SKOR.id – Dalam usia relatif muda, 23 tahun, Antony Matheus dos Santos sudah memiliki semua yang diimpikan pesepak bola asal Brasil, kemewahan dan ketenaran. Namun, semua kini lenyap dalam sekejap.
Penyerang sayap berbakat itu tengah menghadapi masa-masa sulit karena harus terdepak dari Manchester United dan tim nasional Brasil, akibat dugaan penyerangan terhadap mantan pasangannya.
Meskipun menyatakan tidak bersalah, masa depan Antony tampak tidak pasti karena di Old Trafford mereka sudah mencatat baik-baik apa yang terjadi pada Mason Greenwood dan tidak ingin kasus seperti ini terjadi lagi. Dari bintang masa depan, Greenwood tidak diakui oleh semua orang kecuali Getafe, klub La Liga Spanyol.
Antony belum lama lepas dari lingkungan rumit di Sao Paulo yang disebut “Inferninho” (neraka kecil, dalam bahasa Brasil), tempat dia dan keluarganya tinggal bersama para pengedar narkoba, senjata, dan mayat korban kekerasan yang bergelimpangan.
Tahun lalu, kepada The Players’ Tribune, Antony menggambarkan dengan sangat rinci seperti apa hidup masa kecilnya di favela (daerah kumuh).
“Jika benar-benar ingin tahu orang seperti apa saya ini, Anda harus memahami dari mana saya berasal,” tutur mantan penyerang Sao Paulo FC dan AFC Ajax tersebut.
“Saya berbicara tentang sejarah dan asal usul saya, yang ada di Inferninho. Ini tempat terkenal di mana para pengedar narkoba menjalankan bisnis mereka. Anda selalu bisa mencium bau obat-obatan dari jendela rumah.”
Itu adalah kehidupan keseharian Antony kecil. Ia mengisahkan, hanya sekira lima belas langkah dari pintu depan rumahnya, selalu ada pengedar narkoba yang berbisnis, saling mengedarkan barang tanpa rasa takut.
“Kami sudah terbiasa melihat senjata sehingga tidak menakutkan. Itu hanyalah bagian dari kehidupan sehari-hari,” ucap Antony.
“Kami lebih takut dengan kunjungan polisi. Suatu saat, mereka datang sambil berteriak karena sedang mencari seseorang. Tentu saja, mereka tidak menemukan apa pun di rumah.”
Di masa muda seseorang, kejadian-kejadian seperti ini pasti sangat membekas dalam diri pribadi. Namun di favela, menurut Antony, Anda menjadi sedikit tidak peka terhadap hal-hal ini.
“Suatu pagi, saat akan berangkat ke sekolah, mungkin saat itu saya baru berusia 8 atau 9 tahun, saya melihat seorang pria yang tergeletak di gang. Dia tidak bergerak. Ketika saya mendekat, saya menyadari dia sudah meninggal dunia,” tutur Antony.
“Tetapi, tidak ada jalan lain untuk pergi, dan saya harus pergi ke sekolah. Jadi, saat itu saya hanya memejamkan mata dan melompati mayat itu.”
Kecanduan video Ronaldinho, Neymar, dan Cristiano Ronaldo
Antony mengatakan bahwa dirinya sangat beruntung sebagai seorang anak, karena terlepas dari semua perjuangan keras dirinya dan keluarganya, ia diberi anugerah dari surga.
“Bola adalah penyelamat saya. Di Inferninho, kami tidak peduli dengan mainan untuk Natal. Bola apa pun yang menggelinding sempurna bagi kami,” katanya.
“Setiap hari, kakak laki-laki saya mengajak ke alun-alun untuk bermain sepak bola. Di favela, semua orang bermain. Anak-anak, orang tua, guru, pekerja konstruksi, supir bus, pengedar narkoba, gangster. Di sana, semua orang setara.
“Pada awalnya, saya bermain tanpa alas kaki, dengan kaki berdarah. Kami tidak punya uang untuk membeli sepatu yang layak.”
Antony tidak hanya menghabiskan waktu berjam-jam di luar ruangan untuk bermain sepak bola, tetapi ia juga menjadi kecanduan video-video para pemain idolanya, yakni Ronaldinho, Neymar, dan Cristiano Ronaldo.
