- Sejarah sepak bola di Indonesia tak terlepas dari gejolak perlawanan yang muncul menentang kolinialisme Belanda.
- Dalam perjalanannya, sepak bola Indonesia juga tak luput dari konflik-konflik kepentingan yang akhirnya melahirkan dualisme.
- Bahkan, dualisme yang terjadi di tubuh PSSI membuat sepak bola Indonesia terbelah hingga munculnya sanksi dari FIFA.
SKOR.id – Terdapat sejumlah peristiwa bersejarah yang ikut mengiringi perjalanan dunia sepak bola Indonesia dalam melintasi zaman.
Olahraga kulit bundar ini sudah mulai dikenal masyarakat Nusantara, jauh sebelum munculnya konsep negara Indonesia seperti sekarang ini.
Dari sejarahnya, sepak bola dibawa oleh orang-orang Eropa pada abad ke-19 saat Hindia Belanda masih berada di bawah kekuasaan Belanda.
Saat itu, bermunculan sederet kesebelasan yang dimiliki oleh orang Belanda, Tionghoa, Arab, hingga pribumi atau Bumiputera.
Akan tetapi, hanya kesebelasan yang berada di bawah naungan Nederlandsch Indische Voetball Bond (NIVB) yang dapat berpartisipasi dalam kompetisi yang berlangsung setiap tahun.
Selain konteks kolonialisme Belanda yang ikut mempengaruhi sejarah sepak bola di Indonesia, terdapat sejumlah peristiwa penting yang tak luput dalam catatan sejarah.
Berikut Skor.id menyajikan lima momen penting yang mengubah sejarah sepak bola Indonesia:
1. Berdirinya PSSI
Diskriminasi pihak kolonial terhadap pribumi itulah yang kemudian mendorong Soeratin Sosrosoegondo dan kawan-kawannya untuk melakukan perlawanan.
Saat itu, Soeratin mengkonsolidasikan tim-tim perserikatan dari sejumlah daerah di Indonesia untuk membentuk organisasi sepak bola.
Setidaknya, ada tujuh klub Bumiputra yang ketika itu ikut terlibat dalam pertemuan pertemuan dengan Soeratin dan kawan-kawan.
Klub-klub yang dimaksud yakni Persatuan Sepakbola Mataram (PSIM Yogya), Soerabajasche Indonesiche Voetbal Bond (SIVB atau Persebaya) dan Bandoengsche Indonesiche Voetbal Bond (BIVB atau Persib).
Selain itu ada pula, Voetbal Indonesiche Jakarta (VIJ atau Persija), Indonesiche Voetbal Bond Magelang (IVBM atau PPSM Magelang), Voerslandsche Voetbal Bong (VVB atau Persis Solo), dan Madioensche Voetbalbond (VVB).
Dari hasil konsolidasi yang berlangsung di Yogyakarta pada 13 April 1930 itulah yang melahirkan Persatoean Sepakraga Seloroeh Indonesia yang menunjuk Ir. Soeratin Sosroesoegondo sebagai Ketua pertama PSSI.
Organisasi inilah yang kelak menjadi embrio berdirinya PSSI atau Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia seperti yang dikenal saat sampai saat ini.
Pada saat itu, PSSI menjadi organisasi pertama di level nasional yang dibidani oleh orang-orang Bumiputra yang lahir di bawah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda.
2. Lahirnya Kompetisi Pertama Bentukan PSSI
Seiring dengan terbentuknya PSSI yang mewadahi organisasi-organisasi sepak bola di daerah, tercetus pula sebuah kompetisi yang mempertandingkan antarperserikatan tersebut.
Sebelumnya, setiap perserikatan memang telah menggelar kompetisi internal di bawah naungannya masing-masing.
Kemudian, Soeratin sebagai Ketua PSSI membentuk kompetisi yang mempertemukan masing-masing perserikatan tersebut di level nasional.
