SKOR.id – Setelah 316 pertandingan memimpin, pelatih Carlo Ancelotti telah melampaui legenda Real Madrid Miguel Munoz sebagai manajer paling berprestasi dalam sejarah klub raksasa asal Spanyol tersebut.
Itu terjadi seiring dengan gelarnya yang ke-15 sebagai pelatih Madrid, yang diraih dengan kemenangan 3-0 atas tim Meksiko Pachuca di final Piala Interkontinental di Qatar pada hari Rabu (18/12/2024) malam waktu setempat atau Kamis dini hari WIB.
Gelar tersebut merupakan Piala Interkontinental FIFA pertama yang diraih Ancelotti dalam format kompetisi yang telah diubah. Juga penghargaan keseluruhannya yang ke-31 sebagai pelatih. Dari jumlah tersebut, hampir setengahnya datang dengan seragam Real Madrid.
Hebatnya, dengan merebut trofi ke-15 bersama Madrid, Ancelotti mematahkan rekor milik Munoz yang bertahan selama 52 tahun, terkait pelatih Los Blancos dengan gelar terbanyak.
Pelatih dengan Gelar Terbanyak di Real Madrid
- Carlo Ancelotti: 15 trofi
- Miguel Muñoz: 14 trofi
- Zinedine Zidane: 11 trofi
- Vicente Del Bosque: 7 trofi
- Leo Beenhakker: 6 trofi
- Jose Mourinho: 3 trofi
- Miljan Miljanic: 2 trofi
- Vujadin Boskov: 2 trofi
Munoz melatih Madrid pada Februari sampai April 1959 dan antara April 1960 sampai Januari 1974. Rekor yang dibuat Munoz sebagai pelatih Madrid sebelumnya diyakini akan sangat dipecahkan.
Menangani Madrid dalam 605 pertandingan, Munoz memenangi 2 Piala Eropa/Liga Champions, 1 Piala Intercontinental, 9 La Liga, dan 2 Piala Spanyol. Trofi terakhir yang dipersembahkan Munoz untuk Madrid adalah La Liga 1972.
Pun demikian, Ancelotti mampu membuat rekor dengan jumlah pertandingan separuh lebih sedikit daripada Munoz dalam dua periode di Madrid, Juni 2013 sampai Mei 2015, dan sejak 1 Juni 2021 sampai sekarang.
Sebenarnya, apa saja yang membuat Ancelotti begitu sukses di Madrid? Skor.id akan coba membahasnya secara detail dalam Skor Special edisi kali ini. (Skor Special adalah artikel yang akan memberikan perspektif berbeda setelah Skorer membacanya dan artikel ini bisa ditemukan dengan mencari #Skor Special atau masuk ke navigasi Skor Special pada homepage Skor.id.).
Man-Manager Terbaik
Carlo Ancelotti dipandang sebagai man-manager terbaik. Ia jarang menerima pujian atas kecerdasan taktisnya. Faktanya, ia menjadi pelatih dengan gelar terbanyak di Liga Champions—2 bersama AC Milan dan 3 untuk Real Madrid.
Ancelotti adalah anomali besar dalam sepak bola modern. Ini adalah era para filsuf, dunia kepelatihan sepak bola didominasi oleh Pep Guardiola dan para pewarisnya yang begitu “mendewakan” permainan posisi. Dari Mikel Arteta dan Xabi Alonso hingga Vincent Kompany dan Enzo Maresca, ada benang merah yang sama, sebuah ideologi.
Namun kehadiran Ancelotti yang terus berlanjut di papan atas sepak bola menunjukkan bahwa masih ada jalan lain. Pelatih asal Italia yang dianggap anti-taktik ini justru berhasil mengukuhkan statusnya sebagai pelatih sepak bola paling sukses di dunia.
Publik mungkin mengetahui bila Real Madrid memiliki sumber daya yang cukup baik. Namun, pola permainan Madrid di bawah Ancelotti terasa berbeda, lebih longgar, dan kurang ditentukan.
Ancelotti adalah satu-satunya pelatih yang dalam empat musim yang menyingkirkan Guardiola dari Liga Champions dalam format duel dua leg – dan dia melakukannya tiga kali! Jadi, rasanya masuk akal untuk menanyakan pertanyaan mengapa fakta di atas bisa terjadi.
Segala upaya untuk menjelaskan keberhasilan ini biasanya dimulai dan diakhiri dengan keterampilan manajemen manusianya. Berbicara mengenai hal ini kepada Kaka, yang memenangi Ballon d’Or di bawah asuhan Ancelotti di Milan, dia melihat kualitas sang pelatihlah faktor utamanya.
