- Direktur Utama PT LIB, Akhmad Hadian Lukita, menegaskan kesiapannya menghadapi tantangan untuk mengelola kompetisi sepak bola Indonesia.
- Akhmad Hadian Lukita sudah menyiapkan berbagai rencana untuk pengembangan bisnis PT LIB maupun kompetisi.
- Akhmad mengungkapkan nilai komersial Liga 1 bisa lebih dari Rp600 miliar.
SKOR.id - Sejak 13 Juni 2020, PT Liga Indonesia Baru (LIB) telah resmi menunjuk Direktur Utama (Dirut) mereka yang baru, yakni Akhmad Hadian Lukita.
Nama Akhmad Hadian Lukita memang tidak familiar di kalangan sepak bola Indonesia. Tapi dari segi urusan bisnis dan teknologi, lelaki lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) itu sudah kenyang pengalaman lebih dari 15 tahun.
Tantangan berat bakal dihadapi Akhmad Hadian Lukita di PT LIB yang merupakan pengelola kompetisi profesional di Indonesia, Liga 1 dan Liga 2.
Bukan hanya harus memikirkan bagaimana pengembangan bisnis kompetisi, tapi Akhmad juga harus bersiap menghadapi berbagai kemungkinan konflik organisasi yang bakal muncul nantinya.
Untuk mengetahui lebih dalam visi dan misi yang ingin dijalankan Akhmad untuk kompetisi sepak bola Indonesia, Skor.id pun mendapatkan kesempatan untuk mewawancarainya secara eksklusif di kantor PT LIB, Jakarta, Jumat (26/6/2020).
Dalam kesempatan itu, Akhmad bercerita bagaimana ia lebih dulu berdiskusi dengan Ketua Umum PSSI, Mochamad Iriawan, sebelum akhirnya tertarik untuk terjun di PT LIB.
"Visi misi PSSI kan kita tahu sendiri lah tujuannya pasti untuk kepentingan nasional, timnas, pembinaan, dan ujungnya industri bola harus hidup. Nah industrinya nih, saya tertarik di situ. Jadi saya pikir kalau cuma mengelola timnas saya harus belajar banyak. Tapi kalau industri atau sportainment, ini yang mungkin saya bisa cepat belajar, bisa mulai masuk ke situ," kata Akhmad.
Selain itu, ia juga memiliki berbagai program jangka pendek dan jangka panjang agar nilai komersial kompetisi bisa lebih meningkat.
Pengelolaan bisnis dan teknologi tampaknya akan dikolaborasikannya untuk meningkatkan hal tersebut.
Dari hitung-hitungan kasarnya, saat ini nilai komersial Liga 1 mencapai ratusan miliar rupiah.
"Kalau menurut beberapa data, itu katanya setiap klub bernilai sekitar Rp600 miliar. Nah, itu kan nilai perusahaannya. Nilai bisnis yang bisa digali di luar itu bisa lebih besar menurut saya," ujarnya.
"Potensinya itu seperti gunung es. Yang kita lihat permukaannya seperti itu, tapi di dalamnya ada yang lebih besar. Ini yang belum digali. Saya ingin masuk ke situ, paling tidak bisa menambah profit dari perusahaan ini dan bisa menyebarkan ke insan sepak bola maupun pembinaan," Akhmad menjelaskan.
Bagas Kaffa Akui Timnas Indonesia U-19 Masuk Grup Berat di Piala Asia U-19 2020https://t.co/wpaG8exzjM— SKOR Indonesia (@skorindonesia) June 27, 2020
Persiapan untuk menangkal agar kompetisi terhindar dari match-fixing juga sudah mulai dipikirkannya. Termasuk beberapa opsi waktu pelaksanaan dan lokasi pertandingan Liga 1 2020 sudah ada di kantongnya.
Bukan hanya itu, ia juga mengungkapkan mengenai hobinya di Formula 1 (F1). Untuk lebih lengkapnya, simak wawancaranya berikut ini:
Apa alasan atau yang membuat Anda mau jadi Direktur Utama PT LIB, padahal tekanan dan bebannya begitu berat?