Kompetisi pertama yang berada di bawah naungan PSSI tersebut digelar pertama kali pada tahun 1939 dengan sistem turnamen. Pesertanya ialah tujuh anggota perserikatan.
Saat itu, kompetisi pertama PSSI masih bernama Stedenwedstryden (Stedenwerd). Ajang ini digelar di alun-alun Keraton Surakarta.
Tim yang berstatus menjadi tuan rumah saat itu, Voerslandsche Voetbal Bong (VIJ) sukses menjadi perserikatan yang menjuarai kompetisi pertama.
Keberhasilan penyelenggaraan Stedenwerd I di Solo ini melecut PSSI merancang kompetisi yang lebih matang.
Sebab, saat itu antusiasme masyarakat sangat besar saat menyaksikan pertandingan-pertandingan yang digelar dalam ajang Stedenwerd I.
3. Meleburnya Kompetisi Perserikatan dan Galatama Jadi Liga Indonesia
Sejak berdirinya PSSI pada tahun 1930 hingga medio 1979, satu-satunya kompetisi yang ada di tingkat nasional hanyalah Kejuaraan Nasional Perserikatan.
Akan tetapi, kompetisi Perserikatan saat itu masih bersifat amatir. Kemudian, PSSI mencetuskan kompetisi sepak bola yang bersifat semiprofesional, yakni Liga Sepak Bola Utama atau yang lebih dikenal sebagai Galatama.
Dua kompetisi ini memang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Perserikatan mendapat dukungan luar biasa dari masyarakat.
Sebab, klub-klub perserikatan memang lebih dahulu terbentuk dan mampu menyedot fanatisme kedaerahan dari pendukungnya.
Akan tetapi, sistem pengelolaan di Perserikatan jauh dari kata profesional. Sebab, klub Perserikatan masih mengandalkan pendanaan dari pemerintah daerah.
Sementara itu, manajemen klub yang berkompetisi di Galatama sudah dikelola secara mandiri dan profesional. Akan tetapi, laga-laga yang tersaji kurang diminati oleh penikmat sepak bola nasional.
Pada awal tahun 1994, PSSI melahirkan gagasan baru untuk menggabungkan Divisi Utama Perserikatan dengan kompetisi Galatama menjadi satu wadah yang sama dengan nama Liga Indonesia.
Meskipun sempat mendapatkan penolakan dari berbagai penjuru, tetapi gagasan ini mendapatkan sejumlah dukungan, baik dari AFC, KONI, hingga pemerintah.
Akhirnya, ide peleburan dua kompetisi yang memiliki latar belakang yang berbeda ini bisa dieksekusi pada akhir tahun 1994.
Ketika itu, Divisi Utama Liga Indonesia diikuti oleh 33 klub. 16 kontestan di antaranya berasal dari Galatama, sedangkan 18 lainnya dari Perserikatan.
Untuk kali pertama, kompetisi Liga Indonesia 1994-1995 akhirnya digelar. Saat itu, kompetisi ini bernama Liga Dunhill.
Saat itu, laga pembuka kompetisi ini digulirkan dengan mempertemukan antara Pelita Jaya sebagai juara Galatama 1993-1994 dengan Persib Bandung yang berstatus sebagai juara Divisi Utama Perserikatan 1993-1994.
4. Breakaway League
Pada akhir tahun 2010, terdapat sebuah kompetisi sepak bola yang hadir di tengah-tengah polemik persepakbolaan nasional.
Ketika itu, Arifin Panigoro, seorang pengusaha, menginisiasi penyelenggaraan kompetisi sepak bola bertajuk Liga Primer Indonesia (IPL).
Sejumlah klub pun bersedia untuk tampil di IPL. Hal ini merupakan bentuk ketidakpuasan klub-klub tersebut terhadap kompetisi yang diasuh oleh PSSI.
Namun, Presiden Direktur PT Liga Indonesia, Andi Darussalam Tabusalla, ketika itu menyebut bahwa klub yang berpartisipasi dalam IPL akan dicoret keanggotaannya dari PSSI.
