SKOR.id – Mendiang Wayman Tisdale tercatat memainkan 840 pertandingan dalam kompetisi NBA selama 12 musim berturut-turut.
Sebagai pebola basket profesional, Tisdale rata-rata mencetak lebih dari 15 poin dan 6 rebound per game bersama Indiana Pacers, Sacramento Kings, dan Phoenix Suns antara 1985-1997.
Selama berada di California, ia dan Mitch “The Rock ” Richmond membentuk salah satu duo paling dinamis dalam kompetisi NBA era tersebut.
Pada tingkat perguruan tinggi, Tisdale jadi legenda di Universitas Oklahoma, bahkan nomor punggungnya kini sudah dipensiunkan sebagai penghormatan.
Dia masuk tim utama All-American tiga kali, menjadikannya pemain perguruan tinggi pertama yang mendapatkan tempat pada musim pertama, tahun kedua, dan junior.
Penghargaan tahunan USBWA untuk mahasiswa baru terbaik putra sekarang diberi nama Wayman Tisdale Award, juga sebagai penghormatan kepadanya.
Pada 2009, tahun ketika ia wafat dalam usia 44 tahun, Tisdale dinobatkan sebagai National Collegiate Basketball Hall of Fame.
Prestasi Tisdale boleh mentereng dalam dunia bola basket, tapi cinta sejatinya sebenarnya adalah musik.
Belajar Gitar
Putra seorang pengkhotbah, Tisdale lahir di Fort Worth, Texas, pada 1964. Ia dibesarkan di Tulsa, Oklahoma, tempat ia mulai bermain musik di gereja ayahnya.
Dia pertama kali belajar gitar dengan mematahkan sebagian besar senar saat berlatih.
Akhirnya, dengan hanya dua senar tersisa, yang bisa dia mainkan hanya bagian bass-nya berulang-ulang.
Ada tantangan lain juga: dia kidal. Lantaran tidak bisa mendapatkan gitar kidal atau senar baru, dalam hal ini ia membalikkan gitarnya.
Tisdale melakukan yang terbaik untuk belajar bagaimana bermain bersama kelompok jazz dan funk yang dia sukai pada tahun 1970-an.
Pada masa remajanya, ukuran dan bodi atletis Tisdale tumbuh dengan sangat cepat.
Dia berkembang menjadi bintang bola basket sekolah menengah dan akhirnya direkrut oleh Universitas Oklahoma, tempat ia mendominasi kompetisi.
Tisdale bahkan bermain di Olimpiade 1984 bersama timnas Amerika Serikat peraih medali emas termasuk Michael Jordan, dan mencatat rebound terbanyak dalam ajang itu.
Pada draft NBA 1985 silam, ia dipilih oleh Indiana Pacers setelah secara keseluruhan menempati urutan kedua.
Dalam awal karier bola basket profesionalnya, Tisdale sangat berbeda dibanding banyak rekan setimnya di NBA.
Sementara pemain lain membawa tas dengan sepatu dan bola ke dalam bus dan pesawat, ia justru membawa tas hitam besar di punggungnya untuk gitar bass-nya.
Ia membawanya ke mana pun tim bepergian. Dalam perjalanan darat, dia mengunjungi klub jazz dan bertemu dengan beberapa musisi.
Salah satu musisi itu adalah Marcus Miller, yang menjadi salah satu pengaruh dan mentor terbesar Tisdale dalam dunia musik.
Miller bermain bass untuk Miles Davis, Herbie Hancock, dan David Sanborn.
Serta, telah memiliki karier yang sangat sukses sebagai komposer, arranger, dan produser. "Saya perhatikan orang ini (Wayman Tisdale) serius," kata Miller.
Singkat cerita, salah satu kaset demo Tisdale berhasil sampai ke label Motown, dan langsung ditandatangani.
Tisdale menjalani perjuangan berat agar dianggap serius sebagai musisi. Sebab ia selalu dipandang sebagai pemain bola basket yang bisa bermain musik.