Alasannya memang sepak bola memiliki daya tarik tinggi. Jadi daya tarik itu yang membuat saya ingin lebih tahu, karena memang segala sesuatu itu pasti ada unsur manajemennya. Jadi, bagaimana cara mengelola sebuah organisasi atau sebuah perusahaan itu ada ilmunya. Kebetulan saya berada di situ, mungkin dalam arti keilmuan saya ada di manajemen, dan saya ingin melihat ke depan bisnis ini semua berdasarkan informasi teknologi.
Jadi kalau lihat sepak bola, saya kira juga tidak jauh dari itu. Jadi harus ada unsur IT-nya, ada unsur bisnisnya, ada unsur entertainmentnya. Kalau dilihat, memang, tidak bisa dimungkiri bola itu (olahraga paling digemari) yang nomor satu di dunia. Pemainnya banyak, terus cara mengelola pemain bagaimana, cara membuat kompetisi yang terdiri dari berbagai klub, yang juga orangnya banyak, dan penontonnya juga sangat banyak. Saya kira itu yang menjadi daya tarik tersendiri.
Sudah sesiap apa Anda menghadapi konflik maupun intrik politik yang kerap terjadi di PT LIB maupun PSSI?
Persiapannya itu memang tidak mudah buat saya. Mungkin pengalaman saya yang sudah anggap lah usia di atas 50 tahun, saya sudah menghadapi berbagai pekerjaan dan pengalaman. Bidangnya memang agak pindah-pindah, tapi memang di situ. Kalau memang ada intrik politik, jujur saya tidak melihat buat saya itu menjadi tantangan, tapi memang pasti ada unsur itu. Dan saya lihat sih dari PSSI ada visi misi yang kayaknya lebih menuju perbaikan. Saya ingin ikut di situ, memajukan sepak bola di Indonesia.
Bisa ceritakan kedekatan Anda dengan Ketum PSSI, Mochamad Iriawan, maupun awal dari proses menuju ke PT LIB?
Saya peserta didik Lemhannas (Lembaga Pertahanan Nasional) tahun 2019, kebetulan dari Jawa Barat, dari Bandung. Dan Pak (Mochamad) Iriawan orang Jawa Barat juga. Siapa yang tidak kenal Pak Iriawan? Beliau itu kan sangat terkenal.
Saya juga kan waktu itu ingin kenal dan setelah itu kami ngobrol-ngobrol, dan ada diskusi-diskusi soal bisnis. Ternyata Pak Iriawan waktu itu juga sedang melakukan roadshow, di akhir-akhir tahun, di berbagai provinsi untuk menjadi Ketua Umum PSSI.
Tapi memang setelah itu, agak lama, mungkin setelah Desember (2019) saya sudah tidak lagi berhubungan dengan dia. Tahu-tahu di bulan sebelum puasa, ada yang kontak saya. Diajak ketemu dan ngobrol-ngobrol. Akhirnya kami diskusi soal bola, karena beliau sudah menjadi Ketua Umum PSSI.
Saya lihat, bagus nih visi misinya. Visi misi PSSI kan kita tahu sendiri lah tujuannya pasti untuk kepentingan nasional, timnas, pembinaan, dan ujungnya industri bola harus hidup. Nah, industrinya nih, saya tertarik di situ. Jadi saya pikir kalau cuma mengelola timnas saya harus belajar banyak. Tapi kalau industri atau sportainment, ini yang mungkin saya bisa cepat belajar, bisa mulai masuk ke situ.
Visi dan misi seperti apa yang ingin Anda terapkan di PT LIB?
Pasti tentunya sebagai operator bola itu harus menjalankan misinya dari PSSI sebagai regulator, sebagai federasi sepak bola seluruh Indonesia. Jadi kami ikut saja dengan misinya PSSI. Memang di situ ada tontonan yang menarik, permainan berkualitas di kompetisi, dan ada industri. Jadi saya ikut di situ, tapi tentunya kami harus jabarkan lagi kalo visinya.
Misalnya, ujungnya timnas kalau bisa juara di Asia, atau juara di dunia. Saya kira tidak ada yang tidak mungkin. Nah, misinya, mungkin saya harus menerjemahkan dari situ, sehingga saya harus melakukan atau menjalankan kompetisi yang berkualitas, baik, fair, tidak ada unsur yang dirugikan, kesetaraan dalam berbagai hal.
