- Fakhri Husaini komentari pernyataan Shin Tae-yong soal pemain timnas U-19 hanya sanggup main 20 menit.
- Menurut Fakhri Husaini, Shin Tae-yong lebih baik tak umbar hal-hal negatif soal pemain ke media massa.
- Adalah tugas Shin Tae-yong, kata Fakhri Husaini, untuk perbaiki kondisi yang ada tanpa membongkar aib.
SKOR.id – Pernyataan pelatih timnas Indonesia, Shin Tae-yong, bahwa timnas Indonesia U-19 hanya sanggup tampil 20 menit, memantik emosi atau kritik.
“Sudah lama sebenarnya saya ingin berkomentar,” kata Fakhri Husaini, mantan pelatih timnas Indonesia U-19, saat berbincang dengan Skor.id, Sabtu (14/3/2020).
Dalam perbincangan lewat sambungan telepon selama 31 menit 26 detik itu, Fakhri mengungkapkan isi hatinya yang sudah beberapa lama dipendam.
Sejatinya, Skor.id hanya mengajukan beberapa pertanyaan, namun jawaban Fakhri cukup panjang. Karenanya jawaban Fakhri dibuat dengan konsep tanya jawab.
Wawancara ini pun ditulis secara penuh, karena dikhawatirkan ada pesan yang ingin disampaikan Fakhri namun meleset, tetapi ada penyesuaian bahasa.
Berikut adalah obrolan lengkap dengan lelaki kelahiran Lhokseumawe, Aceh, yang kini tinggal di Bontang, Kalimantan Timur tersebut:
Ada tanggapan soal ucapan Shin Tae-yong yang sebut timnas Indonesia U-19 hanya mampu tampil dengan durasi 20 menit?
Ketika dia (Shin Tae-yong) komentar seperti itu, menurut saya menunjukkan kualitas dia sebagai pelatih.
Ketika saya jadi pelatih, kamu tidak pernah dengar kan saya menceritakan apa saja kelemahan tim saya? Pelatih lain pun begitu, termasuk Luis Milla tidak seperti itu.
Saat (Luis) Milla melatih timnas Indonesia, saya tidak pernah dengar dia komentar negatif soal kondisi internal timnya di media (massa).
Padahal masalahnya sama. Apa yang diomongkan Shin Tae-yong itu, itu yang kami (pelatih timnas Indonesia) alami semua.
Apa yang Anda alami?
Ketika saya membentuk timnas dari awal (timnas Indonesia U-16 pada 2017), saya dan pelatih-pelatih lainnya, kami alami semua, tapi kami tidak mengumbar itu ke media.
Buat kami, yang paling penting adalah bekerja. Bukan ngomel kanan-kiri fisik cuma tahan 20 menit, main bola tekniknya kayak kakek-kakek, passing-nya kayak anak SD.
Dia tahu enggak itu kesulitan ketika kami menemukan pemain itu seperti apa? Dia tahu enggak ketika (pemain) pertama datang, first touch saja tidak mengerti.
Sudahlah, terlalu banyak kalau kita mau buka, tapi kami tidak mau cerita soal kondisi pemain ke media (massa).
Kami tahu tugas pelatih itu bukan ngomong di koran, menjelek-jelekkan atau mengumbar kelemahan teknik, taktik, fisik semua pemain. Tugas pelatih itu bukan itu.
Seharusnya bagaimana?
Dia dibayar mahal untuk memperbaiki itu. Dia dibayar mahal dengan timnya (pelatih lainnya) untuk itu, bukan untuk mengeluh dan diumbar di depan media.
Yang kedua, saya enggak pernah, apa yang dia sampaikan itu, saya lihat di anak-anak. Saya tidak melihat bersama tim saya itu, ketika bermain hanya cukup 20 menit saja.
Bahkan, kami bisa main 120 menit. Bahkan, lawan yang kram kanan kiri kalau lawan kami.
Kamu boleh putar semua pertandingan kami. Suruh Shin Tae-yong itu nontonlah semua pertandingan yang kami mainkan.
Coba dihitung berapa banyak tim-tim lawan yang kami hadapi kram. Tidak tahu apakah itu pura-pura kram atau memang benar-benar kram.
Kami enggak ada latihan yang lari 20 kilometer, karena program yang kami lakukan betul-betul terukur dan orientasinya ke empat aspek: fisik, teknik, taktik, dan mental.
Semua kami gabungkan menjadi satu dalam latihan. Saya tidak pernah bermasalah dengan aspek fisik seperti yang dibilang itu.
Dan, semua itu kami lakukan dengan pelatih lokal semua. Tidak dengan pelatih asing. Jadi, berhentilah ngoceh soal itu.
Sebagai pelatih asing, itu bisa menyinggung kami pelatih lokal (yang sebelumnya menangani timnas usia muda) dan menyinggung perasaan pemain juga.
Tapi kan bisa jadi motivasi buat pemain?
Bahwa itu untuk memotivasi pemain, saya kira banyak cara yang bisa dilakukan pelatih untuk memotivasi pemainnya.
Saya sudah bekerja dengan banyak pelatih, saat menjadi pemain dan pelatih, enggak ada pelatih asing yang mulutnya seperti itu.
Semua kelemahan pemainnya pasti ia ketahui dan disimpan sendiri untuk diperbaiki, bukan diumbar ke media (massa) secara terbuka.
Siapa contoh pelatih asing yang seperti itu?
Waktu Peter White pertama kali megang timnas Indonesia di Piala Tiger 2004 (sekarang Piala AFF, yang ketika itu Fakhri sebagai asisten pelatih).
Itu Peter White sampai dia bilang ke saya, “Fakhri, saya ini harusnya tidak ngurusin soal sentuhan pertama, soal fisiknya pemain.”