“Saya biasa menontonnya di YouTube. Terima kasih kepada ‘paman’ Toniolo. Dia bukan paman sedarah saya, melainkan tetangga sebelah kami. Tapi dia memperlakukan saya seperti keluarga,” ujar Antony.
“Ketika masih kecil, dia membiarkan saya mencuri wifi-nya agar bisa membuka YouTube dan mendapatkan pendidikan sepak bola. Dia bahkan memberi saya video game.”
Satu hari, saat masih berusia 8 tahun, seorang “malaikat” muncul dan menyelamatkan hidup Antony. “Malaikat” yang dimaksud Antony tak lain direktur klub futsal Gremio Barueri. Impian menjadi pesepak bola profesional mulai terwujud.
“Suatu saat, saya ingat berjalan bersama ibu dan melihat sebuah Range Rover merah melaju di lingkungan sekitar. Kelihatannya seperti Ferrari dan semua orang terkesan,” ucap Antony.
“Saya langsung berkata: ‘Ketika menjadi pemain sepak bola hebat nanti, saya akan segera membeli mobil seperti itu’. Ibu saat itu hanya tertawa. Namun saya berbicara dengan sangat serius dan berkata, ‘Jangan khawatir, sebentar lagi ibu juga akan bisa mengendarainya juga’.”
Kesempatan berikutnya bagi Antony datang dari Akademi Sao Paulo FC, ketika dirinya baru berusia 14 tahun. Namun, cara hidupnya tidak lantas berubah dalam semalam.
“Saya saat itu seorang pria kurus. Meski begitu, saya bermain dengan darah di mata saya. Intensitas itu datang dari jalanan, Anda tidak bisa memalsukannya,” ucap winger yang kini memiliki postur hanya 174 cm tersebut.
“Orang-orang berpikir saya berbohong ketika mengatakan ini kepada mereka. Tetapi bahkan setelah debut saya dengan Sao Paulo, saya masih tinggal di favela. Faktanya, ketika berusia 18 tahun, saya masih tidur di tempat tidur dengan ayah, atau di sofa!
“Pada tahun 2019, ketika saya mencetak gol melawan Corinthians di final Sao Paulo, malam itu saya kembali ke favela dan di jalan saya mendengar orang bicara: ‘Saya tadi melihatmu di TV, apa yang kamu lakukan di sini?’ Saya jawab: ‘Saya memang tinggal di sini, bro’. Namun mereka semua tertawa, tidak ada yang percaya.”
Para pencari bakat Ajax lalu menemukan Antony pada Februari 2020 dan mengontraknya secara efektif mulai Juli 2020 dengan nilai 13 juta pounds, yang bisa naik menjadi 18,2 juta pounds.
Pada akhir Agustus 2022, Ajax resmi mengonfirmasi penjualan Antony ke Manchester United seharga 82 juta pounds. Itu menjadi pembelian termahal ketiga Setan Merah setelal Paul Pogba dan Romelu Lukaku, dan rekor penjualan tertinggi Ajax dan Liga Belanda (Eredivisie).
“Orang-orang selalu bertanya bagaimana saya bisa pergi begitu cepat dari Sao Paulo ke Ajax dan, dari sana, ke Manchester United. Saya selalu mengatakan bahwa saya tidak takut di lapangan sepak bola,” tutur Antony.
“Apa itu rasa takut? Jika Anda pernah melompati mayat dalam perjalanan ke sekolah, maka sebagai pemain sepak bola, Anda tidak bisa lagi takut terhadap apa pun. Dengan bola di kaki, Anda hanya bisa merasakan kegembiraan, begitulah pemain sepak bola Brasil.”
Mengenai kritik atas keeksentrikannya di lapangan, Antony menyatakan bila dirinya tidak akan melakukan apa pun tanpa niat. Selalu ada ide dan tujuan di baliknya.
“Jika Anda mengira saya hanya badut, Anda belum memahami apa pun. Seni yang diciptakan Ronaldinho, Neymar, dan Cristiano Ronaldo mempunyai pengaruh yang besar terhadap saya. Saya selalu menonton mereka saat kecil dan kemudian berdiri di lapangan semen mencoba meniru mereka,” ujarnya.
Antony kini tengah berada di titik terendah dalam karier profesionalnya. Dengan usia yang baru 23 tahun, tentu masih ada kesempatan baginya untuk bangkit lagi. Apalagi jika di persidangan nanti dirinya terbukti tidak bersalah.