“Carlo adalah yang terbaik bagi saya,” kata mantan gelandang serang yang juga pernah membela Madrid antara 2009-2013 itu kepada Sky Sports.
“Karakteristik paling mengesankan yang dia miliki, menurut pendapat saya, adalah kemampuannya dalam mengatur orang. Manajemen manusia sangat penting.
“Tentu saja, dia sangat bagus dalam taktik dan dia memahami permainan dan segalanya, tapi begitulah cara dia mengatur para pemainnya.”
Kisah asal usul Ancelotti menjadi pelatih super sudah terkenal. Sebagai pelatih muda di Parma Calcio 1913, Ancelotti menolak niat klub untuk mendatangkan penyerang kreatif Roberto Baggio menjelang akhir tahun 1990-an.
Ancelotti menolak peluang tersebut karena Baggio dinilainya tidak akan bisa diakomodasi dalam sistem 4-4-2 yang selama ini sakral baginya sebagai pengikut Arrigo Sacchi. Belakangan, Ancelotti menyesali keputusannya menolak Baggio.
Dari situlah Ancelotti belajar bagaimana menjadi manajer pemain terbaik, memanjakan bakat sejak saat itu dan menuai hasil yang didapatnya.
Saat ditanya apakah pernah punya masalah dengan Cristiano Ronaldo, Ancelotti menjawab: “Sebenarnya, justru dialah yang memecahkan masalah saya.” Ronaldo mencetak gol saat Ancelotti memenangi kompetisi utama klub Eropa untuk ketiga kalinya, pada 2014.
Gaya Manajerial Unik
Orang mengapresiasi Carlo Ancelotti karena pembawaannya yang tenang dan mudah diajak bicara untuk ukuran pelatih. Tidak seperti pelatih lain yang kerap meneriaki atau menekan pemain, Ancelotti memahami benar bagaimana untuk tetap tenang.
Para pemain yang pernah bekerja dengan Ancelotti mengakui mudah bekerja dengan sang pelatih. Selain itu, Ancelotti mampu membuat atmosfer tim menjadi positif.
Alasan lain di balik sukses Ancelotti, utamanya di Madrid, adalah fleksibilitas taktiknya. Ancelotti dikenal tidak pernah takut mengubah strategi tergantung situasi pertandingan, atau para pemain yang tersedia. Kemampuan Ancelotti untuk beradaptasi inilah yang membuatnya sukses menangani berbagai tim dan negara-negara berbeda.
Selain klub-klub Italia seperti AC Reggiana (1995-1996), Parma (1996-1998), Juventus FC (1999-2001), AC Milan (2001-2009), dan SSC Napoli (2018-2019), Ancelotti juga pernah menangani klub Inggris Chelsea FC (2009-2011) dan Everton FC (2019-2021), raksasa Prancis Paris Saint-Germain (2011-2013), jagoan Jerman FC Bayern Munchen (2016-2017), dan tentu saja tim elite Spanyol Real Madrid (2013-2015 dan 2021-….).
Bukan Tanpa Taktik
Formasi apa yang dimainkan Real Madrid saat mengalahkan Liverpool di final Liga Champions 2022? Jangan berharap Ancelotti memiliki jawabannya: “Jika Anda bertanya kepada saya bagaimana kami memainkan final di Paris, 4-3-3 atau 4-4-2, saya akan menjawab bahwa saya tidak tahu.”
Ada kecurigaan yang masih ada bahwa kesuksesan Ancelotti adalah sumber ketidaknyamanan bagi mereka yang terobsesi dengan taktik, perasaan bahwa karyanya dapat dianggap tidak menarik.
Musim panas lalu, ketika Sky Sports menanyakan pendapat para pelatih tentang rekan-rekan mereka yang paling inovatif secara taktik, mereka yang idenya akan membentuk masa depan sepak bola seperti Guardiola dan Roberto De Zerbi menjadi yang terdepan. Ancelotti bahkan tidak disebutkan.
Muncul pemikiran bahwa mereka kehilangan suatu trik jika mereka berpikir bahwa setiap kemenangannya dapat dijelaskan sebagai hasil karya orang lain. Kebebasan, yang diidentifikasi oleh Jude Bellingham sebagai alasan utama musim debutnya yang brilian dengan seragam Madrid, juga merupakan sebuah taktik.
Salah satu contoh adalah pertandingan leg kedua semifinal Liga Champions 2023-2024 melawan Munchen di kandang Madrid. Dalam laga yang dimenangi Los Blancos, 2-1, itu, Ancelotti menurunkan formasi awal 4-4-2.
Namun jika melihat pergerakan pemain di lapangan dan arah operan di laga itu, Rodrygo yang seharusnya bermain sebagai sayap kanan justru lebih banyak beroperasi dan melepaskan banyak umpan berbahaya di sayap kiri bersama Vinicius Junior sang pemilik posisi asli.