Tapi ada dia ngomong ke media? Enggak pernah. Sejak saya jadi pemain dan pelatih, tidak ada satu pelatih asing pun yang bicara soal kelemahan pemain seperti yang dilakukan Shin Tae-yong.
Itu saya tidak tahu motivasinya apa. Kalau itu dianggap motivasi untuk memberikan spirit pemain, saya kira masih banyak cara lain tanpa merendahkan pemain kita.
Tapi memang kualitas pemain kita seperti itu?
Shin Tae-yong itu tau ga lapangan yang digunakan pemain Indonesia itu seperti apa? Dia sadar tidak lapangan yang digunakan pemain kita itu tidak seperti di Korea Selatan?
Ketika dia menerima tawaran menjadi pelatih Indonesia, dia harus siap dengan kondisi (lapangan) yang seperti itu (tidak layak).
Kalaupun dia menemukan kondisi seperti itu di lapangan tidak perlu diumbar-umbar. Itu tugas dia perbaiki itu.
Jangan di depan sudah ngomong fisik beginilah, taktik begitulah. Semoga saja ini tidak menjadi bumper buat dia bila nanti gagal.
Terus?
Ya sudahlah, berhentilah ucapkan hal-hal negatif ke media. Kalau bisa yang positif-positif saja. Itu jauh lebih efektif untuk pemain kita, utamanya pemain muda.
Ada komentar soal bek timnas Indonesia U-19 yang debut dalam Liga 1 2020?
Rizky Ridho salah satu pemain potensial yang kami dapatkan pada saat kami seleksi mencari pemain kelahiran 2001. Dewa (Alfeandra Dewangga) juga.
Buat saya, bagus buat mereka karena cepat atau lambat toh mereka akan menuju ke sana. Tapi memang, sebagai pemain junior tidak mudah untuk bisa cepat beradaptasi.
Tadinya mereka hanya main di liga U-18 atau U-20 yang tidak ada penontonnya, sekarang harus tampil di depan publik. Harapan masyarakat juga cukup tinggi.
Penting buat mereka cepat beradaptasi dengan pelatihnya. Yang kedua, harus cepat beradaptasi dengan partner-nya, rekan setimnya.
Saya sih berharap dari para pemain senior. Misalnya, tadi malam Ridho main dengan Hansamu Yama. Nah, saya yakin Hansamu bisa menjadi pembimbing yang baik.
Kalau sudah di lapangan itu, peran pelatih sudah tidak begitu banyak. Yang akan instruksi atau kasih arahan itu adalah teman atau rekan yang di sekitar dia.
Tentu ada kontribusi besar kesuksesan pemain muda itu ditentukan seberapa hebat para senior di dalam tim untuk menjadi pembimbing mereka.
Tapi kenapa yang debut baru para bek bukan pemain depan?
Karena seberapa berani sih klub, yang sudah mengeluarkan biaya besar untuk kontrak pemain asing yang rata-rata di tengah atau depan?
Tetapi, saya berikan apresiasi ya, untuk pelatih-pelatih yang lokal ataupun asing yang berani memberikan kesempatan kepada pemain depan muda untuk tampil.
Saya apresiasi, seperti Jacksen (Ferreira Tiago, pelatih Persipura Jayapura). Menurut saya, Jacksen itu sangat membantu. Cara dia memberi kesempatan untuk (Gunansar) Mandowen contohnya.
Ada lagi Todd (Rivaldo) Ferre, Muhammad Tahir. Ada beberapa palatih lain yang juga memberi kesempatan seperti si Teco (sapaan Stefano Cugurra, pelatih Bali United) itu.
Soal Liga 1 2020 bagaimana?
Saya ada beberapa komentar. Saya melihat ada beberapa pelanggaran, sliding, itu sama seperti zaman ketika saya jadi pemain dulu. Zaman ketika siaran langsung itu tidak banyak.
Itu sliding itu bukan mau ambil bola, itu sliding niat mau patahkan kaki orang.
Ada beberapa. Tadi malam sebagai contoh (laga Persebaya vs Persipura), tapi kamu tidak perlu sebut namanya. Apa yang dilakukan (off the record) itu kacau itu.
Celakanya, wasit tidak menghukum kartu sama sekali. Ini tugas wasit membuat pertandingan berjalan lancar dan melindungi pemain dari pelanggaran keras.
Saya lihat itu dalam beberapa pertandingan. Sekali lagi, jangan sebut nama ya. Karena saya juga perlu menjaga hubungan baik dengan pemain-pemain itu.
Apa yang dilakukan (off the record) saat Barito Putera melawan Bali United ke Lerby Eliandry. Itu patah itu kakinya Lerby kalau kena. Dia kakinya masuk di antara dua kaki.
Itu niatnya mau patahin itu. Kamu tonton lagi. Itu dia lakukan tiga kali tapi tidak dapat kartu kuning. Harusnya wasit itu lebih jeli dan tegas lagi.
Terus coba kamu bandingkan dengan liga lain cara protes pemain ke wasit. Wasit di liga lain itu tidak disentuh-sentuh apalagi sampai didorong oleh pemain. Tidak ada yang berani.
Bahkan, gesture-nya itu tidak kasar. Pemain asing, pemain lokal, kalau sama wasit itu kayak sama siapa saja. Wasit itu tidak perlu banyak omong tapi bicara dengan kartu.
Enggak perlu nego. Kalau enggak, hilang kewibawaan. Kalau saya mengatakan pelanggarannya sudah brutal, karena niatnya mencelakakan bukan mau ambil bola.
Ini tantangan buat wasit. Saya yakin tidak mudah buat wasit memimpin pertandingan. Apalagi memimpin laga yang suporternya militan.