Ternyata, munculnya IPL berbuntut panjang. PSSI yang berada di bawah kepemimpinan Nurdin Halid saat itu menyebut IPL sebagai Breakaway League atau Liga Pembangkang.
Setelah tampuk kepemimpinan PSSI jatuh di tangan Djohar Arifin pada 2011, pengurus baru federasi justru tak mengakui hasil kompetisi ISL 2011-2012.
Perseteruan antara IPL dan ISL semakin meruncing hingga kemudian memunculkan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI).
Komite ini juga menyebabkan dualisme organisasi pengatur sepak bola di Indonesia dan dualisme kompetisi.
Akibatnya, saat itu ada dua kompetisi yang berjalan. Bahkan, konflik internal turut memecah belah hingga struktur kepengurusan klub-klub peserta.
Setidaknya, ada enam klub yang mengalami dualisme. Mereka menggunakan nama yang sama ketika berpartisipasi dalam masing-masing kompetisi tersebut.
Keenam klub yang dimaksud ialah Persija Jakarta, PSMS Medan, Arema Indonesia, PSIS Semarang, PPSM Magelang, hingga Persebaya Surabaya.
Akibat dualisme itu, terjadi perpecahan di internal karena masing-masing klub ini mengakui sebagai klub yang asli.
5. Hukuman FIFA pada 2015
Dalam sejarah perjalanannya, PSSI pernah mendapatkan sanksi tegas dari induk badan sepak bola dunia atau FIFA. Momen itu terjadi pada tahun 2015.
Ketika itu, kompetisi Indonesia Super League (ISL) musim 2015 ditunda penyelenggaraannya oleh Badan Penyelenggaraan Olahraga Indonesia (BOPI).
Menurut BOPI, PT Liga Indonesia sebagai operator kompetisi saat itu harus menunda gelaran ISL 2015 karena ada banyak klub yang belum memenuhi syarat.
Namun, akhirnya BOPI memberikan rekomendasi izin berkompetisi kepada 16 kontestan ISL 2015. Hanya ada dua kontestan yang tak direkomendasikan, yakni Arema Cronus dan Persebaya Surabaya.
Sebab, dua klub itu mengalami konflik dualisme kepemilikan. Konflik ini muncul setelah terjadi dualisme kompetisi, yakni ISL dan IPL pada tahun 2011.
Namun, PSSI justru mengizinkan Persebaya dan Arema untuk tetap berpartisipasi dalam penyelenggaraan kompetisi ISL 2015.
Hal inilah yang membuat Kemenpora yang saat itu dipimpin oleh Imam Nahrawi memberikan teguran keras kepada PSSI lantaran tak menjalankan rekomendasi BOPI.
Komite Eksekutif (Exco) PSSI saat itu sempat menunda semua laga ISL, mulai 12 April 2015 hingga terselenggaranya Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI pada 18 April 2015.
Langkah yang diambil BOPI ini dianggap sebagai sebuah bentuk intervensi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap pengelolaan sepak bola.
FIFA lantas mengirimkan surat kepada Imam Nahrawi yang menyatakan bahwa pemerintah dilarang melakukan intervensi terhadap PSSI.
Sebab, Menpora Imam Nahrawi saat itu menjatuhkan sanksi pembekuan terhadap PSSI karena federasi tak kunjung menyelesaikan polemik yang terjadi dalam ISL 2015.
Akibatnya, FIFA menjatuhkan sanksi untuk PSSI. Indonesia dilarang mengikuti seluruh ajang internasional yang digelar di bawah naungan FIFA.
View this post on Instagram
Berita Sepak Bola Indonesia Lainnya:
Cinta Sepak Bola Indonesia, Stefano Lilipaly Sabar dan Ungkap Target untuk Bali United
Soal Dugaan Sepak Bola Gajah di PON Papua 2021, Begini Penjelasan Menpora
7 Pelajaran dari The Naked Director untuk Sepak Bola Indonesia