- US Open 2020 menjadi sarana untuk berkampanye meningkatkan kesadaran publik soal isu rasisme.
- Spanduk raksasa "Black Lives Matter" dan "Thank You Frontline Workers" di pasang di tribune penonton.
- USTA, selaku panitia, mengajak 18 seniman BIPOC membuat instalasi seni untuk US Open 2020.
SKOR.id - Ada yang berbeda pada US Open tahun ini. Selain pandemi Covid-19 memaksa protokol ketat diterapkan, edisi 2020 jadi sarana melakukan kampanye anti-rasisme.
Asosiasi Tenis Amerika Serikat (USTA), selaku penyelenggara US Open, menggunakan ajang grand slam itu guna meningkatkan kesadaran publik terkait isu rasisme dan diskriminasi.
Sebagai bentuk komitmen dalam melawan rasisme, USTA dan US Open membuat keputusan berani untuk mengembangkan keberagaman dalam turnamen lewat Be Open Initiative.
Seperti diketahui, sepanjang tahun ini telah terjadi kasus di mana kaum minoritas selalu menjadi korban. Dari Breonna Taylor, George Floyd, hingga Jacob Blake.
Ketiganya menjadi korban kebrutalan polisi AS terhadap kaum kulit hitam sehingga memicu gelombang protes besar-besaran. Tak hanya di Negeri Paman Sam, tapi di seluruh dunia.
US Open 2020 memasang banner raksasa bertuliskan "Black Lives Matter" yang dipasang di tribune penonton Arthur Ashe Stadium pada hari pembukaan, 31 Agustus lalu.
Kemudian pada hari kedua, Selasa (1/9/2020), US Open memampang spanduk ukuran besar yang memuat tulisan "Thank You Frontline Workers".
Ini adalah ucapan terima kasih sekaligus penghormatan kepada tenaga medis, pemadam kebakaran, serta pekerja sosial sebagai garda terdepan selama pandemi.
Simulasi Thomas Cup 2020 PBSI: Juara, Tim Rajawali Diguyur Rp100 Jutahttps://t.co/5Xc7mA9D13— SKOR Indonesia (@skorindonesia) September 3, 2020
Panitia mengatakan banner akan diubah secara periodik sepanjang turnamen karena US Open juga ingin menyorot isu sosial lain, termasuk kesetaraan gender dan hak LGBQ.
"Kami ingin memanfaatkan US Open 2020 sebagai tempat untuk membangun kesadaran soal berbagai isu yang perlu dapat perhatian serius semua pihak," ujar juru bicara turnamen.
"Usaha (kami) ini termasuk melakukan rotasi desain spanduk di Arthur Ashe Stadium dan Louis Armstrong Stadium sepanjang turnamen berlangsung," ia menambahkan.
Dalam kampanyenya, Black Lives to The Front, USTA juga melibatkan 18 seniman BIPOC (Komunitas Kulit Hitam, Pribumi, Kulit Berwarna) di Negeri Paman Sam.
Mereka membuat lukisan yang diletakkan di kursi terdepan Arthur Ashe Stadium. Karya seni yang indah tersebut punya pesan mendalam dan diyakini dapat menggugah pikiran publik.
Ini bukan kali pertama US Open menyorot isu sosial. Pada 1973, mereka jadi grand slam pertama yang memberikan hadiah setara antara petenis putra dan putri.
US Open juga menamai lapangan utama, Arthur Ashe, sebagai bentuk penghormatan kepada petenis kulit hitam top AS yang meraih tiga gelar grand slam era 1969-1980.
USTA melalui US Open akan terus berkomitmen mendukung keberagaman serta kesetaraan, khususnya dalam olahraga tenis. Tentu harapannya ini akan menular ke ajang-ajang lain.
Ikuti juga Instagram, Facebook, YouTube, dan Twitter dari Skor Indonesia.
Berita US Open 2020 Lainnya:
US Open 2020: Stefanos Tsitsipas Lolos ke Babak Ketiga untuk Kali Pertama
US Open 2020: Serena Williams Kagumi Perjuangan Andy Murray