- Yuni Kartika menyampaikan pendapatnya mengenai perbedaan kondisi tunggal putri Indonesia saat ini dan ketika awal 90-an.
- Kurangnya tunggal putri kelas dunia di dalam pelatnas menjadi salah satu alasan Indonesia sulit juara Uber Cup lagi.
- Hal itu juga mempengaruhi proses pencarian bibit di level anak-anak.
SKOR.id - Realistis terhadap tunggal putri adalah pendapat Yuni Kartika ketika membahas mengenai kapan gelar juara Uber Cup akan kembali ke Indonesia.
Pada Sabtu (16/5/2020), Skor.id berkesempatan untuk bertukar cerita dengan salah satu mantan pemain tunggal putri Indonesia era 90-an, Yuni Kartika.
Berita Bulu Tangkis Lainnya: Usia Greysia Polii Bakal Jadi Problem Saat Olimpiade Tokyo Digelar
Dalam sesi Live Instagram bersama Skor.id, perempuan 46 tahun tersebut menyoroti kondisi tunggal putri Indonesia dan peluang meraih kembali Uber Cup, seperti 1994 dan 1996.
"Harus realistis untuk tunggal putri, Indonesia berat," ujar Yuni Kartika ketika ditanya peluang Indonesia menang Uber Cup.
"Jika berkaca dari peringkat tunggal putri, Grego (Gregoria Mariska Tunjung) berada di (peringkat) sekitar 30-an yang lainnya ada di bawahnya. Nah, itu tentu saja tidak gampang untuk menang Piala Uber," kata Yuni Kartika.
Menurut Yuni Kartika, kondisi tunggal putri Indonesia saat ini sangat berbeda dengan saat dirinya masih aktif di pelatnas di awal tahun 90-an.
Pada masa itu, tunggal putri Indonesia memiliki banyak pemain kelas dunia, seperti Susy Susanti, Yuliani Santoso, hingga Mia Audina.
"Dulu (regenerasi) sampai Mia (Audina), setelah itu berhenti. Setelah itu masih ada Lidya (Djaelawijaya) atau Ellen (Angelina). Habis itu benar-benar lepas. Maria Kristin yang terakhir," tutur Yuni.
Meskipun saat ini Indonesia belum memiliki skuad tunggal putri yang solid, Yuni tetap optimistis bahwa Uber Cup akan kembali ke Ibu Pertiwi di masa depan.
"Mungkin enggak? Mungkin. Tapi memang kalau tidak ada pemain-pemain top di satu negara maka akan menyulitkan. Kalau ada bintangnya akan lebih enak karena kalau latihan setiap hari akan selalu lihat dia. Jadi tahu standar apa yang mau dicapai."
Yuni kemudian mencontohkan bagaimana Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo dan Muhammad Ahsan/Hendra Setiawan menjadi standar baru yang mengangkat ganda putra pelatnas lain untuk menyamai prestasi keduanya.
Selain faktor internal pelatnas, Yuni juga menyoroti bagaimana sulitnya mencari bibit tunggal putri saat ini.
Berita Bulu Tangkis Lainnya: Temu Kangen dengan Orang Tua ala Gregoria Mariska Selama Masa Pandemi
"Saya juga di Djarum Foundation. Kami tiap tahun mengadakan audisi untuk atlet dan jumlah peserta putri semakin ke sini semakin menurun, mungkin 20-30 persen dari total," ujarnya.
"Kualitasnya juga belum di level yang kami harapkan. Jadi kalau kami ambil atlet ini maka pekerjaan rumahnya jauh lebih banyak untuk mengejar standar minimal. Mau tidak mau, kalau dari hulunya sudah begini, harus lebih (kerja) ekstra untuk mencari bibit berbakat."
Yuni Kartika menambahkan jika prestasi tunggal putri yang terus menurun sedikit banyak mempengaruhi minat anak-anak perempuan untuk mengejar impian menjadi atlet bulu tangkis.
Pesan Yuni Kartika untuk tunggal putri Indonesia saat ini adalah terus mengejar ketertinggalan dari negara lain apalagi melihat peta kompetisi dunia saat ini yang terbuka.
Dibandingkan dengan empat sektor lainnya, tunggal putri menjadi sektor tanpa ada dominasi di 10 besar dunia.
Berita Bulu Tangkis Lainnya: Tunggal Putri Tumbang, Pelatih Tetap Apresiasi
"Jadi, kalau tanya kapan menang Piala Uber? Maka harus dijawab dengan kapan indonesia mau mempersiapkan atlet berbakatnya. Karena sekarang sudah harus mulai membangun atlet yang berkualitas agar peringkat (tunggal putri) lebih baik," kata Yuni Kartika.
Simak wawancara lengkapnya di bawah ini.