- Sejak 1994, tercatat ada empat operator kompetisi, yakni Badan Liga Indonesia, PT LI, PT LPIS, dan PT LIB.
- Namun, operator kompetisi pertama yang berbadan hukum adalah PT Liga Indonesia, yakni sejak musim 2008-2009.
- RUPS Luar Biasa PT LIB pada 18 Mei 2020 merupakan sejarah pertama sejak lahirnya operator liga berbadan hukum.
SKOR.id – Awalnya, operator kompetisi profesional Indonesia yang dimulai pada 1994, langsung di bawah PSSI dan belum memiliki badan hukum.
Transformasi pertama operator kompetisi Indonesia berawal pada 2008, saat PSSI yang dipimpin Nurdin Halid, membentuk PT Liga Indonesia (PT LI).
Tepatnya, akte pendirian perseroan terbatas PT LI dibuat pada 18 Oktober 2008, di hadapan Muchlis Patana, seorang notaris di Jakarta.
Berita PT LIB Lainnya: Persipura Usulkan 3 Nama yang Layak Pimpin PT LIB
Setelahnya, PT LI dipercaya PSSI untuk menjadi operator Liga Indonesia dengan nama baru, yakni Indonesia Super League mulai musim 2008-2009.
Sebelumnya, kompetisi profesional Indonesia dikelola Badan Liga Indonesia (BLI), sedangkan kompetisi amatir ditangani Badan Liga Amatir Indonesia (BLAI).
Hanya saja, ketika PT LI dibentuk, BLI dan BLAI belum dihapus. Dua lembaga selevel Departemen Kompetisi ini resmi dihapus pada 2014.
Pada awalnya, 99 persen saham PT LI dimiliki PSSI dan satu persen lainnya dimiliki Yayasan Sepak Bola Indonesia, yang adalah milik Nirwan Bakrie.
Perubahan komposisi kepemilikan saham PT LI terjadi pada 2011, dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT LI: 99 persen milik klub dan satu persen PSSI.
Transformasi komposisi pemegang saham ini dilakukan karena terjadi konflik internal di PSSI, di mana federasi era Djohar Arifin Husin mendirikan PT LPIS.
Berdasarkan Surat Keputusan Nomor SKEP/21/JAH/VIII/2011, PSSI menunjuk PT LPIS sebagai penyelenggara kompetisi profesional, menggantikan PT LI.
Karena 99 persen saham PT LI dimiliki PSSI, manuver dilakukan dalam RUPS, yakni dengan mengalihkan 99 persen saham ke klub dan 1 persen PSSI.
Karena dualisme kompetisi ini pula lahir dualisme federasi. Klub-klub yang setia dengan PT LI mendukung lahirkan Komite Penyelamat Sepak bola Indonesia (KPSI).
Menariknya, pada musim konflik ini ditandai dengan penerapan larangan penggunaan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk klub sepak bola profesional.
Larangan tersebut tertuang dalam Permendagri No. 22/2011 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah Tahun 2012.
Peraturan tersebut diputuskan pada Juni 2011 dan resmi berlaku mulai awal tahun 2012. Karenanya pada musim 2011/2012 banyak klub menunggak gaji.
Pada 2015, PSSI “diembargo” FIFA. Kompetisi yang baru berlangsung dua pekan setengah dengan terpaksa dihentikan dengan status kahar atau force majeure.
Setahun kemudian, tepatnya pada 13 Mei 2016, FIFA mencabut sanksi untuk Indonesia. Namun, pada 2016 belum ada kompetisi. Sebagai gantinya diadakan turnamen.
Turnamen yang dimaksud adalah Indonesia Soccer Championship A 2016, yang dikelola oleh operator dengan nama PT Gelora Trisula Semesta (GTS).
Pada 2017, setelah Edy Rahmayadi menjadi pimpinan PSSI, PT LI dihapus. Sebagai gantinya didirikan PT Liga Indonesia Baru (LIB) untuk mengelola kompetisi profesional.
Sebagai pertanda pembaruan, PSSI mengganti nama kompetisi menjadi Liga 1, Liga 2, dan Liga 3. Alasan PSSI saat itu untuk menyederhanakan nama kompetisi.
Setelah tiga musim berjalan, PT LIB mengalami goncangan baru. Untuk pertama kalinya sejak 2008, pemilik saham meminta pelaksanaan RUPS Luar Biasa.
Berita PT LIB Lainnya: Bhayangkara FC Siap Jadi Juru Damai Konflik PT LIB Saat RUPSLB
RUPS Luar Biasa ini akan berlangsung pada Senin (18/5/2020), tepatnya mulai siang ini. Ada tiga agenda utama dalam kegiatan istimewa tersebut.
Dengan kata lain, sejak 1994 ada empat operator kompetisi, yakni BLI dan BLAI, PT LI, PT LPIS, PT LIB, dan satu operator transisi PT GTS.