SKOR.id - Karier cemerlang Muhammad Ali dipenuhi dengan sejumlah pertarungan yang luar biasa di atas ring. Namun “Thrilla in Manila” melawan Joe Frazier paling menonjol sebagai pertarungan yang sangat epik.
Pertarungan itu adalah akhir dari trilogi antara dua petinju hebat dalam sejarah dengan kepribadian yang sangat berbeda, yang bertarung dalam pertarungan yang brutal dan melelahkan sehingga meninggalkan bekas luka permanen pada keduanya.
Pada kenyataannya dua atlet tinju kelas berat itu keluar dari ring pada tahun 1975 sebagai petinju yang berbeda dari saat mereka masuk.
Akhir dari trilogi olahraga yang luar biasa
"Thrilla in Manila" adalah pertarungan yang menghasilkan nada hening dan penghormatan mendalam dari semua fanatik tinju, walaupun ini bukan pertama kalinya Muhammad Ali dan Joe Frazier bertemu di atas ring. Mereka pertama kali bertarung dalam "Fight of the Century" pada tahun 1971 di Madison Square Garden, New York.
Frazier, yang saat itu berstatus juara dunia kelas berat, memastikan kekalahan pro pertama Ali (dan satu-satunya knockdown dalam tiga pertemuan mereka) di ronde ke-15, dan dimenangkannya dengan keputusan bulat - meskipun dia harus menghabiskan tiga minggu di rumah sakit untuk memulihkan fisiknya.
Pertarungan berikutnya, “Super Fight II” berjalan sesuai keinginan Ali, meskipun ada beberapa kontroversi berhubungan dengan perilaku wasit Tony Perez selama pertarungan tersebut.
Pada saat pertarungan ketiga dan terakhir mereka tiba, baik Ali maupun Frazier telah melewati masa jaya mereka.
Frazier kalah dalam dua pertarungan besar terakhirnya (dia kalah dalam kejuaraan dunia dari George Foreman sebelum kalah dari Ali).
Sementara itu, Ali memandang seluruh prospek itu sebagai alasan untuk berlibur ke Filipina selama empat minggu yang semuaya dibayari oleh calon istri ketiganya, Veronica Porché Ali.
Pertarungan itu terjadi di Manila karena pemerintah Filipina memegang kartu as. Mereka menginginkan event olahraga besar yang akan membawa perhatian positif dan banyak uang ke negara itu, sekaligus mengalihkan perhatian orang dari situasi politik yang kacau dan ekonomi yang gagal.
Presiden Ferdinand Marcos memberi promotor Don King apa pun yang dia minta untuk mewujudkan pertarungan tersebut. Sang presiden akhirnya mendapatkan tontonan yang dia bayar, dan beberapa lainnya.
Duel itu memenuhi hype, baik dan buruk
Sebagai pribadi, Ali dan Frazier ibarat minyak dan air. Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk muak satu sama lain.
Tema dan nama pertarungan mereka itu ditetapkan sejak awal ketika Ali membandingkan lawannya dengan kera raksasa. “Ini akan menjadi pembunuhan dan sensasi dan kedinginan ketika saya mendapatkan Gorilla di Manila,” Ali sesumbar sambil meninju boneka gorila kecil yang dibawanya ke konferensi pers.
Maka wajarlah, Frazier yang marah ini, yang mengira dia tak mendapat pujian yang cukup untuk mengalahkan Ali pertama kali. Dia pun membalas, “Saya tidak ingin menjatuhkannya, saya ingin menyakitinya. Jika saya menjatuhkannya, saya akan mundur, memberinya kesempatan untuk bernapas. Saya menginginkan hatinya.”
Penonton bisa merasakan kebencian timbal balik di udara. Arena tidak memiliki AC. Dikombinasikan dengan kerumunan penuh dan kelembapan tinggi, situasi ini membuat semua orang sulit bernapas.
Kedua petinju menyalurkan tidak suka mereka ke dalam pertarungan memar yang tak terlupakan, saling bertukar pukulan mengayunkan momentum setiap beberapa ronde.
Frazier bertahan selama 15 ronde, Ali mengharapkan keputusan awal. Di babak awal, dia sempat bergumam kepada Frazier: "Joe, mereka bilang kamu sudah habis." Frazier balas menggeram: "Mereka berbohong."
Namun, untuk menyenangkan penonton mereka di seluruh dunia, Ali dan Frazier memberikan semua yang mereka miliki. Mereka menanggapi setiap tantangan yang diberikan lawan terlepas dari rasa sakit dari setiap pukulan.
Di penghujung ronde kesembilan, Ali berjuang melawan kelelahan. Dia memberi tahu pelatihnya, "Sobat, ini saat terdekat saya dengan kematian."
Mata kanan Frazier bahkan hampir tertutup karena bengkak. Padahal, dia sudah hampir buta di mata kirinya setelah kecelakaan saat pelatihan beberapa tahun sebelumnya.
Pertarungan berlangsung selama lima ronde lagi. Setelah ronde ke-14, dengan wajah Frazier berlumuran darah, pelatihnya, Eddie Futch, menyebut pertarungan itu bertentangan dengan keinginannya. Ali pun menang dengan keputusan TKO.
"Saya sedang memikirkan keluarga Joe, betapa mereka mencintainya," kata Futch kepada Independent tak lama sebelum kematiannya.
Mundur juga melintas di pikiran Ali. Penulis biografinya Thomas Hauser mengatakan dalam film dokumenter tahun 2008 bahwa di akhir ronde itu, seorang cornerman Ali mendengar sang juara memberikan instruksi pada pelatih Angelo Dundee untuk "memotong (glove) mereka".
Efek pertarungan itu tidak pernah hilang
Ali dan Frazier bertarung beberapa kali lagi setelah "Thrilla". Tapi mereka tidak lagi pernah sama setelah pertarungan terakhir mereka itu.
Ali mempertahankan gelar dunianya enam kali lagi. Dia mendapatkan kekuatannya kembali setelah kalah dari Leon Spinks pada tahun 1978, tetapi dia tidak pernah pulih sepenuhnya dari pukulan Frazier.
Dia memutuskan pensiun pada tahun 1981 setelah kekalahan berturut-turut dari Larry Holmes dan Trevor Berbick.
Frazier hanya bertarung dua kali lagi setelah pertarungan Manila itu. Pertama, dia kalah lagi dari George Foremen pada tahun 1976. Kemudian, dia bermain imbang dengan Floyd Cummings yang kurang dikenal dalam 10 ronde setelah pensiun pada tahun '81.
Betapapun mereka membenci satu sama lain, "Thrilla in Manila" itu yang membuat Ali dan Frazier terhubung oleh sejarah selamanya.***