan diri dalam pengaturan hasil pertandingan.