Pelatih model Guardiola jelas bakal ketakutan jika pemainnya seperti Rodrygo. Guardiola pernah memasang kerucut di lapangan latihan untuk menjelaskan kepada pemain sayapnya bahwa mereka tidak boleh keluar dari zona tersebut.
Namun, kebebasan merupakan komponen penting dari tim Ancelotti. Menariknya, para pemain Madrid tampaknya menikmati taktik yang diterapkan Ancelotti. Dari situlah keajaiban kerap terjadi.
Terkait gaya para pemainnya saat melawan Munchen, Ancelotti telah menjelaskan pemikirannya mengenai hal ini dengan jelas.
“Jika Vinicius atau Rodrygo merasa lebih nyaman membuka sayap ketika tim menguasai bola, saya tidak akan menyuruh mereka untuk tetap berada di dalam, karena itu adalah interpretasi individu terhadap permainan,” katanya.
Ancelotti ingin membuka kreativitas para pemain kelas dunianya, mendorong spontanitas yang dapat membedakan mereka. Mungkin secara intuitif, ia menyadari bahwa manusia mampu menemukan solusi yang mungkin tidak bisa dilakukan dengan pendekatan yang lebih ketat.
Ini bukan berarti Ancelotti tidak memiliki taktik untuk Madrid. Justru inilah taktiknya. Jangan mengekang bakat. Hal ini tidak ada untuk dimanfaatkan tetapi dilepaskan.
Tanpa bola, Madrid tetap disiplin. Prinsip kompak tetap ada. Hal itu tidak bisa ditawar lagi dan terbukti dari keberhasilan mereka membendung Manchester City di perempat final Liga Champions musim lalu. Namun begitu menguasai bola, saat itulah para pemain bisa bermain.
“Saya tidak melakukan itu karena saya tidak ingin menghilangkan kreativitas semua orang. Kesalahan yang dilakukan pelatih generasi baru adalah memberikan terlalu banyak informasi kepada pemain saat bermain bola. Hal ini menghilangkan kreativitas,” ujar Ancelotti.
“Menunjukkan kepada pemain posisi tanpa bola adalah satu hal, di sana Anda harus memberikan banyak informasi, karena tanpa bola yang ada adalah konsentrasi, pengorbanan, dan permainan kolektif. Namun dengan bola, itu tergantung pada kreativitas pemain.”
Tampaknya tidak tepat jika menyebut Ancelotti sebagai sosok yang kontra-budaya. Ia adalah manajer Real Madrid, bangsawan sepak bola sebagai pemain dan pelatih. Namun, mengingat status Guardiola, kebijaksanaan yang diterima, ortodoksi ini, ide-idenya kini tampak berbahaya jika dibandingkan.
Hal ini mengingatkan publik pada percakapan dengan Henrik Rydstrom awal tahun ini terkait pendekatannya di Malmo yang membuatnya digambarkan sebagai pelatih paling inovatif di Eropa karena penolakannya terhadap permainan posisi demi sesuatu yang lebih cair.
“Kadang-kadang pelatih ingin merasa seperti Tuhan dan saya pikir itulah sebabnya permainan posisi sangat populer. Tentu saja ini cara bermain yang sangat bagus. Sebagai pelatih, Anda merasa memiliki semua jawabannya. Di sini, saya tidak memiliki jawaban dalam setiap situasi,” kata Rydstrom.
“Para pemain menemukan solusinya. Itu merupakan tantangan terbesar bagi saya dan mereka, namun saya dapat melihat bagaimana hal tersebut telah membuka beberapa hal yang baik.”
Seperti biasa, rangkuman Ancelotti lebih ringkas. “Kalau sebuah tim tidak punya identitas yang jelas, itu bukan batasan. Itu adalah kualitas,” ujarnya.
Mungkin apa yang diucapkan Ancelotti mengarahkan publik agar kembali ke manajemen manusia. Ada yang bertanya-tanya mengapa Real Madrid begitu sering menemukan pemenang di akhir pertandingan. Ada yang bilang itu tak lepas dari sejarah klub. Namun ada manfaat psikologis dari gaya permainan ini.
Tetap berada di jalur Anda dan percaya pada sistem menawarkan lebih banyak kepastian bagi pemain. Lakukan pekerjaan itu dan tujuan akan datang. Namun untuk mewujudkan sesuatu, perlu dorongan untuk menjadi berbeda, menjelajah mencari solusi, hingga hal itu benar-benar bisa memberdayakan.
Ini semua bisa membawa Real Madrid meraih kejayaan lagi. Namun begitu, jangan berharap siapa pun akan memuji taktik Ancelotti jika memang demikian.