Jadi, target jangka pendek dan panjangnya...
Saya kira jangka pendek misalnya untuk tahun ini paling tidak satu atau dua langkah kualitas kami tingkatkan misalnya dari segi tontonan. Saya lihat memang ada yang mesti diubah. Kita kan juga penonton liga Eropa dan lainnya. Cara mengambil angle (kamera penyiaran) atau apa, saya juga mau masuk di situ. Sehingga penonton lebih tertarik lagi.
Tapi yang lebih dalam lagi, sebenarnya saya ingin tontonannya bukan sekadar buat penonton yang suka bola. Kalau bisa penonton yang tadinya tidak suka bola jadi suka. Ada gap (jarak) menurut saya antara dunia bola dan masyarakat.
Mungkin saya sebut ya di sini. Misalnya kalau ada pertandingan bola, masyarakat menjadi ragu-ragu karena takutnya ada kerusuhan. Kan artinya ada gap di sini. Saya ingin harusnya masyarakat itu ikut ke dalam, sehingga sepak bola itu memang jadi hiburan keluarga, bukan sekadar untuk penggemar bola. Itu sih yang saya inginkan.
Bagaimana dengan rencana peningkatan komersial klub?
Paling kami juga harus diskusi bersama (klub), bahwa kami harus punya pemahaman bersama. Bahwa kondisi yang begini tidak dialami oleh klub saja, tapi oleh kita semua. Sponsor juga mungkin kan jadi berpikir, dalam arti sponsor masih berminat terhadap liga, tapi tentu beda dengan waktu kondisi normal.
Mereka apakah masih punya spending (membelanjakan dana) yang besar, atau bisa jadi dengan kondisi ini justrul lebih baik exposure-nya dengan adanya digital media atau apapun. Dan penyebarannya bisa lewat apa saja, bisa lewat Youtube, streaming, atau lainnya.
Kita juga harus bisa berbagi terhadap itu. Karena saya kira penontonnya tidak kurang nih, penonton tidak kurang, cuma exposure-nya bagaimana? Misalnya kalau lewat terestrial kan kita sudah bisa nilai dalam bentuk rating. Tapi dalam bentuk digital, saya kira itu bisa lebih dihitung. Penontonnya bisa lebih detail.
Secara hitungan bisnis, menurut Anda nilai Liga Indonesia bisa mencapai berapa miliar?
Dilihat dari klub-klubnya dulu. Klubnya itu punya valuasi. Saya membaca sedikit. Tapi memang data di bola sangat sedikit, di bisnisnya. Sangat minim. Itu saya ingin masuk ke situ, jadi data-datanya lebih detail, karena unsur keekonomian di situ mulai dari bolanya sendiri, turunan pekerjaannya, dampak sosialnya, dampak secara nasional, jumlah tenaga kerja yang terlibat, kan bukan sekadar pemain bola.
Tapi bisa advertising-nya jadi ikut, yang urusan cetak merchandise ikut, nah itu saya ingin gali di situ.
Tapi valuasi sebetulnya bisa kita lihat di situ kalau menurut beberapa data, itu katanya setiap klub bernilai sekitar Rp600 miliar. Ini untuk Liga 1. Nah, itu kan nilai perusahaannya. Nilai bisnis yang bisa digali di luar itu bisa lebih besar menurut saya. Potensinya itu seperti gunung es. Yang kita lihat permukaannya seperti itu, tapi di dalamnya ada yang lebih besar. Nah ini yang belum digali.
Saya ingin masuk ke situ, paling tidak bisa menambah profit dari perusahaan ini dan bisa menyebarkan ke insan bola maupun pembinaan. Misalnya ke PSSI kami bisa memberi lebih besar. Dan kami tujuannya ada pembinaan talenta-talenta muda. Yang dilihat tuh, oh ternyata bisa nih, karena yang dilihat selama ini kesulitan. Misalnya dana dan kenapa enggak kita bisa masuk ke sana.
