- IOC melarang atlet melakukan gestur politik, agama, dan etnis tertentu. Para pelanggar aturan baru dalam Olimpiade 2020 akan didisiplinkan.
- Atlet lontar martil AS Gwen Berry mengkritisi langkah IOC sebagai bentuk usaha pembungkaman atlet.
- Presiden IOC Thomas Bach mengatakan Olimpiade tidak boleh memberikan tempat untuk hal-hal yang bisa memecah belah.
SKOR.id – Aturan baru dibuat Komite Olimpiade Internasional (IOC) pada Kamis (9/1/2020). Pedoman ini bakal diterapkan untuk para atlet peserta Olimpiade Tokyo 2020. Mereka dilarang melakukan gestur politik, agama, dan etnis tertentu.
Atlet tidak diperkenankan berlutut saat lagu kebangsaan berkumandang, membuat gerakan bersimbol politis, atau melakukan aksi yang merepresentasikan etnis tertentu.
Ini berlaku selama pertandingan, menerima medali di podium, dan selama di kamp (Olympic Village).
IOC mengatakan pihaknya akan mendisiplinkan atlet yang melanggar pedoman tersebut.
Baca Juga: Andy Ruiz Jr. Belum Beri Sinyal Bakal Kembali Naik Ring
Namun tidak dijelaskan secara detail disiplin seperti apa yang diterima para pelanggar nantinya. Yang pasti, aturan ini dibuat untuk menjaga kelancaran Olimpiade.
IOC tidak ingin hal seperti yang terjadi di Pan American Games 2019 di Lima, Peru, musim panas lalu terulang di Tokyo.
Atlet lontar martil putri Amerika Serikat (AS) Gwen Berry mengangkat tangan saat meraih medali emas di ajang tersebut.
Sementara, atlet anggar putra AS Race Imboden, yang juga meraih emas, berlutut di podium selama lagu kebangsaannya diputar.
Baca Juga: Borneo FC Tak Ingin Sepak Bola Indonesia Kembali ke Zaman Batu
Gestur keduanya adalah bentuk protes melawan rasialisme, penganiayaan imigran, regulasi kontrol senjata api, dan Presiden Donald Trump.
Keduanya mendapatkan sanksi percobaan 12 bulan akibat aksi mereka tersebut. Gwen Berry memahami alasan IOC mengeluarkan pedoman baru.
Namun di sisi lain, perempuan 30 tahun itu juga mengkritisi langkah ini sebagai usaha “pembungkaman” para atlet.
“Saya paham IOC ingin menjaga olahraga terbebas dari politik dan semacamnya. Tetapi saya merasa ini seperti bentuk kontrol karena jika atlet tidak bebas mengekspresikan diri, itu adalah upaya membungkam mereka,” tutur Gwen Berry yang tak menyesali aksinya di Peru.
Dalam aturan barunya, IOC mengatakan bahwa mengekspresikan pandangan berbeda arti dengan melakukan protes. Mereka ingin menjaga Olimpiade tetap positif dan terbebas dari agenda-agenda politik, agama, maupun etnis.
“Kami percaya bahwa mempertemukan para atlet terbaik untuk berkompetisi dan tinggal bersama di Oympic Village adalah pesan positif yang unik kepada dunia,” ujar pernyataan IOC.
“Inilah mengapa (pedoman) itu penting. Kami ingin Olimpiade jadi tempat yang netral.”
Presiden IOC Thomas Bach pun memberikan dukungan penuh terkait penerapan aturan baru ini pada Jumat (10/1/2020).
Ia mengatakan bahwa Olimpiade tidak boleh memberikan tempat untuk politik atau hal-hal lain yang bisa memecah belah.
“Netralitas politik kita akan rusak jika sekelompok orang atau individu berusaha menggunakan Olimpiade sebagai panggung untuk agenda mereka,” ujar Thomas Bach saat membuka Sidang IOC ke-135 di Lausanne, Swiss.
Sejarah Panjang
Terlepas dari pernyataan Thomas Bach, faktanya selama beberapa dekade terakhir, Olimpiade punya sejarah panjang dengan isu politik.
Pada 1936, puluhan negara mengancam menolak tampil di Olimpiade Berlin karena kebijakan rasialisme Jerman kala itu.
Baca Juga: Tur Pramusim, Madura United Akan Tantang JDT dan Terengganu
Selang 12 tahun, Jepang serta Jerman dilarang tampil dalam Olimpiade London 1948 karena keterlibatannya dalam Perang Dunia II. Lalu pada 1956, Mesir, Lebanon, dan Irak memboikot Olimpiade 1956 Melbourne sebagai bentuk protes invasi Israel ke Semenanjung Sinai.
Hanya beberapa pekan sebelum upacara pembukaan, Belanda, Spanyol, serta Swiss juga memutuskan untuk menarik diri dari partisipasi mereka dalam Olimpiade 1956 setelah Uni Soviet (Rusia) menyerang Budapest, Hungaria.
Lalu pada 1960-an, muncul ajang tandingan Olimpiade, Pesta Olahraga Negara-negara Berkembang (GANEFO) yang diprakarsai oleh Indonesia.
IOC melarang para atlet yang berpartisipasi di ajang tersebut untuk tampil di Olimpiade.
Afganistan dilarang ikut Olimpiade Sydney 2000 karena diskriminasi terhadap perempuan yang dilakukan rezim Taliban.
Baca Juga: Zlatan Ibrahimovic Dianggap Mengubah AC Milan
Pada Rio de Janeiro 2016, atlet Kuwait harus bertanding di bawah bendera Olimpiade karena interfensi pemerintah terhadap Komite Olimpiade Kuwait (KOC).
“Sepengetahuan saya, politik selalu menjadi bagian dari Olimpiade. Anda bisa kembali melihat sejarah yang terjadi sejak 1936. Selalu ada pengaruh politis dalam Olimpiade,” kata Gwen Berry.