Hingga akhirnya pada 1995, album debutnya Power Forward dirilis dengan ulasan positif. Album itu mencapai No. 4 tangga lagu jazz Billboard dan melegitimasi dia sebagai artis rekaman.
Sekaligus mengguncang persepsi bahwa ini hanyalah sekadar eksperimen yang dilakukan oleh atlet yang terlalu ambisius.
"Gitar bass biasanya bukan instrumen solo, tetapi Wayman tidak hanya mampu membuat musik pesta tetapi juga mengomunikasikan melodi dan emosi yang luar biasa," kata pemain saksofon Dave Koz dalam sebuah wawancara.
“Musik adalah inti dari jiwanya,” ia menambahkan. Pesannya konsisten, dan mantranya tegas: "Jika Anda menyukai saya di lapangan basket, tunggu sampai Anda mendengar saya bermain jazz."
Enam tahun setelah debutnya, Tisdale mencapai puncak karier musiknya dengan album keempatnya yang sukses secara komersial: Face to Face, dirilis setelah ia pindah dari Motown ke Atlantic.
Album Face to Face mencapai No. 1 tangga lagu jazz kontemporer Billboard dengan gayanya yang halus, penuh perasaan, dan alur R&B yang berat.
Itu adalah album yang datang pada waktu yang tepat, karena pemutarannya di stasiun radio perkotaan memperluas jangkauannya ke khalayak lebih luas.
Dengan album laris dan selesainya karier bola basketnya - ia pensiun pada 1997 dalam usia 33 tahun - Tisdale membuktikan dirinya sukses dalam karier keduanya sebagai musisi.
Menderita Kanker Tulang
Namun beberapa tahun kemudian, tragedi terjadi. Pada 2007, Tisdale jatuh dari tangga di rumahnya dan menderita patah kaki yang parah.
Dokter kemudian menemukan bahwa ia menderita kanker tulang pada lututnya. Putaran pertama kemoterapi tidak berhasil.
“Dokter tidak pernah memberikan kemoterapi kepada siapa pun yang seukuran saya,” kata Tisdale saat itu.
“Mereka baru saja menghitung berapa banyak kemo yang akan diberikan kepada saya dan berkata, 'Kami harap itu tidak mengacaukan ginjal Anda. Jika ya, maaf.'”
Untuk pertama kalinya, Tisdale tidak memiliki keinginan untuk membuat musik. Pada 2008, ia harus mengamputasi sebagian kaki kanannya.
Hebatnya, ia justru merasa lega karena terbebas dari perawatan kemo dan menerima tantangan baru ini dengan perspektif yang segar.
Dan dengan kondisi seperti itu, ia kembali menggeluti dunia musik. Tisdale merilis album kedelapan Rebound padatahun itu, terinspirasi oleh perjuangannya melawan kanker.
Namun, dia tidak akan pernah pulih sepenuhnya. Pada 17 April 2009, Tisdale menggelar konser di Memphis, yang menjadi penampilan terakhirnya dalam dunia musik.
“Saya telah melihat banyak orang tampil, tapi tidak pernah melihat siapa pun memberikan sebanyak yang ia lakukan dalam penampilan terakhirnya,” kata Dave Koz.
“Penonton tahu bahwa mereka mendapatkan sesuatu yang tidak akan pernah mereka lihat lagi,” ia menambahkan.
Sebulan kemudian pada 15 Mei 2009, Tisdale meninggal dunia di St. John Medical Center di Tulsa karena pecahnya kerongkongan setelah perawatan radiasi.
Namun, warisan Wayman Tisdale tetap hidup. Ia menjadi model keberanian, kekuatan, dan harapan dengan terus bermusik selama menjalani perawatan.
Keluarganya sejak itu membuka Yayasan Wayman L. Tisdale, untuk mendukung orang-orang yang membutuhkan perawatan prostetik.