Untuk Liga 2, saya belum mencapai seperti apa, lagi saya gali juga, mudah-mudahan paling tidak setengahnya (dari Liga 1) lah. Angka pragmatisnya begitu. Harusnya Liga 1 bisa kami naikin, Liga 2 bisa otomatis kebawa. Tapi memang di sini tujuannya Liga 2 ini harusnya jadi seperti loncatan ke Liga 1. Kualitasnya harusnya minimal sama dan kami harapkan penontonnya lebih banyak lagi dari yang sekarang.
Rencana musim ini selesainya kapan dan rencana untuk musim depan bagaimana?
Skenario masih dibuat, karena kami masih menunggu surat keputusan dari PSSI. Misalnya tanggalnya kapan yang bisa kami jadikan patokan. Tapi skenario kan harus kami buat dari sekarang. Misalnya September, akhirnya di bulan apa, mulainya kapan, itu juga ada hitungannya.
Karena jangan sampai terlalu mepet, kasihan pemainnya, terlalu jauh juga kita harus berpikir soal musim depan. Ini jadinya ada carry over. Kalau bisa sih ini semakin sempit, jadi kami bisa normal lagi nanti, mulainya Februari (2021) dan berakhir November (2021). Inginnya begitu.
Yang jelas, misal mulai Oktober (2020), ini masih skenario ya, belum jadi keputusan, jadi misalnya beberapa bulan dari situ Maret atau April, tidak sampe Mei lah. Nah, dari situ kami bisa persiapkan musim berikutnya.
Tidak ada degradasi ini juga jadi bahan pertimbangan bagi kami. Misal, kita bandingkan di sektor lain. Pendidikan misalnya. Kita tidak bisa menilai murid tidak lulus, hanya karena belajar lewat online. Kasihan, dia belajarnya juga tidak normal. Sekarang juga begini. Di situasi pandemi ini, penonton tidak ada. Menurut saya sih salah satu penambah semangat pemain ya penonton. Jadi akan menjadi tidak fair, jika kita anggap ini seperti normal, karena ini tidak normal.
Jadi, ayo kita sama-sama pemanasan dulu, liga hidup. Karena kalau tidak dihidupkan bisa kolaps. Industri ini susah loh kalo sudah mati. Jadi mendingan grafiknya menurun ke bawah, bisa kita naikin pelan-pelan, nanti kita normalkan kembali.
Dengan tidak adanya degradasi bukannya bisa saja memicu adanya match fixing. Memfilternya bagaimana?
Itu menjadi pertimbangan kami di urusan operasional. Tentunya match fixing itu ada unsur-unsur yang memang kita tidak harapkan. Intinya kami akan kawal, kami amankan. Intinya sih teknisnya mungkin setelah formatnya kami buat.
Sudah ditetapkan penyelenggaraan pertandingan kompetisi akan di kota mana?
Ada beberapa skenario dan ini belum pasti. Karena misalnya kita main di Jakarta, mau di GBK (Stadion Utama Gelora Bung Karno). Tapi kan tidak ada penontonnya. Nah, kan menjadi cost yang tidak seimbang, karena sewanya mahal.
Kita bisa geser ke beberapa tempat di Jakarta. Kalau di Bandung ya kita pilih kan ada beberapa stadion. Ini kan ada wacana bagaimana yang di luar pulau Jawa? Ini dikumpulkan bukan karena di Jawa, bukan hanya soal fasilitasnya.
Tapi kan untuk penerbangan di luar pulau Jawa ini yang menjadi permasalahan. Satu, bukan soal biayanya saja, belum tentu ada penerbangannya. Kalau ternyata karena klub kebanyakan di pulau Jawa, jadi kami fokus ke pulau Jawa.
Tapi yang jelas kami harus mengikuti aturan pemerintah terkait kondisi kota-kota yang aman atau bahaya. Itu juga jadi pertimbangan. Karena ujungnya pemerintah juga harus tahu, jangan sampai karena dengan adanya bola memberi dampak yang merugikan pada penanganan Covid-19 ini.
Menurut Anda, yang paling memungkinkan di Jawa Tengah, Jawa Timur, atau Jawa Barat?
Kalau melihat kondisi Covid sekarang, mudah-mudahan sih kalau hijau semua, dalam waktu dekat September atau Oktober hijau semua, ya itu masih skenario, bisa kami geser ke Jatim. Kalau ternyata enggak, bisa kami geser ke Jabar, Jateng, atau Jakarta. Jadi itu sangat fleksibel melihat kondisi. Tapi kami sudah membuat skenario di antara itu.
Jadi tidak mungkin di Kalimantan?
Stadion (di Kalimantan) memang banyak dan bagus-bagus. Tapi bukan hanya soal itu. Bukan hanya fasilitas, tapi juga transportasi. Penerbangan juga masih belum stabil di Indonesia.
Tanggapan Anda mengenai klub-klub Liga 2 yang ingin membuat perusahaan operator sendiri?
Saya tidak bisa menjawab itu, karena itu urusannya PSSI dengan klub-klubnya. Karena PT LIB juga yang punya klub-klub Liga 1 dan ada PSSI-nya. Jadi kami menunggu saja.
Seperti apa perencanaan untuk Liga 2 yang Anda tawarkan pada musim ini?
Paling tidak seperti musim lalu, ada pengelompokkan di berbagai kota. Tapi tentunya kota yang dipilih adalah kota yang netral. Kami akan mencari tempat yang paling netral bagi para klub. Karena tidak ada penonton juga, jadi kami bisa lebih fleksibel menentukan stadion.
Bisa enam (grup) bisa empat (grup), tapi ini lagi dibuat skenario berbagai hal yang paling enak. Kami juga akan diskusi dengan klub, jangan sampai kami merasa yang paling tahu, jadi ini masih dalam level pembicaraan.
Bergeser sedikit tentang hobi Anda yaitu F1. Bagaimana awal mula Anda begitu tertarik dengan adu balap jet darat tersebut?
Kita bicara zaman dulu, F1 itu kan jadi menarik. Kenapa F1 ramai? Karena ada persaingan, yang akhirnya terjadi polarisasi. Penggemar F1 yang ini ngeledekin (penggemar) tim lain dan sebaliknya. Saya senang tuh ngeliatin itu. Dan waktu itu kalau tidak salah F1 enggak disiarin di tv lokal, adanya di tv luar, tv kabel.
Kami akhirnya semua sepakat berkumpul, waktu itu belum ada medsos seperti sekarang. Hanya ada tabloid yang suka menulis otomotif. Ya sudah kami kirim lewat surat pembacanya di redaksi. Akhirnya saya undang siapa saja yang penggemar untuk kumpul.
Kebetulan salah satu Pemred di situ mendukung. Akhirnya tanpa disadari, saya juga surprise, terkumpulah di Jakarta saat itu sekian ratus orang. Ternyata penggemar F1 itu seperti lautan juga, ramai.
Dan waktu itu ada diskusi, yuk kita bikin society dan kami berafiliasi dengan asosiasi suporter F1 di Italia. Ya kebetulan akhirnya kami bisa kontak dengan tim-tim dan diundang ke (sirkuit) Sepang dan sebagainya.
Jadi ketua enaknya diundang duluan. Di situ saya melihat ada sportainment, industrinya yang sudah lebih hidup. Sebenarnya sama dengan PSSI dan PT LIB. PSSI sebagai regulator, LIB sebagai operator. Di situ ada bagaimana cara mengatur bisnisnya, dan cara bagi ke tim-tim F1-nya. Dari hak siarnya dapat semua. Memang tim yang kaya dapatnya lebih sedikit, tim lain lebih besar. Di kita mungkin semua klub masih sama. Karena memang semua klub kita menarik.
Saya penggemar sepak bola dr dulu, cuma saya tidak ada di organisasi. Saya mengikuti liga dari Galatama, ISL, malah dari Perserikatan. Ada ISL, kemudian ada perpecahan ISL dengan IPL hingga jadi Liga Indonesia atau Liga 1.
Saya juga melihat (persaingan antarklub) poinnya dekat-dekat. Saya kira harusnya kalau diurus standar Eropa, kualitas Liga 1 bagus nih. Kalau di Eropa kan misal Spanyol, hanya dua klub, Jerman satu klub yaitu Bayern Munchen.
Di Inggris ada 4-5 klub, di Indonesia mungkin ada sekelas Inggris 4-5 klub yang memang banyak penggemarnya. Tapi cara bermainnya, saya lihat poinnya dekat-dekat. Satu klub yang lagi memimpin terus kalah, tahunya bisa langsung turun. Wah seru nih. Jadi itu daya tarik bola menurut saya.
Kembali lagi soal kompetisi sepak bola, bagaimana dengan rencana penggunaan VAR?
Memang satu hal, setelah saya di LIB, akhirnya saya tahu. VAR itu karena saya dari dunia IT, itu mudah. Jadi bawa VAR hanya urusan kamera, tinggal pasang kamera, pasang sensor, atau bolanya pakai chips misalnya. Kita tinggal buat parameternya apakah itu soal gol, garisnya di mana, bola masuk semua atau setengah, itu kan harus ada kesepakatan.
FIFA punya parameter itu. Kita ikuti. Jadi kalau soal teknologinya itu buat saya bukan hal yang sulit. Tapi bukan berarti dimudahkan. Orang Indonesia bisa buat. Saya yakin bisa buat.
Misalnya, di sini ada industri BUMN, atau ITB juga bisa buat kan. Tapi urusan lisensi, itu yang harus kita perhatikan. Jangan sampai kita buat, terus kata FIFA tidak sah.
Kita kan harus nurut sama FIFA sebagai federasi dunia. Nah, ternyata ada lagi harus menyekolahkan wasitnya atau orang yang terlibat, dan ternyata juga tidak mudah. Mahal. Tapi kita pasti ke sana arahnya. Bukan hanya buat, tapi ikut dengan FIFA. Misalnya kita coba 10 (pertandingan). Saya sih ingin coba. Setidaknya kini jangan sama dengan liga-liga yang dulu.
Rencana soal kiprah klub Indonesia di Asia?
Sejujurnya saya belum banyak diskusi di luar nasional. PSSI juga lagi berbicara banyak dengan AFC, dan saya belum mendengar hasilnya. Tapi pasti yang jadi banyak pertanyaan bagaimana nanti jadwal bentrok dengan timnas segala macam. Saya kira harus ada aturan regulasi bahwa pemain-pemain yang ada di liga wajib jika dipanggil (timnas) atau klub harus melepaskan.
Saya kira regulasi itu tidak berubah. Kita tunggu saja. Tapi saya ingin kompetisi ini menghasilkan pemain-pemain berkualitas yang ujungnya timnasnya juga bagus. Jadi orang mau dan senang.
Satu lagi soal sepak bola menjadi profesi, saya kira itu sudah terjadi di Indonesia. Ini menarik, sebab dulu kan misal di Perserikatan menjadi pemain bola cuma sampingan. Dia kerja di Pemda. Kalau mau main nanti dia otomatis jadi pegawai Pemda karena dibiayai Pemda. Sekarang kan enggak. Harus pilih. Misal mau menjadi PNS atau pemain bola. Hanya yang sekarang terjadi pemain bola periodenya singkat, menurut saya. Karena pemain muda yang muncul jadi semakin banyak.
Saya ingin meneliti sebenarnya. Bagaimana pemain yang masih berumur 28 tahun yang sering sudah dianggap tua di bola, hidupnya seperti apa. Saya jadi terpikirkan juga, tergali. Apakah ada ide sesuatu agar bisa mengakomodasi mereka. Karena mereka juga kan penghasilannya besar.
Jadi ini tentang me-manage uang, bukan penghasilan. Misal saya punya seribu tapi bisa hidup setahun, tapi ada yang punya seratus ribu cuma bisa sehari. Tergantung orang. Bisa enggak kami mengurusi itu.
Tentu kami harus menggandeng yang berkompeten. Misal di urusan bisnis memberi masukan harus bagaimana. Mungkin enggak cepat sih, enggak sekarang. Mungkin tahun depan, atau dua tahun lagi. Saya ingin ke sana tuh. Bagaimana hidup pemain bola tenang.
Berita PT LIB Lainnya:
Liga Indonesia Segera Pakai VAR, Begini Penjelasan Dirut PT LIB
Penjelasan Dirut PT LIB Soal Rencana Liga 1 Dipusatkan di Pulau Jawa
Ikuti juga Instagram, Facebook, YouTube, dan Twitter dari Skor Indonesia.